"Keluargamu tidak pernah mengatakan, jika kau memiliki kembaran!" Celetuk Ansel masih menatap Erick yang tengah memberikan pesanan mereka di meja kasir.
"...." Alesta diam enggan untuk menjawab pertanyaan tersebut yang membuat dirinya merasa batinnya begitu sakit. Kematian Arini benar-benar membawa dampak yang begitu besar bagi dirinya dan keluarganya.
"Oh, ya Alesta ada perlu apa sampai kita harus bertemu?" ujar Erick membuka pembicaraan setelah kembali, mengingatkan tujuan mereka untuk bertemu siang ini.
"Kenapa Alesta hanya diam saja?" ujar Erick kembali, sembari mendudukkan dirinya menatap Alesta yang hanya diam. Kemudian tatapan Erick mengarah kepada Ansel yang diam menaikan sebelah alisnya.
"Apa?" Ketus Ansel membuat Erick berdecak pelan, bagaimana mungkin laki-laki secuek ini dapat memiliki istri seperti Alesta.
"Tidak ada, seperti dugaan ku sebelumnya, Alesta tidak akan tahan dengan laki-laki model seperti dirimu!"
"Apa maksudmu mengatakan hal itu? Aku tau apa yang ada dalam pikiran picikmu itu. Kau boleh jadi sahabatnya, tapi tidak dengan merebutnya dariku!"
"Ide yang bagus, kau selalu memberikan ide dalam otakku untuk merebutmu My Honey!" ujar Erick berniat menggoda Ansel tetapi seperti sebelumnya, Ansel benar-benar, belum mengerti dengan jelas sikap Erick dan menganggap ucapan Erick tersebut adalah hal yang serius.
"Jika ingin merebut Alesta ambil saja! Aku tidak butuh perempuan seperti dia!" Tegas Ansel seketika mendengar gebrakan meja, dan pelaku utamanya ialah Alesta.
Seketika hanya ada keheningan diantara mereka bertiga, sebelumnya akhirnya dua laki-laki tersebut mendengar suara ketukan sepatu Alesta yang pergi kian menjauh.
"Bodoh!" umpat Erick seketika begitu sosok Alesta tak terlihat lagi dimatanya.
"Kenapa ada apa?" Cengo Ansel merasa bingung dengan tidakan Alesta barusan yang sebelumnya hanya diam setelah dirinya melontarkan pertanyaan.
"Apa yang kau katakan tadi, sebelum aku kembali?" Erick berucap tak sabar.
"Aku tidak mengatakan apapun, aku hanya mengatakan kenapa keluarga tidak pernah mengatakan, jika dirinya memiliki kembaran!"ucap Ansel kembali membuat Erick mengumpat, dan tanpa menunggu Ansel bicara kembali Erick langsung berlarian mengejar Alesta meninggalkan Ansel yang hanya diam bak orang bodoh.
Dan, baru saja Ansel berniat mengejar Alesta, seorang pelayan menghadang langkahnya membuat pewaris utama perusahaan besar hanya duam mengeyit bingung. Kemudian menampilkan raut wajah penuh tebar pesona pada pelayan tersebut.
"Kenapa, ada apa cantik? Apa kau ingin meminta tanda tanganku atau nomer teleponku?" ujar Ansel penuh percaya diri.
"Maaf tuan, saya hanya ingin memberikan tagihan ini!" ujar pelayan tersebut memberikan tagihan pesanan Erick beberapa saat yang lalu, seketika membuat senyum penuh percaya diri Ansel menghilang begitu saja.
"Apa aku bisa membuatnya mengunakan kupon ini?" ujar Ansel kupon yang sengaja ia kumpulan untuk mendapatkan makanan ataupun minuman gratis, mendengar ucapan Ansel barusan membuat pelayau tersebut tertawa pelan dan tentu hal itu menjadi sesuatu yang memalukan bagi Ansel.
"Tck, laki-laki itu benar-benar menyusahkan saja!" Decak Ansel setelah selesai membayar pesanan yang belum sama sekali tersentuh dan pada akhirnya memutuskan membungkusnya.
**
Kembali ke Alesta dan Erick yang saat ini tengah duduk diantara bangku taman yang cukup rindang, ditemani dengan dua gelas cappucino dingin yang dibeli Erick ketika dirinya mendapati Alesta tengah diam melamun sendiri di taman.
"Kau kenapa?" Alesta menggelengkan kepalanya pelan, menyeruput pelan cappucino dinginnya. Kemudian bibirnya melempar senyum dengan rasa penuh kaku.
"Jangan bersedih, aku tau laki-laki itu tidak mengerti apapun tentang kau dan Arini."
"Ya..., Aku tau hubungan kami hanyalah sebatas perjodohan. Tidak ada yang bisa diharapkan untuk hal ini!" Erick memandang Alesta dengan dalam, kemudian matanya beralih kearah tanaman bunga mawar yang tertanam tidak jauh dari tempat mereka duduk.
"Jangan terlalu kau pikirkan, aku yakin laki-laki itu tidak bermaksud untuk menyakitimu dengan menyinggung keluarga dan kematian Arini!" ujar Erick memberikan pengertian pada Alesta untuk tidak berlarut-larut, padahal dalam hati Erick sangat ingin sekali mengumpat dan mengatai segala yang buruk pada Ansel yang telah ia beri tau sebelumnya ketika hari pernikahan.
"Aku mengerti, jangan khawatir. Aku baik, hanya saja semalam aku baru saja mendapatkan teror." Erick menatap bingung Alesta.
"Lagi? Bukankah itu sudah sangat lama," Alesta menggeleng lemah kembali meminum capuccino miliknya.
"Entahlah, kau tau sendiri bukan Arini memiliki banyak musuh. Aku tidak tau apa yang selalu dia perbuat, dia selalu seenaknya bahkan ketika setelah mati, kenapa semua begitu senang di atas kematiannya!" Alesta berujar kembali membuat Erick diam, memalingkan wajahnya tersenyum kecut. Bagaimana dirinya menjelaskan, jika semua pertengkaran yang terjadi tauran yang terlihat itu semua masih berhubungan erat dengan Alesta.
"Kau tak perlu menyalahkan semuanya, Arini memiliki alasan tertentu untuk selalu dipanggil oleh BK. Daripada kau menyalahkan semuanya lebih baik, kau tak usah berlarut-larut dengan semua ini."
"Bagaimana semuanya selesai!" Kesah Alesta entah pada siapa, kini pikirannya kembali bergelayut pada kejadian sebelum pernikahan di mana Arini masuk kedalam tubuhnya dan menghancurkan semuanya, belum lagi dengan masalah teror kemarin malam.
"Kau harus berpikir positif untuk ini! Keluargamu hancur itu semua sudah takdir, kau jangan terus menyalahkan keluargamu hancur karena kematian Arini."
"Itu semua benar, kau lihat bukan? Sejak kematian Arini semuanya berubah Papa dan Mama bercerai, belum lagi Kakek terserang Stroke karena shock dengan kematian Arini!"
"Aku tau, hubungan Paman dan Bibi menjadi buruk karena kematian Arini. Bukan berarti kau ikut terpuruk, sudah lama kita tidak bertemu kenapa kau tetap sama." Alesta diam enggan untuk menanggapi ucapan Erick barusan, baginya untuk melupakan segalanya adalah hal yang sulit.
Bertahun-tahun Arini selalu menghantui dirinya, bukan arti sesungguhnya Arini meneror dirinya seperti kebanyakan flm hantu. Arini terkadang melindungi dirinya, walupun caranya terlalu kasar, tapi setidaknya bertahun-tahun benar-benar tidak kehilangan Arini. Tetapi, tidak untuk keluarga besarnya terutama dengan Ayah, Ibu, dan Kakeknya yang sampai saat ini entahlah, nama Arini seperti jarum tak kasat mata yang menembus hati.
"Kau suka sekali membaca tarot sejak dulu, aku dengan pembaca tarot selalu berusaha untuk mengatakan agar healing. Tapi, kenapa tidak dengan kau?" Alesta melirik sesaat Ansel kemudian tersenyum, seakan menertawakan apa yang sudah terjadi.
"Bicara itu mudah, tapi menjalaninya susah. Kau mengerti bukan?" Erick hanya diam menganggukan kepalanya pelan, tidak tau harus berbuat apa untuk menghibur Alesta.
"Apa kau ingin aku, mengantarmu?" Tawar Erick merasa pembicaraan ini harus sudah disudahi, Alesta tersenyum singkat sebagai tanda terima kasih, dilanjutkan dengan gelengan kepala.
"Tidak, kau pulanglah dulu. Aku ingin mengunjungi Mama dan lagi, besok adalah peringatan ulang tahun Arini. Kau akan datang bukan?"
"Tentu aku akan datang, kalau begitu aku pergi dulu. Jangan terlalu berharap laki-laki itu akan datang menjemputmu!" ujar Erick dengan nada bercanda sekaligus menggoda Alesta yang terlihat tak peduli dengan ucapannya, namun hal itu tidak berlaku pada Ansel yang sedari tadi mengamati pembicara mereka berdua.
Kesal tentu saja, cemburu tentu tidak. Untuk apa Ansel cemburu, satu-satunya yang membuat Ansel mengikuti mereka berdua karena rasa bersalah sekaligus penasarannya.
**
"Ternyata selain menjadi laki-laki yang kurang pengertian pada istrimu, ternyata kau juga seorang penguping!" Ansel benar-benar terperanjat terkejut terhadap kehadiran Erick yang secara tiba-tiba berada dibelakangnya, lengkap dengan raut wajah penuh mengesalkan.
"Jangan terlalu percaya diri, aku hanya kebetulan lewat!" Sanggah Ansel, sesaat membuat Erick menampilkan raut wajah yang jelas begitu menghina.
"Ada apa? Apa kau tidak percaya?" Erick menggelengkan kepalanya pelan.
"Bukannya aku tidak percaya, bahkan aku belum mengatakan satu katapun. Tapi, jika dilihat dari wajahmu itu, kau membuat diriku berspekulasi kau benar-benar laki-laki bodoh!" ujar Erick tersenyum menyeringai, meninggalkan Ansel yang hanya diam menatap Alesta dari kejauhan yang masih diam termenung terhadap pikirannya sendiri.
**