Asya tercekat. Perkataan lelaki itu sukses menusuk ke ulu hatinya. Beberapa detik kemudian, Asya menghela nafas panjang, berusaha menghilangkan sesaknya yang berangsur-angsur mereda, sekaligus denyutan di hati yang disebabkan oleh perkataan Sean.
Gadis itu tak mengerti mengapa ia harus menerima semua perkataan itu. Namun, saat gadis itu terdiam, menerawang, seolah mengingat apa yang terjadi padanya, dan perkataan Sean yang merendahkannya, perkataan Alma tiba-tiba terngiang-ngiang di pikiran. Seolah menjadi peringatan bagi Asya.
'Apa yang kamu lakukan dengan Tuan Sean? Jangan berani mendekatinya! Harga diri kita akan diinjak-injak jika kita berani dekat dan bergaul dengan keluarga orang kaya!'
Hati Asya mencelos. Ah, sial. Perkataan Alma memang benar. Sukses menampar Asya saat itu juga. Butiran air bening berhasil menerobos pertahanan pelupuknya. Asya terisak kecil.
Gadis itu masih belum berbaikan dengan Alma. Asya sekarang sadar, bahwa Alma memperingatinya bukan sekedar omongan dan penilaian sepihak. Ibunya itu berusaha menyadarkan Asya pada kenyataan, bahwa Asya bukanlan apa-apa bagi keluarga yang memiliki kekayaan seperti Sean.
"Mama ... Maafkan aku," lirih Asya pelan.
***
Asya melangkah dengan pelan. Tatapannya tertuju ke bawah, menatap rumput-rumput yang ia pijaki sekarang. Tatapan gadis itu kosong sekali. Ditambah wajah yang sedikit pucat dan terdapat beberapa luka goresan, membuat Asya terlihat lemah.
Gadis itu menghentikan langkah, lalu menatap penampakan rumah besar milik keluarga Pak Arman. Asya baru dua hari tinggal di sana. Asya tak tahu apa-apa. Tak tahu dengan pasti berapa anggota keluarga itu, bagaimana wajah Pak Arman, Asya pun tak tahu. Ia hanya tau Sean dan Crish. Namun, hanya mengenal anaknya saja sudah membuat Asya cukup sakit hati.
Ah, masa bodoh! Asya menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Aku tak boleh memikirkan perkataan Sean! Lelaki itu hanyalah angin berlalu! Jangan sampai perkataannya dimasukkan ke dalam hatimu, Asyara! Bisa jadi penyakit hati!" peringat Asya menepuk pelan kedua pipinya. Sesekali ia meringis sakit saat merasakan luka goresnya, luka kecil tapi cukup sakit.
Setelah berhasil menggerutu, gadis itu memutuskan untuk segera masuk ke pintu belakang, tempat di mana ruangan pelayan ada. Beberapa langkah Asya mengayunkan tungkainya, hingga ia sampai di depan pintu dan masuk ke dalamnya.
Tanpa Asya sadari, seorang gadis keluar dari tempat pesembunyiannya, di balik pohon yang tumbuh di halaman rumah keluarga Alexander. Gadis itu terdiam, menatap perawakan tubuh mungil Asya yang perlahan menghilang di balik pintu.
Lathia mengepalkan tangannya. Ia mengerutkan kening. "Tidak salah lagi," gumamnya dengan tatapan dingin. "Apa kamu pikir aku akan sebodoh itu, Sean?" tambah Lathia menajamkan tatapannya.
Dzzzzzrt! Dzzzzzrt!
Ponsel Lathia bergetar. Hal itu mengalihkan perhatian Lathia. Gadis itu langsung merogoh saku bajunya dan memeriksa ponsel miliknya.
Ia melihat satu pesan datang dari Crish dan langsung membukanya.
Crish <3 :
'Kamu ada di mana? Belum makan malam, 'kan? Jika kamu di luar, cepat masuk. Aku tak ingin kamu kedinginan.'
Lathia berdesis kecil. "Sudah kubilang aku tak ingin lagi tinggal di rumahmu!" gertak Lathia kesal. Tapi apa boleh buat, gadis itu tak bisa melakukan apapun sekarang, dan ia hanya punya Crish yang bisa ia andalkan.
***
Klek!
Asya menutup pintu. Gadis itu lalu berjalan, hendak menuju kamar ibunya. Namun, langkahnya langsung terhenti saat mendapati beberapa pelayan nampak berkumpul di ruang tengah—khusus pelayan. Asya terkejut. Apalagi para pelayan itu langsung melirik ke arah Asya secara bersamaan, Asya menjadi pusat perhatian sekarang.
"Asya! Asya! Syukurlah!" teriak Alma tiba-tiba, menyerang Asya dari samping dan langsung memeluk gadis itu. "Syukurlah akhirnya kamu pulang, Nak!" ujar Alma lagi, sembari terisak.
Asya mengangkat alisnya. Menatap ibunya heran, sekaligus tak mengerti apa yang tengah terjadi. Ia lalu melirik pada para pelayan yang kemudian mendekatinya.
"Asya, itu namamu, 'kan? Kamu dari mana saja?" tanya salah seorang pelayan bernama Bi Rina.
"Aku ...," Asya menggantungkan ucapannya. Ia kecelakaan, dan Asya baru sadar bahwa ia pulang cukup malam. Mungkin hal ini membuat Alma sangat khawatir sampai para pelayan lain berkumpul seperti ini. "Aku mengalami kecelakaan tadi," jelas Asya jujur. Tiada gunanya ia berbohong.
"Ya ampun, Asya ...." Alma terisak kecil, memeriksa wajah gadis itu dan memeluknya lagi. "Kenapa kamu bisa kecelakaan? Syukurlah kamu selamat. Mama kira tadi kamu tak ingin kembali lagi pada Mama karena Mama terlalu berlebihan memarahimu. Mama benar-benar mengkhawatirkanmu, Nak," lanjut Alma lirih.
Benak Asya mencelos, sekaligus menghangat. Ia sangat senang Alma mengkhawatirkannya. "Mama, Asya tak mungkin melakukan itu. Asya tak mungkin meninggalkan Mama sendirian." Asya membalas pelukan Alma.
"Tadi, karena kamu belum pulang, Bu Alma kebingungan. Dia ingin mencarimu tapi tak bisa meminta izin pada Pak Arman karena beliau sibuk. Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Kami juga mengkhawatirkanmu." Pelayan bernama Tina ikut berbicara, menepuk pelan pundak Asya sembari mengukir senyum hangat.
Asya terpaku, ia lalu melihat ke arah sekeliling, para pelayan itu nampak ikut senang. Hal itu membuat Asya tersenyum kecil, sembari mengusap punggung ibunya yang masih menangis.
Asya rasa ia memang tak perlu memikirkan perkataan Sean. Tiada kasta rendah di dunia ini, karena semua manusia itu sama. Memiliki keinginan dan hati yang selalu mengkhawatirkan dan ingin dikhawatirkan.
***
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatian Sean yang saat itu tengah fokus menulis catatan di buku miliknya. "Masuk," titah Sean melirik sekilas.
Tak lama kemudian, Crish—orang yang mengetuk pintu datang ke kamar Sean sembari membawa segelas susu. Lelaki itu menyimpannya di samping meja belajar. "Mama menyuruhku mengirimkan ini padamu," ungkap Crish. Tanpa menunggu jawaban dari Sean, lelaki itu melipat tangan sembari bersandar di tembok.
Sean melirik sekilas ke arah segelas susu. Ia tertawa geli. "Ya ampun. Padahal Mama jarang memberiku ini, kenapa menyuruh Kakak membawakannya?" tanya Sean tak habis pikir.
"Mungkin Mama ingin kita bernostalgia sedikit," balas Crish. Crish tau betul, bahwa saat adiknya itu menginjak bangku SD, Crish paling rajin menyiapkan Sean segelas susu sebelum tidur.
Sean tersenyum singkat. "Kak Crish seperti ingin menjadi ibuku saja. Memberiku susu dan memperhatikanku. Tapi ... aku bukan anak kecil lagi sekarang," ujar Sean, kali ini lelaki itu memeriksa laptop miliknya dan membaca beberapa berkas di sana.
Crish berjalan ke arah ranjang dan membantingkan tubuhnya ke kasur empuk itu. Ia menenggelamkan wajahnya di atas bantal. "Aku tidur di sini malam ini. Aku ingin curhat," ungkap Crish.
"Apa?" Sean nampak terkejut. Ia melirik ke arah Crish. "Curhat apa?"
Crish tak menatap Sean. "Ini tentang Lathia."
Jawaban Crish sukses membuat Sean menajamkan pendengarannya untuk mendengar perkataan kakaknya. "La ... thia?"
***
~Bersambung~