Asya melangkahkan kakinya, menyusuri trotoar jalan. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya kuat. Kecemasan masih melandanya. Benak Asya gundah sekali, sejak pagi gadis itu tak bisa henti-hentinya melamun, benaknya terasa berdesir walaupun Asya tak tahu apa penyebabnya.
Ini sudah jam pulang, Asya masih tak ingin pulang. Gadis itu ingin berjalan-jalan, menghabiskan waktunya hingga sore menjelang. Asya lalu masuk ke salah satu perpustakaan kecil yang ada di pinggir jalan. Suasana di perpustakaan itu cukup ramai, mungkin karena pulang sekolah hingga beberapa siswa dari sekolah mana pun berkunjung ke sini untuk membaca buku.
"Selamat siang," sapa penjaga perpustakaan, seorang wanita sembari memberikan senyuman hangat pada Asya, layaknya sambutan yang langsung dibalas hal serupa oleh Asya.
Asya memberikan kartu tanda anggota miliknya, lalu baru bisa diperbolehkan untuk memilih buku yang akan dipinjam. Tangan lentik gadis itu mulai menyentuh buku di rak khusus Astronomi. Hal yang ia suka, sebab Asya sangat suka memandangi langit malam bertabur bintang. Saat gadis itu hendak menarik buku tersebut, Asya tak bisa mencapainya. Gadis itu berjinjit untuk meraih buku tebal tersebut tapi tetap tak bisa Asya capai.
"Tubuhmu pendek sekali. Makanya, berhenti begadang dan tidur dengan benar!" sindir seseorang tiba-tiba.
Asya mematung, seseorang itu tepat berada di belakangnya. Suara lelaki yang menusuk ke telinga, suara yang tak asing. Aroma harum yang menyeruak dari lelaki itu membuat Asya membeku. Kemudian terbelalak.
'Apa lelaki yang di belakangku adalah Sean?' tanya Asya dalam hati gadis itu mulai tegang sekarang.
Sean berdeham sedikit saat Asya tak kunjung bereaksi. "Aku sudah mengabaikan Lathia, seperti katamu kemarin," ungkap Sean mengalihkan topik. Lelaki itu kemudian menarik buku tebal Astronomi yang hendak Asya ambil, ia lalu menyodorkannya pada Asya.
"Ini, buku yang kamu inginkan, 'kan?" tanya Sean menatap Asya serius.
Asya hanya menunduk, kedua tangannya meremas rok yang ia pakai. Asya terlalu gugup, atau bahkan terlalu malu untuk sekedar membalas tatapan Sean.
"Hey, kamu tak apa-apa? Apa kamu sakit?" tanya Sean lagi sembari menekuk kepalanya untuk melihat wajah Asya yang masih menunduk.
Asya mengusap kedua matanya kuat, entah mengapa Asya merasa ingin menangis saat itu. "Ah, lupakan," finalnya sembari menepis tangan Sean. Tanpa menunggu jawaban dari Sean, Asya melangkah cepat, dan berlari meninggalkan perpustakaan. Asya tak peduli dengan kartu tanda anggota miliknya yang tertinggal di sana.
Gadis itu malah berlari kencang, mengayunkan tungkainya dengan keras. Air mata di pelupuk gadis itu tanpa sengaja mengalir, dan dengan cepat Asya mengusapnya kasar. Asya menghentikan langkahnya saat di rasa ia sudah cukup jauh berlari. Jantung Asya berdegup cukup kencang, nafasnya terengah-engah membuat kulitnya cukup lembab karena keringat.
Asya melirik kursi di pinggir jalan, kursi yang sempat ia dan Crish duduki beberapa waktu yang lalu. Gadis itu duduk di sana dengan lemah, kemudian terisak kecil. Asya tak tahu mengapa ia bisa menangis hanya karena bertemu Sean. Gadis itu menutup mulutnya berusaha menahan isakannya, tapi tetap tak bisa.
"Aku takut ... aku sungguh takut," gumam Asya berlirih.
Beberapa menit, Asya masih merenung, seorang diri di sana. Hingga langit mendung mulai meneteskan ribuan air ke permukaan bumi. Lambat laun, daratan mulai basah karena air dan Asya tak sedikit pun berniat untuk segera pulang.
Asya lebih memilih menyendiri di sana, memikirkan kegundahan hatinya sembari menikmati suara hujan yang menenangkan. Hujan cukup deras, meskipun Asya duduk di kursi yang berada di bawah pohon, air hujan tetap tak dapat dihindari. Rambut dan seragamnya mulai basah dan lembab, namun Asya tak mempedulikan hal itu, ia lebih suka begini.
Hingga tanpa Asya sadari, Crish baru sampai di sana, memandang Asya untuk waktu yang lama dari dalam mobil. Lelaki itu memandangi Asya sembari bertanya-tanya, mengapa Asya terlihat sangat sedih? Tanpa ragu, Crish keluar dari mobilnya. Sebelum itu, lelaki tampan tersebut menyuruh sang sopir untuk menunggu.
Crish berjalan menghampiri Asya dengan payung berwarna hitam yang ia bawa. Crish juga membawa sebuah paper bag sedang di tangannya. Lelaki itu menaungi tubuh Asya dari hujan saat ia sampai di depan gadis itu. Asya yang hanya melamun langsung terhenyak, hujan di sekitarnya terasa berhenti. Ia mengangkat wajah dan mendapati Crish tengah berdiri dengan payung, tak lupa senyuman menawan lelaki itu juga terarah padanya.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Crish.
Asya masih terpaku dengan sosok wajah tampan itu. Kenapa Crish bisa ada di sini? "Kenapa ... Bapak bisa ada di sini?" tanya Asya balik.
Crish tersenyum. Ia menyodorkan paper bag pada Asya. "Aku ingin memberikan ini padamu. Isinya hanya beberapa makanan."
"M-makanan ...?" Asya tersenyum renyah. "Tak perlu repot-repot. Aku—"
"Aku hanya ingin memberi makanan ini padamu. Tolong terima. Oh, ya. Apa lukamu sudah sembuh?" Crish berusaha mengalihkan pembicaraan.
Asya hanya mengangguk. "Aku sudah baikan. Terima kasih," jawab gadis itu. Crish menghela nafas lega mendengarnya. Ia duduk di samping Asya dan menyimpan paper bag tadi samping Asya. Jangan lupakan, payung yang Crish pegang malah ditutup oleh lelaki itu.
"Hujan-hujanan sepertinya enak," ungkap Crish menyandarkan punggung ke kursi sembari menengadah. Maniknya terpejam, menikmati rintikan hujan yang membasahi wajahnya. Dinginnya air yang sungguh menenangkan.
Asya melotot. Ia panik. "Pak Crish! Kenapa hujan hujanan? Bagaimana kalau Pak Crish sakit?!" Asya sedikit berteriak.
"Hm, tidak apa-apa. Seperti ini ... Bisa menenangkan pikiran," balas Crish masih memejam mata. "Benar, 'kan? Aku sedang stress saat ini. Aku ingin menenangkan diri," lanjut lelaki itu.
Melihat wajah Crish dari samping, Asya hanya bertanya pada hatinya. Mengapa Crish nampak frustasi saat itu? Apa yang membuat Crish seperti itu?
"Asyara ... bolehkah aku sedikit bercerita tentang kehidupanku? Tentang hubunganku dengan Lathia. Kamu tak perlu menjawab, hanya cukup mendengarkan." Crish kembali bersuara.
"Sebenarnya aku ... ingin melepaskan Lathia." Crish melanjutkan tanpa menunggu persetujuan Asya.
Asya langsung terbelalak mendengarnya, gadis itu tak menyangka dengan apa yang Crish ungkapkan sekarang. "Maksud Pak Crish?" tanya Asya tanpa sadar.
Crish membuka matanya, menatap pohon yang menaunginya. "Jujur saja, aku sangat mencintai Lathia. Dia gadis pintar yang selalu membuatku kagum dan berusaha untuk bisa seperti dirinya." Lelaki itu mulai bercerita. "Aku bertemu dengannya saat dia kelas sepuluh SMA. Lathia gadis yang lugu dan pemalu, dia ditinggalkan keluarganya dan hidup sebatang kara. Dengan keinginanku, Lathia tinggal di rumah kami. Aku takut sesuatu terjadi dengan Lathia saat jauh dariku, karena itu aku membawanya kuliah ke luar negeri. Karena Papa menuruti semua keinginanku, aku bebas menginginkan apapun." Crish tertegun, mengingat kembali masa lalu yang pernah ia lewati. Sedangkan Asya mendengarnya cerita Crish dengan seksama.
"Kebahagiaan selalu ada saat aku bersamanya. Aku ingin menikahinya. Tapi beberapa bulan yang lalu, aku mulai ragu padanya." Crish melirik Asya, menatap gadis itu serius.
"Aku ragu ... sebab dia, sepertinya mencintai Sean."
***
~Bersambung~