Manik tegas seorang lelaki tertuju ke arah depan, memandang dengan seksama pada seorang guru pria yang tengah menjelaskan pelajaran.
Jam masih menunjukkan pukul sembilan. Istirahat kurang lebih satu jam lagi, bagi Sean dan beberapa murid lain satu jam terasa seperti satu hari, cukup lama. Sebab pelajaran yang mereka ikuti sekarang adalah pelajaran yang cukup melelahkan pikiran.
"Baiklah, karena kalian semua sudah mengerti, Bapak minta kalian mengerjakan soal-soal di papan tulis ini. Jangan khawatir dengan reward-nya, Bapak tentunya sudah menyiapkan hadiah untuk kalian," ujar Pak Erwin, guru Fisika. Perkataan Pak Erwin barusan langsung membuat para murid antusias, mengerjakan sesuatu dengan imbalan adalah hal yang membuat mereka melek bukan main.
"Jadi, siapa yang ingin mengerjakannya? Harap maju ke depan, ya," ujar Pak Erwin lagi.
Sean berdiri dari posisi duduknya, sembari memegang sebuah buku tulis. Hal itu membuat semua mata tertuju ke arahnya.
"Oh, Sean. Pangeran sekolah kita, silakan maju ke depan," titah Pak Erwin.
Sean dengan tenangnya melangkah ke depan kelas, mulai mengambil spidol dan mengerjakan soal yang tertera di papan tulis. Beberapa siswi berbisik-bisik, membicarakan Sean, dan mengagumi lelaki itu. Sean begitu idaman. Memiliki proporsi tubuh yang sempurna, wajah rupawan, lahir di keluarga kaya dengan memiliki prestasi mengagumkan. Hampir semua orang di sekolahnya memandang Sean bak pangeran yang dielu-elukan.
Setelah selesai mengerjakan soal, Sean menyimpan spidolnya. Pak Erwin yang sedari tadi menyimak gerakan tangan Sean lantas bertepuk tangan, sembari mengangguk tanda bahwa ia terkesima dengan kemampuan Sean menyelesaikan soal. Diikuti oleh tepuk tangan dari murid lain. Ada juga beberapa siswa yang memandang Sean dengan tak suka sebab mereka selalu tersaingi, dan sulit berkembang pesat karena Sean memiliki nilai yang terlalu sempurna.
Sean lalu beranjak menuju bangkunya. Sial, ia ingin pergi ke kantin sekarang. Perutnya lapar, tapi jam pelajaran Fisika ini rasanya berjalan dengan lambat. Sesaat setelah ia mendudukkan bokongnya di kursi, Sean merasakan ponselnya bergetar. Diam-diam, lelaki itu merogohnya di saku celana dan menyalakan ponsel. Dilihatnya beberapa pesan berantai masuk.
Sean mengerutkan kening, tanpa basa basi ia menbacanya.
Crish :
'Sean, bukannya gadis bernama Asyara Hemalia adalah pacarmu?'
'Dia mengalami kecelakaan! Dan aku tak tahu siapa orang tuanya!'
'Tolonglah ke sini. Aku memiliki banyak kesibukan, tolong bantu aku!'
Manik lelaki itu melebar. Asyara? Kecelakaan? Gadis yang kemarin ia ajak dansa itu? Tapi, kenapa Crish memintanya datang ke sana? Sean tak memiliki hubungan apapun dengan gadis itu.
Oh, ya ampun. Sean hampir lupa bahwa ia telah mengenalkan Asya sebagai pacarnya pada Crish kemarin. Dan inilah resikonya. Menyebalkan, tapi Sean cukup khawatir pada Asya jika memang gadis itu kecelakaan.
"Permisi, Pak." Sean langsung bangkit dari kursi. Berdiri tegak dengan tatapan serius. Hal itu kembali membuat Sean menjadi sorotan seisi kelas. "Keluarga saya mengalami kecelakaan. Saya izin pergi ke rumah sakit untuk menjenguknya. Jika Bapak mengizinkan, saya sangat berterima kasih, Pak," ungkap Sean berusaha sopan.
Pak Erwin mengerutkan keningnya. Ia merasa keberatan untuk memberikan izin pada Sean. Terlebih di tengah-tengah pelajaran seperti ini. Namun, karena Sean adalah murid yang pandai dan ramah, Pak Erwin yakin bahwa memang urusan Sean sekarang lebih penting.
"Baiklah. Harap minta surat izin pada kepala sekolah, ya."
"Baik." Sean menyanggupi.
***
Sean menghela nafas panjang. Lelaki itu duduk di samping bangsal milik Asya. Sial, ini kesalahannya. Karena itu Sean terlibat dengan Asya. Dan jika Sean mengalami masalah, apakah Asya akan dilibatkan juga?
Crish dan Lathia sudah pergi. Namun pikiran Sean kalut sekarang. Ia mengacak-acak rambutnya, kemudian melirik sekilas ke arah Asya. Gadis itu masih terpejam, dengan selang oksigen yang memenuhi rongga pernafasan.
Untung saja Crish mau tanggung jawab dengan membiayai seluruh biaya kecelakaan. Kalau tidak, Sean yang rugi besar.
Manik Asya perlahan terangkat. Gadis itu mengerjap beberapa saat, seolah menetralkan pandangannya. Ia sedikit bergumam saat menyadari keberadaan dia sekarang.
"Oh, kau sudah sadar?" tanya Sean dengan nada cukup ditinggikan.
Asya melirik ke arah Sean, dengan pelan. Ia mengeryitkan keningnya. "Kenapa ... kamu ada di sini?" tanya gadis itu dengan suara parau.
Sean melipat tangan di dadanya. "Kenapa?" Sean mengulangi pertanyaan Asya. "Aku di sini karena kesalahanmu." Sean memutar bola mata, untuk ke sekian kali lelaki itu menghela nafas sembari menampakkan ekspresi frustasi.
Asya tak langsung menanggapi. Gadis itu lebih memilih bangkit dari berbaring. Ia sedikit meringis saat merasakan rasa sakit di tubuhnya. Mungkin efek benturan. Asya masih ingat saat ia tertabrak, hingga ia berpikir akan mati saat itu juga. Namun, syukurlah ia masih diberi kesempatan hidup sampai sekarang.
"Kesalahanku?" tanya Asya ragu. "Aku ... melakukan kesalahan apa?" tanyanya lagi.
Sean melirik ke arah Asya dengan tajam. "Kenapa kamu bisa kecelakaan?! Apa kamu lengah?! Karena kecelakaanmu, Crish menghubungiku, dan aku terpaksa harus datang ke sini, mengorbankan waktu belajarku! Dan kau tau!? Lathia menatapku rendah! Apalagi seragam sekolah yang kamu pakai itu berasal dari sekolah rendahan! Tak sebanding denganku!" bentak Sean, amarah lelaki itu semakin menjadi.
Asya hanya terpaku, dengan keryitan yang tak kunjung luntur. Apa Asya tak salah dengar? Sean memarahinya? Atas dasar apa lelaki itu memarahinya? Padahal, Asya tak melakukan apapun. Bahkan mengganggu ataupun menggunjing Sean pun tidak pernah! Di saat ia bangun harusnya Sean menanyakan kabarnya, itu pun jika lelaki itu punya hati. Namun nyatanya, lelaki itu malah membentaknya.
"Apa kamu menghinaku? Aku berasal dari sekolah rendahan?" Asya mendengus, ia tersenyum pahit. "Dari mana pun aku berasal, itu bukan urusanmu. Dan itu kesalahmu sendiri karena sudah mengajakku berdansa kemarin malam. Mendapatkan tatapan rendah dari Lathia? Itu resiko untukmu. Kamu berani melakukannya, berani menanggung resikonya. Jadi kenapa kamu menyalahkan semuanya padaku?! Bukannya ini kesalahanmu juga?!" balas Asya dengan nada bicara yang sedikit di tinggikan, sebagai wujud protes pada Sean.
Sean tak menjawab. Lelaki itu hanya menatap Asya tajam, setajam tatapan elang. Jangan lupakan wajah penuh kemarahan yang ditahan dan juga gigi yang terkatup kuat.
"Lagi pula, ada apa denganmu? Tadi pagi, kamu terlihat biasa saja. Berbeda dengan sekarang, pertama kali aku membuka mata dan langsung mendapatkan tatapan setajam itu, lalu—" Ucapan Asya terputus saat gadis itu merasa sesak tiba-tiba menyerangnya. Asya memegang dadanya dan berusaha mengatur tempo nafas. Sesak sekali, apa ini efek karena Asya melampiaskan seluruh kesalnya atau kah karena kecelakaan yang ia alami? Apalagi, sekali Asya menarik nafas, rusuknya terasa nyeri dan ngilu.
Sean tak bereaksi apapun. Walaupun sejujurnya dalam hati Sean takut perkataannya membuat gadis itu menjadi sesak nafas. Hal itu semakin membuat Sean tak ingin berlama-lama di sana.
"Jangan coba coba melakukan kesalahan lagi, nanti aku yang akan terlibat! Aku tak ingin itu terjadi! Dan ingat, jangan mencoba sok kenal padaku! Kamu tak tau apa-apa!" tekannya. Sejurus kemudian, Sean berbalik badan, dan melangkah cepat dari sana dengan membanting pintu ruangan dengan keras, tak peduli bahwa ia tengah berada di rumah sakit sekarang.
***
~Bersambung~