Sean langsung menyandarkan tubuhnya di dinding. Memejam mata erat sembari memegang dadanya. Sesak yang ia rasakan sangat menderita. Rasanya seperti akan mati saat itu juga. Bisa menghirup udara bebas seperti ini, membuat Sean merasa diberi kesempatan kedua untuk hidup.
Dua menit, Sean masih menetralkan pernafasannya. Sean memikirkan hal apa yang membuatnya seperti ini? Jarang sekali Sean merasa sesak nafas, bahkan memiliki riwayat penyakit asma pun, Sean tidak pernah. Apa ini karena Sean memakan sea food?
Sean lalu melirik ke arah Asya. Gadis itu terdiam, dengan tatapan kosong. Asya tak bergeming sedikitpun.
"Sesak nafas ini, sepertinya karena aku alergi sea food. Aku sempat memakannya tadi," jelas Sean menatap Asya serius. Asya tak menjawab apapun, gadis itu mengangkat tangannya dan memegang bibirnya, bibir yang sempat tertaut dengan bibir Sean.
"Terimakasih untuk—"
"Kalau alergi kenapa kamu memakannya?!" bentak Asya tiba-tiba. Gadis itu telah bangkit dari posisi duduknya, menatap Sean dengan wajah murka.
Sean terkejut dengan bentakan Asya yang tiba-tiba. Wajah gadis itu terlihat jelas sekali memerah. Jujur saja, Asya terlihat sangat menggemaskan saat itu.
"Ah, aku—"
"Menyebalkan!" Asya mengusap mulutnya kasar. Dengan tangan mengepal kuat, gadis itu langsung beranjak pergi meninggalkan Sean, dengan pintu balkon yang ditutup dengan kuat.
BRAK!
Sean hanya mematung di tempat. Lelaki itu terdiam sembari mengingat ekspresi Asya. Gadis itu terlihat marah, apa karena Sean tanpa sengaja bisa dibilang telah mencium gadis itu?
Entahlah. Sean tak bisa memikirkan hal itu. Bagi Sean, yang Asya lakukan hanyalah nafas buatan. Namun, tetap, Sean merasa berterima kasih pada Asya karena mengkhawatirkannya seperti tadi.
Bahkan, benak Sean rasanya sangat lega sekarang. Penat dan beban yang ada di benaknya, sudah hilang. Sean menghel nafas panjang. Ia menatap langit malam yang bertaburkan bintang yang berkelip indah.
Sean memejam mata. "Asyara ...," gumamnya sembari mengingat wajah Asya. "Aku merasa tenang berada di dekatmu," lanjut Sean, lelaki itu kembali menatap langit, menatap salah satu bintang yang paling terang.
***
Tik! Tik! Tik!
Suara jarum jam menjadi pengisi kekosongan dan kesenyapan malam itu. Asya masih terbangun, sembari menatap atap-atap kamar yang berwarna putih. Gadis itu memegang dadanya yang berdegup sangat kencang. Kencang sekali, sampai Asya berpikir bahwa jantungnya ingin mendobrak keluar dari tempatnya.
Asya tak bisa tidur nyenyak bahkan untuk beberapa menit sekali pun. Sekali ia terpejam, bayangan saat Sean dan Asya saling bertautan membuat Asya gelisah. Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat, lalu terpejam. Ia berusaha membayangkan puluhan ekor domba di pikiran, dan menghitungnya satu per satu. Namun, bayangan tentang Sean terus terlintas, bahkan bibir hangat lelaki itu masih terasa.
Asya menendang-nendang kasurnya dengan frustasi. Gadis itu membuka matanya dan bangkit dari posisi awal. Asya ingin menangis saja rasanya. Kenapa hal menyebalkan itu bisa terjadi pada Asya?!
Gadis itu lalu melirik ke arah Alma yang sudah tertidur pulas. Asya menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Gadis itu turun dari ranjang dan dengan langkah senyap ia keluar dari kamar, bahkan keluar dari area pelayan. Asya berjalan-jalan pelan di sekitar halaman rumah Alexander sekedar untuk menghirup udara malam. Ia juga memasang earphone supaya tak mendengar hal-hal aneh di malam hari.
Asya tak takut sedikit pun, ia sudah terbiasa sendiri, dan Asya tak bisa berpikir negatif tentang hal-hal mistis yang katanya suka menggangu manusia. Gadis itu menghentikan langkahnya saat sampai di depan sebuah pohon besar. Di pohon itu ada sesuatu tersangkut dengan benang yang menggantung, menjuntai. Asya sadar, bahwa sesuatu yang tersangkut itu adalah layangan milik Sean yang tadi sore sempat lepas kendali. Jujur saja, Asya membenci apapun tentang Sean sekarang. Namun, tak ada salahnya 'kan jika Asya mengambil layangan itu dan memberikannya kembali pada Sean?
***
Jam 6 pagi, Sean masih terpejam. Manik lelaki itu tertutup rapat, dengan tempo nafas yang sangat tenang. Sean tidur sangat nyenyak, lelah dan letih yang ia rasa membuat Sean sangat menikmati waktu istirahatnya.
Lelaki itu lalu membuka maniknya perlahan, ia dapat melihat cahaya matahari yang masuk menerobos gordennya. Sean bangkit, lalu menguap lebar. Lelaki itu lalu merenggangkan beberapa otot tubuhnya yang pegal.
Tok! Tok! Tok!
"Sean! Bangun, Sayang! Waktunya sarapan!" Nyonya Sonya mengetuk pintu untuk membangunkan Sean yang tak kunjung terlihat batang hidungnya.
Sean menatap pintu tanpa ekspresi. "Iya, aku mandi dulu, Ma," jawab Sean dengan malas. Padahal lelaki itu memilih berbaring lagi sekarang.
Nyonya Sonya tak menjawab apapun lagi, sepertinya ibunya itu sudah beranjak dari depan pintu kamarnya.
Sean yang kini kembali terbaring hanya menatap langit-langit. Sean mengingat kembali saat kemarin malam ia begitu frustasi dan merasa hancur. Namun sekarang, benaknya terasa tenang sekali. Ia tersenyum kecil.
"Aku harus menyerah, ya ...," gumam Sean sembari membayangkan senyum Lathia. Gadis yang ia cintai. Tapi mencintai Lathia membuat Sean sangat sakit. Lathia juga sudah mencampakkannya, untuk apa Sean terus bertahan pada hal yang jelas-jelas akan membuatnya menderita dan semua yang ia lakukan akan berakhir sia-sia?
"Yaaa ... aku akan melupakannya. Aku akan merelakan Lathia. Aku tak akan lagi memanas manasinya," ucap Sean pada diri sendiri.
Lelaki itu kemudian melirik ke arah nakas untuk mengambil susu hangat yang biasanya sudah tersaji di sana. Namun, betapa terkejutnya Sean saat lelaki itu melihat layangan dan gulungan kail miliknya sudah ada di atas nakas. Susu yang ia inginkan juga ada di sana. Jangan lupa, beberapa potong roti lapis rasa coklat juga berada di sana.
Sean terdiam sembari bertanya-tanya, siapa yang membawa layangan miliknya ke kamarnya? Setaunya, layangan tersebut sudah lepas dan terbang entah kemana. Namun, mengapa layangan itu kini berada di depannya? Aneh sekali.
Beberapa menit Sean berpikir. Hingga akhirnya Sean tersenyum kecil. "Pasti kamu yang membawanya ke sini, ya."
"Asya."
***
"Lathia, kamu tak ingin sarapan?" tanya Crish yang saat itu sudah siap dengan seragam kerjanya.
Crish menyembulkan kepalanya, melihat Lathia dari luar. Lathia nampak masih tidur. Tidak, gadis itu sepertinya sudah bangun dan sengaja mengerubuni seluruh tubuhnya dengan selimut agar Crish tak mengganggunya.
Crish menghela nafas panjang. Bagus, Lathia menjauhinya. Ini pasti efek karena orang tua Crish belum memberinya persetujuan untuk meminang Lathia. Crish ingin menanyakan banyak hal pada Lathia, tapi waktu jam kerjanya membuat Crish mau tak mau harus segera berangkat ke kantor.
"Aku berangkat dulu. Segeralah sarapan, aku tak ingin kamu sakit perut," pesan Crish. "Oh, ya. Nanti sore setelah aku pulang, aku ingin berbicara denganmu. Sampai jumpa." Crish pamit, lelaki itu lalu beranjak dari sana.
Setelah merasa bahwa Crish sudah benar-benar pergi, Lathia menyibakkan selimut tebalnya dengan kuat. Nafas gadis itu cukup terengah. Ya, ia memang sebal karena diskusi kemarin malam. Crish tak akan segera melamarnya, jika Pak Arman dan Nyonya Sonya masih ragu. Terpaksa, Lathia harus menghabiskan waktunya di sini.
Lathia tak enak menumpang di rumah ini selama beberapa tahun. Karena itu ia ingin segera keluar dari rumah ini.
Lathia merasa perutnya keroncongan. Dengan terpaksa, Lathia melangkah keluar kamar sembari memegang perut dan menuju meja makan.
Di perjalanan menuju meja makan, Lathia berpapasan dengan Sean yang saat itu sudah siap dengan tas-nya. Lelaki itu sepertinya hendak berangkat sekolah. Lathia melayangkan senyuman, mencoba memanasi Sean lagi.
"Sayang sekali, ya. Kamu tak memiliki kesempatan," ungkapnya tepat saat jarak Sean yang melangkah berlawan arah sangat dekat dengannya.
Sean hanya melirik Lathia sekilas, lelaki itu lebih memilih memasang earphone dan mengabaikan perkataan Lathia. Lathia membatu, gadis itu terdiam di tempat saat mendapatkan tatapan dingin dari Sean, tatapan yang sebelumnya tak pernah ia terima.
Ada apa dengan Sean? Kenapa lelaki itu dingin sekali padanya pagi ini?
***
~Bersambung~