Malam sudah datang. Gelapnya sudah menyelimuti dunia dengan sempurna. Bintang-bintang di langit mulai berkelip indah, dengan lampu kota yang menyala menyebar ke seluruh penjuru kota, sungguh indah bila dipandang oleh siapa pun di atas ketinggian.
Asyah duduk, dengan jaket tebal yang ia pakai. Gadis itu duduk di pagar balkon, kakinya terpijak di atas genting yang susunan atapnya datar. Tak lupa, earphone ia pasangkan ke telinga. Lagu mellow yang menenangkan ia dengarkan.
Semilir angin malam yang memang sangat dingin membuat Asya meringis kecil. Namun, karena jaket hangat yang ia pakai Asya bisa sedikit menetralisir rasa dinginnya.
Jujur saja. Bagi Asya, menikmati malam sendirian seperti ini sungguh menenangkan hatinya. Gadis itu terbiasa menyukai suasana sepi, saat ia tinggal sendirian di kontrakan. Asya merasa bersyukur kalau area pelayan ini memiliki lantai dua yang bisa ia jadikan tempat menenangkan segala peluh pikiran yang ia rasakan seharian penuh karena pelajaran. Apalagi keadaan lantai dua yang dikosongkan membuat Asya semakin asyik menikmati kesendiriannya.
Trak!
Asya terdiam saat mendengar suara gertakan genting yang terdengar cukup keras. Gadis itu melirik ke arah suara. Kondisi yang gelap membuat Asya kesulitan mengetahui letak gerakan itu terjadi. Namun, semilir angin membuat Asya bisa menghirup aroma mint yang menyegarkan. Asya langsung bisa menyimpulkan siapa yang datang saat itu.
Beberapa detik kemudian, siluet Sean mulai terlihat jelas, lelaki itu datang mendekati Asya dengan wajah tertunduk, tak lupa langkah lelaki itu terlihat lunglai. Sean melompat dari genting dan masuk ke area balkon, lelaki itu terdiam saat menyadari bahwa Asya sudah duduk di pagar balkon dan kini tengah memandang dirinya.
Sean langsung memasang wajah kesal saat itu juga. "Kenapa kau ada di sini?! Pergi! Ini tempatku!" teriak Sean marah.
Asya cukup terkejut. Bagaimana tidak? Lelaki itu tiba-tiba datang dan tiba-tiba pula marah padanya. Namun, Asya juga ikut kesal saat itu juga karena semburan amarah dari Sean. Gadis itu turun dari pagar balkon dan melompat ke teras.
"Kamu ini kenapa?! Sudah tau aku sering di sini juga, kenapa marah seperti itu?!" tanya Asya tak terima.
"Aku ingin sendiri! Pergi dari sini!" teriak Sean makin menaikkan nada tingginya. Lelaki itu juga mendorong bahu Asya hingga punggung Asya membentur dinding cukup kuat.
Asya meringis kecil. Gadis itu mendesis kesal. "Aish ... ada apa denganmu?! Kenapa datang datang marah seperti itu?!" tekan Asya balik marah sembari mendekat, menantang Sean.
Sean menatap kemarahan Asya dengan manik berkaca-kaca. Retinanya menatap manik Asya serius, seolah menyalurkan perasaan frustasinya pada Asya, berharap Asya mengerti.
"Ah, sudahlah!" Sean menyerah. Lelaki itu memalingkan wajah dan langsung terduduk dengan kuat di atas lantai yang dingin.
Asya terhenyak saat melihat Sean yang kini hanya duduk, menekuk kedua lutut dan menenggelamkan wajahnya di sana. Sean terlihat frustasi sekali. Gadis itu lalu menurunkan tubuhnya dan meneluk pelan baju Sean yang terlihat sangat rapuh malam itu.
"Kamu kenapa?" tanya Asya dengan suara lembut. Gadis itu mengusap pelan rambut Sean, memancing Sean untuk mengatakan apa yang tengah mengusik pikirannya saat ini.
Untuk satu menit, Sean tak bereaksi apa-apa. Hanya terdengar isakan kecil dari lelaki itu. Sungguh, Sean sudah seperti anak kecil yang dimarahi ibunya. Diam-diam, Sean memejam matanya erat, mengingat kembali apa yang membuat lelaki itu sakit. Lelaki itu mengangkat tangannya dan beralih menggenggam tangan Asya yang masih mengusap bahunya dengan pelan.
Sean mengangkat wajah dan menatap Asya serius, manik lelaki itu memerah. Semakin membuat Asya penasaran, apa yang membuat Sean nampak frustasi seperti itu?
"Aku harus bagaimana ...?" tanya Sean dengan suara bagai bisikan, membuat Asya mengangkat alisnya tak mengerti, tapi Asya berusaha mendengarkan kata demi kata yang Sean ucapkan. "Lathia ... akan segera bertunangan dengan kakakku. Lalu aku, tak bisa memilikinya .... Asya, aku tak sanggup, mendengar rencana pertunangan mereka saja, aku tak tahan .... Bagaimana jika nanti mereka menikah dan hidup bersama, rasanya aku enggan hidup lagi," ungkap Sean lirih.
Asya terdiam mendengarkan curhatan isi hati Sean. "Jadi karena itu," simpul Asya. Ia kira, Sean sedih karena apa, ternyata hanya karena Lathia. Sejujurnya, Asya ingin menertawakan Sean saat itu.
"Sean, kamu ini laki-laki. Jika memang kamu ingin mendapatkan Lathia, maka bersikap dewasa lah dan kau harus jadi lelaki yang kuat," saran Asya mengusap rambut Sean pelan.
Sean menggeleng. "Percuma. Dia sudah memilih Crish. Aku tak bisa melakukan apapun .... Bahkan menjadi kuat pun tak akan merubah apapun," gumam Sean merenung.
Asya tersenyum sinis. "Ya, itulah. Itu adalah kenyataan untukmu. Lathia sudah memilih Pak Crish, lalu kenapa kamu masih mengejarnya? Kamu melakukan hal yang sia-sia, Sean. Jangan menjadi perusak di hubungan orang lain, apalagi Crish itu kakakmu sendiri. Jika kamu ngotot, sama saja dengan kamu ingin merusak kebahagiaan kakakmu!" tekan Asya, berusaha membuat Sean mengerti.
"Tapi bagaimana dengan kebahagiaanku?!" Sean menepis tangan Asya, dengan air mata yang mulai mengalir. "Kenapa semua orang harus egois terhadapku? Tak ada yang mengerti diriku! Bahkan ayahku sendiri, egois! Tak pernah melihat keinginan dari lubuk hatiku!" sarkas lelaki itu.
"Ayahmu?" tanya Asya pelan. Sean tak menjawab apapun.
"Ayahku, tak adil padaku .... Dia hanya bangga pada Crish, dan Lathia pun memilih Crish. Apa yang aku suka ... dan aku cintai, perhatian yang seharusnya aku dapatkan, diambil oleh Crish ...!" lirih Sean lagi, lelaki itu mengacak rambutnya frustasi.
Asya menatap Sean iba. Lelaki itu frustasi sekali. Selain perihal rencana pertunangan Lathia dan Crish, Asya tak tahu persis apa yang membuat Sean merasa bahwa Pak Arman tak adil padanya. Asya tak menyangka, lelaki sinis yang sombong dan angkuh ini kini tengah menangis, berada di titik rendah dan mengeluh akan kehidupannya.
Padahal, Sean memiliki segalanya. Memiliki harta dan uang yang cukup, masa depan terjamin, dan orang tua yang lengkap. Tapi hal apa yang membuat Sean begitu menderita dan tak merasa bahagia? Asya benar-benar tak habis pikir.
"Sean, aku tak tau apa yang membuatmu begitu frustasi. Tapi, mencoba menerima apa yang terjadi itu yang terbaik. Lathia memilih Crish, maka kamu harus lapang dada, Terima kenyataan ini dan berhenti mengejar apa yang sudah menjadi milik orang lain. Menyerahlah ... fokuslah pada hatimu sendiri. Mengejar Lathia bisa membuatmu terus terkurung di dalam penderitaan ini. Apa kamu hanya ingin stuck seperti ini?"
Sean tak menjawab dan masih termenung dengan kedua tangan yang memegang kepalanya. Mendengar ucapan dari Asya, Sean merasa hampa. Ia tak ingin menyerah, tapi di sisi lain Sean juga tak betah jika terus menderita. Sean harus bagaimana?!
Lelaki itu lalu berdiri dari posisi awal, menatap Asya serius. Gadis itu memang mengganggu sekali, tapi Asya juga setidaknya bisa menjadi teman keluh kesah Sean saat ini.
"Asya, aku minta tolong," ungkap Sean serius.
"Apa?" tanya Asya mengangkat alisnya.
"Tolong ... dorong aku dari atap rumah ini."
***
~Bersambung~