Hampir beberapa hari ini keluarga Ansel dan Alesta benar-benar disibukan dengan persiapan pernikahan, sedangkan calon pengantinnya sendiri malah sibuk menyelesaikan pekerjaan kantor yang tidak akan ada habisnya. Walaupun hari H, pernikahan mereka telah didepan mata hanya tinggal menunggu kurang waktu 24 jam lagi, mereka akan sah menjadi pasangan suami istri.
"Selesai makan siang, apa kita ada agenda lagi?" Alesta menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak ada, hanya ada beberapa berkas saham yang harus diperiksa!" ujar Alesta seraya berjalan memberikan laporan perkembangan saham perusahaan pada Ansel yang saat ini tengah sibuk memandangi wajah tampannya yang dihiasi sedikit luka lebam, akibat ulahnya beberapa hari yang lalu, setelah ia kedapatan membawa perempuan kedalam ruang pribadinya.
Saat ini mereka berdua telah bersama kembali dalam satu ruang, di ruang kerja Ansel. Sebenarnya baik Alesta maupun Ansel telah menolak hal itu, tapi baik Ayah dan Ibu Ansel melarang Ansel dan Alesta untuk berpisah ruang. Hal itu dikarenakan sehari setelah fitting baju pengantin, Ibu Ansel mendapati putranya tengah memangku seorang perempuan. Jika, perempuan itu Alesta mungkin Ibu Ansel akan memaafkan dan memaklumi hal itu dan tidak akan menghajar putranya sendiri habis-habisan waktu itu.
"Alesta, Ansel!" Panggilan tersebut membuat Ansel dan Alesta menatap kearah pintu yang terbuka.
"Mama, kenapa Mama kesini?" ujar Ansel langsung mendapatkan geplakkan kepala dari sang Ibu, sehingga membuat Ansel hanya mampu meringis pelan akan perlakuan ibunya yang terus saja menganiaya dirinya.
"Kamu tuh ya, bukannya ngomong salam atau nyapa gitu, sama Mama. Malah nanya, Mama kenapa kemari?" ujar Ibu Ansel dengan tatapan tajamnya, hanya membuat Ansel terdiam bungkam. Kemudian beralih kearah calon mantunya dengan tatapan yang begitu lembut membuat Ansel lama-lama jengah harus satu ruang dengan Alesta yang setiap saat kadang baik padanya, kadang secara tiba-tiba menganiaya dirinya. Dasar perempuan memang sulit dimengerti!!!
**
"Alesta, apa Ansel masih bawa perempuan? Anak ini benar-benar selalu saya membuat orang Tua, naik darah saja!" Alesta menggelengkan kepalanya pelan.
"Enggak kok, Ma. Kemaren Mama itu cuma salah paham, Mas Ansel gak salah kemaren!" Bela Alesta dengan suara yang begitu lembut, membuat Arini yang secara tiba-tiba muncul mendecih pelan. Sosok tak kasih mata itu bahkan menatap tajam Alesta dan Ansel secara bergantian dengan tatapan membunuh.
"Sayang, kamu jangan belaian Ansel. Mama tau tabiat anak Mama itu gimana, pokoknya kamu harus sabar hadapi Ansel. Tapi, kalo kamu udah gak tahan sama sifat playboy-nya Mama dukung kamu buat saingan sama cewek-ceweknya Ansel!" Sontak hal itu membuat Arini, sosok tak kasat mata tersebut seketika mengulas senyum yang begitu Savage tak sabar untuk memberikan pelajaran bagi Ansel, jika berani membuat Alesta menangis ataupun teraniaya.
"Ma..," ujar Ansel kesal
"Kenapa, bener kan? Apa yang tadi Mama omongin, kamu itu ya bener-bener gak ada akhlaknya." Potong Ibu Ansel dengan cepat membuat Ansel memberengut kesal.
"Sekarang, Mama mau kalian berdua pulang dan istirahat! Karena besok hari pernikahan kalian, Papa dan Mama udah putusin buat kalian berdua libur dua Minggu
"Apa? Mama bener-bener gak mikir ya, gimana kalo perusahaan keluarga bangkrut? Siapa yang mau gaji mereka?"
Plakk...
Dengan perasaan sedikit kesal Ibu Ansel langsung menampar mulut putranya tersebut yang terus saja mengoceh dan membuat Ibu satu anak tersebut selalu naik darah, dengan segala ucapan Ansel yang dapat dikatakan sedikit kurang ajar.
"Mama, udah cari orang buat jaga perusahaan selama kamu libur, dan kamu gak usah mikir aneh-aneh!" ujar sang Ibu sebelum akhirnya, menggandeng tangan Alesta yang hanya diam bingung dengan segala pertengkaran Ibu dan anak tersebut.
"Ayo, Alesta kita pulang."
"Tapi, Ma..,"
"Gak, ada tapi-tapian calon putri Mama harus cantik. Gak boleh kalah sama cewek-ceweknya Ansel!" ujar wanita paruh baya tersebut seraya tersenyum lembut pada calon mantunya tersebut, sebelum akhirnya mengalihkan perhatiannya kearah Ansel yang diam menggerutu dalam hati.
"Dan, buat kamu Ansel, cepat selesein kerjaan kamu dan pulang! Mama gak mau denger kamu main, sama cewek lain!"
**
Alesta menatap dirinya yang saat ini telah selesai mengenakan make up serta gaun pengantin yang benar-benar cukup tertutup, entah apa yang dilakukan oleh Arini pada Ansel yang pasti Alesta sangat berterimakasih pada Arini yang telah membuat dirinya mengenakan gaun pengantin yang benar-benar sangat anggun yang kini tengah Alesta kenakan.
"Kau sangat menyukai gaunnya."
"Tentu aku sangat menyukainya, terimakasih!" Arini diam menatap kembarannya yang hanya diam murung setelah memuji gaun yang telah Ansel pilihkan tempo hari.
"Jika, kau tidak menyukai pernikahan ini, kenapa kau menjalaninya?"
"Ini semua karena Kakek, kau tau sendiri bukan jika Kakek dan Nenek sangat menyayangi kita?" Arini menganggukkan kepalanya paham, akan situasi kembarannya itu.
Nenek dan Kakeknya begitu sangat menyayangi Arini dan Alesta, semua yang diinginkan mereka berdua pasti dipenuhi. Kecuali dengan insiden kecelakaan yang menimpa Arini disaat orang tua mereka berdua telah bertengkar.
Cklekk...
Sejenak Arini tersenyum tipis seolah mengatakan pada kembarannya untuk tetap tenang, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Alesta yang hanya diam menatap kedatangan sang Ibu.
"Mama...," ujar Alesta seketika mendapatkan pelukan dari sang Ibu beberapa hari belakangan ini seolah mengabaikan dirinya, dan itu semua tidak lain karena Arini yang tanpa berpikir dulu langsung menerima perjodohan ini.
"Putri Mama, memang yang paling cantik." Puji sang Ibu seketika membuat Alesta hanya diam.
"Arini juga cantik," sahut Alesta berbicara dengan suara sedikit bergetar membuat sang Ibu langsung menyuruhnya untuk diamm
"Shttt..., Jangan begitu harusnya hari ini, anak Mama harus bahagia." ujar Perempuan paruh baya tersebut dengan perasaan sedikit tidak rela membetulkan penampilan putrinya, sebelum akhirnya beberapa orang masuk kedalam kamar putrinya. Salah satunya Ansel yang kini tengah memasang raut wajah begitu dingin, sedangkan sosok tak kasat mata Arini hanya diam ketika melihat Ansel mengusir beberapa orang yang masuk kedalam kamar Alesta dengan alasan ingin menghilangkan kegugupannya.
"Kenapa Pak?" Ansel mendecih tak suka, dengan seenaknya langsung berbaring begitu saja di atas tempat tidur Alesta.
"Langsung saja, tanda tangani ini! Dan anggap ini bagian dari pekerjaan!" ujar Ansel dengan begitu dingin melemparkan map yang ia bawa pada Alesta yang dengan cepat membaca isi map tersebut.
"Aku tau kau, pas ...," ucapan Ansel terhenti begitu saja, ketika melihat Alesta merobek map yang ia berikan pada Alesta beberapa saat yang lalu.
Krekkk....
"Apa yang kau lakukan?" Detik berikutnya Ansel benar-benar, menyesal dengan apa yang ia lakukan pada Alesta untuk kesekian kalinya. Perempuan yang saat ini tengah mengenakan gaun pengantin tersebut terlihat menyodorkan gunting tepat di depan matanya, dengan tatapan bergairah untuk menusuk matanya.