"Kamu tak apa-apa?" tanya seseorang. Suara yang tak asing, dan tak begitu Asya kenali.
Asya tak langsung menjawab pertanyaan seseorang itu. Ia lebih memilih mengeryit sembari memijit pelipisnya, Asya berdesis, kepalanya semakin berputar, semakin terasa bahwa energi tubuhnya terkikis habis. Hal itu membuat tubuh Asya ambruk dan merosot. Asya tak bisa menahan tubuhnya.
Seseorang itu juga ikut terduduk di atas trotoar. "Hey, kamu kenapa? Tolong bertahanlah! Aku akan membawaku ke puskesmas," ujarnya.
Asya langsung menggelengkan kepala pelan. "Jangan ...." Asya melarang. Gadis itu lalu mengerjapkan maniknya berkali-kali. Pandangannya masih berputar, meskipun berangsur reda. Ia melirik ke arah samping, tempat di mana seseorang itu berada. Manik Asya seketika melebar, saat menyadari bahwa Crish-lah yang saat ini tengah menanyakan keadaannya.
"Kamu Asyara, 'kan? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Crish untuk ke dua kalinya, memastikan.
Asya menghela nafas pendek. Ia mengangguk pelan. "Aku baik baik saja. Hanya ... tubuhku tiba-tiba drop. Aku tak tahu penyebabnya," jawab Asya jujur.
Crish menuntun Asya untuk berdiri, lalu menuntun langkah Asya untuk duduk di salah satu kursi kayu yang ukurannya cukup panjang, jangan lupa kursi itu juga ada di bawah pohon rindang. Sehingga terik matahari maupun guyuran hujan tak akan terasa bagi siapa pun yang berteduh di bawahnya.
Setelah Asya duduk, gadis itu tak memiliki waktu untuk gugup di dekat Crish, pusing di kepalanya lebih mendominasi perhatian Asya. Alhasil, gadis itu hanya memijit kecil pelipis, berulang kali.
"Ini," tawar Crish tiba-tiba. Lelaki itu menyodorkan sebotol air mineral di hadapan Asya. Membuat Asya menatap air itu untuk beberapa detik. "Air bisa menetralisir rasa pusingmu," lanjut Crish. Lelaki itu memutar tutup botol itu dan memberikannya pada Asya.
Asya menerimanya, dengan cukup ragu. Tapi akhirnya gadis itu meminumnya juga. Crish sangat baik. Padahal Asya tak meminta apapun, bahkan lelaki itu membantu membukakan tutup botol. Hhhhh, Asya kira Crish tak akan sebaik ini.
"Terima kasih," ujar Asya mengelap bibirnya yang basar karena air. "Maaf karena merepotkanmu," lanjut gadis itu sedikit menunduk.
"Sudah baikan?" tanya Crish yang langsung diangguki oleh Asya. "Syukurlah." Crish menghela nafas lega. "Sepertinya, kamu sakit seperti tadi karena masih merasakan efek dari kecelakaan kemarin, ya? Maafkan aku, karena telah membuatmu celaka," ungkap Crish serius.
"Hah? Kamu ... yang membuatku kecelakaan?" Asya menatap Crish dengan kedua alis yang terangkat.
"Benar. Aku kemarin menabrakmu. Tapi sungguh aku tak sengaja. Aku ingin minta maaf padamu. Karena itu aku datang ke sekolahmu." Crish lalu tersenyum. "Dan aku senang sekali bisa mendapatkan kesempatan bertemu denganmu, Nona Asyara Hemalia," lanjutnya.
"N-nona?" Wajah Asya memerah. Ia menatap Crish heran. Apa Crish benar-benar anak orang kaya? Kenapa lelaki itu terlihat tak canggung dan tak gengsi saat berbicara padanya? Menyadari reaksinya yang terlalu berlebihan, Asya langsung berdeham. "Ekhm. Tidak apa-apa. Terima kasih telah menolongku, Pak Crish." Asya tersenyum kecil.
Tentu dengan suatu alasan mengapa Asya memanggil 'Pak' pada Crish. Sebab penampilan lelaki itu sangat formal dengan jas yang ia pakai, jangan lupakan dasi dan rambut yang ditata rapi. Wajah yang tampan rupawan serta hidung mancung lelaki itu menjadikannya pria mempesona bak pangeran bagi Asya. Tidak, bagi semua wanita tentunya.
"Pak Crish tak perlu repot-repot ke sini untuk meminta maaf padaku. Tapi, sebelumnya, terima kasih banyak," lanjut Asya tersenyum.
Crish membalas senyuman gadis itu. Ia menatap Asya sembari berpikir, menelisik wajahnya hingga ia menundukkan tatapannya. "Oh, iya. Aku ingin bertanya, apa kamu benar pacar Sean? " tanya Crish to the point.
"Eh?" Asya mengangkat alisnya. Oh, sial. Pertanyaan macam ini adalah pertanyaan paling tidak disukai oleh Asya. "Eum, kita sudah putus," jawab Asya sembari memalingkan tatapannya. Hahaha, lihatlah Sean, karena perkataan lelaki itu kemarin membuat Asya enggan sekali berurusan dengan lelaki dingin dan kejam itu.
Crish nampak terkejut. "Benarkah?" Hal itu membuatnya terhenyak sembari berpikir. Entah apa yang Crish pikirkan. Lelaki itu nampak misterius sekali.
Tapi jujur saja sebenarnya, Asya tak menyangka bahwa ia akan bisa semudah ini berbicara dengan Crish. Mengingat Crish adalah anak sulung keluarga Alexander, yang tentunya akan menjadi pewaris perusahaan dan memegang warisan paling banyak di banding Sean. Bisa dibilang, Crish beberapa tingkat di atas Sean, namun Crish tak memandang Asya rendah sedikit pun. Apa mungkin karena Crish belum tau bahwa Asya adalah anak dari pelayan yang bekerja di rumahnya?
"Oh, ya. Pak Crish, bagaimana bisa tau letak sekolahku?" tanya Asya mengalihkan topik.
Crish tak langsung menjawab. Lelaki itu lebih memilih menyandarkan punggungnya di kursi sembari menatap lalu lalang kendaraan. Ia merenung untuk beberapa detik, membuat Asya tertarik melihatnya. Terlihat dengan jelas, hidup mancung sempurna yang indah ciptaan Tuhan. Wajah lelaki itu sangat tampan, wajahnya terukir indah, membuat siapaun terpesona saat berada di dekatnya. Tak terkecuali dengan Asya.
"Sebelumnya, aku ke sini untuk mengurus beberapa dokumen. Di sekolahmu minggu depan akan ada lomba untuk merayakan anniversaryx 'kan?" tanya Crish melirik Asya.
"Bagaimana ... Bapak bisa tau?" tanya Asya heran.
"Aku kebetulan menjadi salah satu panitianya, aku juga pernah bersekolah di sini. Sewaktu SMA, sebelum akhirnua kuliah di luar negeri setelah lulus," ungkap Crish mulai bercerita.
"Jadi, Bapak pernah sekolah di sini?" Asya cukup terkejut, ia tak menyangka. Crish langsung melirik sembari mengangkat alis, seolah memberi isyarat pada Asya, kenapa Asya bisa terkejut dengan pengungkapannya.
Asya meringis. "Sekolahku bukan sekolah elit. Meskipun banyak menuai prestasi dan seleksi masuknya cukup ketat, uang sekolah dan keperluannya tak sebanding dengan sekolah elit. Aku ... hanya cukup terkejut saat tau Pak Crish yang lahir di keluarga berada, memilih sekolah di SMA-ku," jelas Asya merasa malu.
Crish tersenyum kecil. "Aku tak mempedulikan seberapa besar uang yang dikeluarkan. Dan Asyara," Crish melirik ke arah Asya, menatap gadis itu lekat. "Meskipun aku lahir di keluarga kaya, itu tak menjadi jaminan derajat manusia. Katamu, sekolahmu tak begitu mahal, tapi isinya banyak sekali murid pintar dan sering berprestasi. Jadi, jangan menilai apapun dari sampulnya, apa yang terlihat tak seperti kenyataan yang ada di dalamnya." Crish mengakhiri penjelasannya dengan tatapan serius. Lelaki itu akhirnya menghela nafas sembari memeriksa jam yang melingkar di tangannya.
"Sepertinya, aku harus berangkat." Crish bangkit. Membuat Asya tanpa sadar ikut bangkit. Crish lalu melirik ke arah kanan, sebuah mobil putih melaju ke arah mereka. "Aku pergi dulu. Sampai jumpa, Asyara." Crish melambaikan tangannya sembari tersenyum ramah, dan hangat. Lebih hangat dari sebelumnya.
***
—Bersambung—