Cowok itu berdiri di depan jendela kamarnya. Ia terus saja memperhatikan jendela rumah seberang. Lampu yang tiba-tiba menyala membuatnya mengernyit bingung. Terlihat sosok perempuan sedang melempar barang-barangnya dengan berutal.
Pintu pagar rumah itu juga terbuka sedikit, menampilkan sosok wanita dengan gaun berwarna merah keluar. Masuk ke dalam mobil hitam yang sudah menunggu sejak tadi.
Aslan mencoba untuk membuka jendelanya, melihat lebih jelas lagi apa yang di lakukan Athena dari kamarnya. Ia merasa khawatir, takut jika gadis malang itu menyakiti dirinya sendiri. Apa lagi ketika Athena emosi, ia tidak bisa mengendalikan keinginannya untuk terus merasa marah.
Aslan segera merogoh kantong boxernya, mencari nomor Athena, dan menempelkan benda pipih itu pada telinganya.
"Angkat Na!" gumam Aslan gelisah.
"Hallo!"
Suara itu membuat Aslan menghela lega, ia mulai duduk di atas meja belajarnya, dan masih memperhatikan jendela kamar Athena.
"Lo kenapa Na? Ada masalah apa lagi?" tanya Aslan tanpa basa-basi.
Tak ada jawaban, hanya suara deru napas Athena yang tidak teratur.
"Na, gue mau kok jadi temen curhat lo. Aman kok Na, gak akan gue sebarin, santai aja!" ucap Aslan meyakinkan.
"Jujur gue gak suka ngobrol lewat telepon, tapi ini udah-"
"Gue ke rumah lo sekarang," potong Aslan cepat, dan langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Aslan mulai beranjak, memakai celana tidur berwarna hitam polos, dan berjalan keluar. Ia berjalan dengan sangat pelan, takut kedua orang tuanya bangun karena langkahnya tidak pelan.
Setelah keluar, Aslan mulai berlari menuju rumah Athena. Membuka pagar rumah itu dengan pelan, dan mengampiri gadis yang sudah duduk di depan pintu rumahnya dengan sweater berwarna toska.
"Oke, ayo cerita!" titah Aslan setelah duduk di depan Athena.
"Gue gak ngerti harus mulai darimana."
"Gue aja yang mulai. Tadi itu nyokap lo bukan?" tanya Aslan.
"Iya, dia nyokap gua."
"Kenapa lo lempar barang-barang kaya orang kesetanan?"
"Karena gue kesel."
"Kesel kenapa? Awal mulanya tadi gimana sih?"
Athena menghela panjang, meminum cokelat panasnya sebelum akhirnya kembali menatap Aslan datar.
"Jadi tadi pas gue pulang dari rumahnya bokap, nyokap gue ada di rumah. Gue gak ngerti gimana dia bisa masuk, yang jelas dia tau sandi rumah gue," jelas Athena, "Dia ngasih undangan, tapi gue minta buat dia gak nikah lagi. Dia marah, gue juga marah, terus dia nampar gue. Akhirnya gue usir dia secara halus terus pergi ke kamar."
"Na, gue ngerti lo gak mau punya ayah tiri, tapi Na. Ini hidup nyokap lo, terserah dia mau gimanain hidupnya. Lo sebagai anak, seharusnya ngedukung meskipun gak suka."
Athena terdiam, ia tidak suka dengan jawaban Aslan yang membela Leisha. Jawabannya sangat tidak masuk akal, dan tidak bisa di terima begitu saja oleh Athena.
"Kok lu nyalahin gue sih?" ketus Athena.
"Gak gitu Na, gue di sini ngasih tau."
"Iya gue paham lo ngasih tau, tapi gak harus juga kan lo ngebela leisha?! Gue gak suka sebenernya harus bahas dia, gue juga gak suka dengerin bacotan lo tadi!"
Aslan menghela, ia harus ekstra sabar menghadapi gadis ini. Apa lagi masalah yang di alami Athena sangat berat, dan pasti gadis itu merasa sangat tertekan.
"Oke gue minta maaf, gue salah Na."
"Emang!"
Setelah itu tak ada lagi percakapan diantara keduanya. Mereka hanya diam, dan saling menatap beberapa kali saja.
"Aslan, apa gunanya gue hidup kalau hidup gue udah hancur? Apa gunanya Tuhan nyiptain gue kalau di kehidupan ini gue selalu sendirian, gue selalu tertekan, gue kesepian Aslan," ucap Athena tiba-tiba.
Aslan merasa kaget, raut mukanya nampak begitu terkejut mendengar kalimat itu keluar dari bibir Athena. Aslan pikir gadis di depannya itu pemberani, dan tidak pernah merasa kesepian, lebih tepatnya ia tidak membutuhkan orang lain. Namun, semuanya salah.
Athena tetaplah manusia biasa, makhluk sosial yang masih membutuhkan seseorang untuk bisa menjadi temannya. Gadis itu juga butuh bantuan, ia tidak mau merasa kesepian.
"Na, Tuhan selalu punya alasan ketika menciptakan sesuatu. Gue yakin ada hikmah di balik ini Na, kalau gue yakin lo harusnya yakin Na," sahut Aslan, "Oh iya, lo udah bisa sampai di titik ini loh Na. Itu artinya lo hebat, lo kuat karena bisa ngejalanin takdir yang menurut lo itu jahat."
"Gue bosen Lan, gue pengen istirahat tenang, tapi gak pernah berhasil. Tuhan selalu ngasih nyawa tambahan tanpa peduli sama rasa sakit gue."
"Na, jangan bunuh diri! Apa untungnya coba bunuh diri? Jangan ngaco Na! Kehidupan di sana lebih kekal, dan belum tentu lo masuk surga!" omel Aslan kesal.
"Gue capek Aslan, gue capek harus hidup kaya gini. Gue kesepian, orang tua gue aja acuh, dan gue juga gak punya temen!" Athena menyeka air mata yang masih menggenang pada pelupuk matanya.
"Lo masih punya gue kok Na, lo juga punya sosok ibu yang selalu ngebanggain elu."
"Siapa?"
"Nyokap gua."
"Apa?" kening Athena bertaut dalam.
"Iya, nyokap gue selalu ngebanggain elu Na. Nyokap gue pengen punya anak secantik, dan sepinter lo. Sayangnya nyokap gak pernah ketemu secara langsung sama lo, cuman bisa denger cerita soal lo dari gue."
Athena terdiam, ia baru tahu jika ada seorang wanita yang menginginkan anak sepertinya. Sayang sekali, Athena harus lahir dari rahim wanita yang tidak menginginkan seorang anak.
"Kenapa nyokap gue beda ya Lan? Kenapa gue gak lahir dari rahim nyokap lo aja?" tanya Athena dengan menahan bendungan air mata yang ingin terjatuh.
"Nyokap lo beda, artinya Tuhan mau ngasih sesuatu buat lo."
"Sesuatu yang ngebuat gue ngerasa hidup gak adil."
"Adil kok Na, cuman garis takdirnya yang beda. Setiap orang itu punya garis takdir masing-masing, udah di tentuin sama Tuhan. Dan gue yakin endingnya bakalan happy," jelas Aslan.
"Happy ending." Athena berdecih, menyinggungkan senyuman miring sambil membenarkan posisi tangannya, "Meninggalnya seseorang yang kita cinta itu juga termasuk happy ending?"
"Buat yang di tinggal emang sedih buat beberapa pekan, tapi kan itu bukan akhir dari kehidupan, jadi masih harus lanjutin hidup. Beda lagi sama yang meninggal, almarhum udah bahagia," ucap Aslan sebelum mengambil jeda sejenak, "Kita emang gak ngerti nanti di akhirat bakalan masuk surga atau neraka, tapi dari semua masalah yang almarhum rasain di dunia, udah jelas kematian adalah akhir yang lebih menyenangkan."
"Kenapa lo nyimpulin gitu?"
"Sekarang gue tanya, kenapa lo pengen mati setiap lo ngerasa hancur?"
"Karena gue pikir kematian lebih bagus."
"Nah! Itu, bedanya di sini lo yang putusin garis takdir. Kalau kasus yang tadi, garis takdirnya emang udah selesai di titik itu. Titik di mana dia harus pulang menemui Tuhan."
"Terus gue harus apa?" tanya Athena lesu.
"Jalanin Na, perjalanan hidup lo itu masih panjang. Gue yakin kok Na, bakalan ada kebahagiaan yang nungguin lo di sana."
"Kalau gue gak kuat?"