Chereads / Sinar Mentari / Chapter 17 - Perasaan Mama

Chapter 17 - Perasaan Mama

Ibu Alesta diam kemudian menganggukkan kepalanya paham akan apa yang dirasakan oleh putrinya. Alesta dan Arini adalah segalanya bagi dirinya, Ibu Alesta benar-benar telah kehilangan kedua putrinya setelah Alesta menikah dan Arini pergi untuk selamanya.

"Mama tau, kau tidak menyukai pernikahan ini. Jujur Mama tidak bisa berbuat banyak untuk membatalkan semuanya, Mama sepat kecewa ketika kamu tiba-tiba setuju dengan pernikahan ini!" Alesta menatap serius sang Ibu yang dari pancaran matanya terlihat begitu jelas, merasa enggan untuk melepaskan dirinya.

"Bagaimana menurut kamu, apa Ansel baik?"seketika Alesta diam, enggan untuk mengutarakan segalanya pada sang Ibu.

"Kurasa dia baik!" Alesta berujar ragu karena dalam hatinya ia selalu mengingat kata-kata Arini, jika kembarannya itu tidak akan pernah menyerang seseorang tanpa alasan yang jelas.

"Alesta, Mama tau. Kamu tidak sepandai Arini dalam berbohong. Jangan ragu untuk katakan sesuatu pada Mama!" Alesta diam menunduk pelan, Alesta belum terlalu mengenal bagaimana Ansel. Karena selam dirinya menjadi sekertaris Ansel, jiwa Arini yang selalu masuk dalam tubuhnya dan akan keluar ketika dirinya mulai bekerja.

Memang hal ini cukup menggelikan sekaligus menyebalkan, jika seorang hantu gentayangan selalu kapan saja dapat merasuki tubuhnya. Hanya satu yang ia tau tentang Ansel, sikapnya yang selalu bergonta-ganti pancar dan amarahnya begitu mudah ditebak.

"Jujur, Alesta tidak yakin untuk mengatakan hal ini pada Mama. Alesta sebenarnya benar-benar tidak menyukai pernikahan ini. Alasan Alesta menerimanya pasti Mama tau sendiri,"

"Maaf, Mama benar-benar sama seperti kamu. Perjodohan ini sudah diatur sejak dulu. Lalu apa dia kasar sama kamu!" Alesta menggelengkan kepalanya pelan, dirinya tidak ingin terlalu banyak mengungkapkan sesuatu pada sang Ibu, termasuk hal gila yang dilakukan Ansel tempo hari dengan menawarkan dirinya pernikahan kontrak, dan berakhir Arini merasuki tubuhnya.

"Mama, seperti melihat Arini dalam diri kamu!" Celetuk sang Ibu secara tiba-tiba membuat Alesta kembali menatap sang Ibu.

"Mungkin Mama terlalu merindukan Arini, kami ini kan, kembar identik!" Ibu Alesta diam sesaat kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

"Tidak, Mama memang merindukan Arini sampai-sampai mungkin Mama membayangkan kau menjadi Arini, tapi perasaan Mama sulit dibohongi. Saat akan pernikahanmu, Mama tidak tau apa yang kau lakukan pada Ansel yang pasti menantu Mama itu kelihatan takut."

"Jujur saja, melihat Ansel takut. Mama ingin sekali tertawa dan membayangkan jika kau itu Arini. Mama benar-benar ingat sekali ketika Erick dan Arini bertengkar, benar-benar persis seperti kalian berdua waktu itu." Lanjut Ibu Alesta, membuat Alesta yang mendengarnya hanya diam mematung apa ibunya tau tentang pernikahan kontrak yang ditawarkan Ansel? Sekelabut tanda tanya membayangi pikiran Alesta.

"Mungkin Mama terlalu rindu Arini, besok ulang tahun kami. Apa Mama sudah mempersiapkan kado untuk diriku dan Arini!" Ibu Alesta tersenyum singkat, kemudian dari pancaran matanya jelas begitu terlihat suram dan terluka.

"Maaf, Alesta tidak punya maksud untuk..."

"Sudahlah, lupakan saja. Sekarang kamu istirahat, dan kabari Ansel Mamanya sudah pulang dari tadi!"

**

Cklekk...

Alesta membuat pintu kamarnya dan yang pertama dirinya lihat, Ansel tengah tertidur di atas tempat tidurnya. Matanya menangkap tangan Ansel, terlihat dengan jelas tengah memegang salah satu kartu tarot miliknya.

Hujan telah berhenti, dengan langkah pelan Alesta membuka pintu lemarinya untuk mengambil selimut untuk menyelimuti Ansel yang sama sekali tidak terganggu tidurnya akan kehadirannya.

Namun, ketika Alesta akan beranjak pergi matanya menangkap ponsel Ansel yang hidup dan adanya pesan masuk membuat sisi penasaran Alesta bangkit. Begitu membaca pesan tersebut Alesta hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan penuh campur aduk.

Dulunya ia ingin sekali pangeran berkuda putih yang membawa dirinya pergi dengan perasaan setia dan penuh cinta. Namun, sekarang ekspetasinya benar-benar melenceng jauh dan, jujur Alesta sangat benci ini.

Ansel adalah suaminya, memang Alesta tidak menyukai Ansel. Tapi, setidaknya hargailah hubungan ini, dengan perasaan masih geram Alesta meletakan ponsel Ansel kembali dan pergi begitu saja untuk menyantap makan malamnya.

**

"Ansel mana?"

"Tidur!" Jawab Alesta singkat menyendokan nasi pada mulutnya.

"Kenapa, kau ingin menghindari pertanyaan ini lagi. Mama sudah pernah katakan sebenarnya Mama tidak menyukai pernikahan ini, Mama ingin dengar apa yang telah kau lewati selama dua hari ini. Apa Ansel baik?"

"Alesta sudah pernah bilang Ma, Alesta tidak tau. Mungkin Mama bisa tanya sama Mama mertua Alesta. Tadi, Alesta juga udah jawab, mungkin dia baik!"

"Alesta, apa kamu kesal sama kebiasaan Ansel?" Mendengar penuturan sang Ibu membuat Alesta seketika menghentikan gerakan tangannya pada sendok yang ia gunakan.

"Mama tau semuanya, Ansel sering sekali bergonta-ganti pacar. Awalnya, jujur Mama kira itu cuma lelucon yang dibuat Ibu mertuamu. Ternyata..."

"Sudahlah Ma, Mama jangan terlalu sedih Alesta tidak menyukai Ansel." Potong Alesta dengan cepat membuat sang Ibu memandang dalam mata Alesta dan jawabannya, memang benar Alesta Jujur.

"Kamu memang tidak menyukainya, tapi kamu benci sikapnya. Jangan terlalu masukkan dalam hati, kamu harus yakin semuanya akan baik."

"Mama sempat khawatir sama kamu, dan Mama sampai menyuruh Erick untuk datang ke rumah kamu untuk memastikan kamu dan Mama mertua kamu tadi datang."

"Memang Mama ngomongin apa?" ujarnya sekadar basa-basi.

"Ngomongin, Ansel dulu sempet gak jadi nikah. Gara-gara itu sikapnya jadi berubah!" Alesta diam menganggukkan kepalanya pelan, walaupun sebenarnya ia tidak terlalu peduli apa yang terjadi pada Ansel. Satu-satunya yang ia pedulikan hanyalah ingin memiliki keberanian sama seperti Arini.

"..."

"Kamu yakin, gak mau dengerin cerita Mama?" ujar Ibu Alesta memandang Alesta yang terlihat acuh. Sesaat Alesta menghela napas kasar memandang Ibunya sesaat, namun hal itu hanya sesaat sebelum akhirnya Alesta kembali menyantap makan malamnya dengan perasaan penuh kegundahan.

"Mama, buat apa ngomong gitu? ya udah cerita aja. Alesta tau Mama pasti akan cerita. Tapi, Alesta mohon untuk saat ini Alesta tidak ingin tau, dengan semua apa yang telah terjadi!" Perempuan paruh baya tersebut terlihat melempar senyum pada putrinya.

"Saran Mama, jangan terlalu jauh menyukai seseorang." Alesta yang sedang meneguk air secara tiba-tiba terbatuk akan penuturan ibunya.

"Maksud Mama?"

"Mama hanya ingin kamu tidak terlalu sedih, jika suatu saat terjadi sesuatu." Alesta menganggukkan kepalanya paham, melihat tatapan ibunya membuat Alesta berspekulasi Ibunya masih menyimpan sedikit perasaan pada ayahnya.

Tapi, sudahlah ini bukan porsinya untuk ikut campur dalam masalah Ibu dan ayahnya. Lebih baik dirinya belajar untuk berpikir mandiri, untuk tidak ikut terlibat campur dalam perasaan yang menyesakan dalam pernikahan ini.

"Alesta!"

"Ya, ada apa lagi Ma." jawab Alesta yang kini baru saja menyelesaikan makannya.

"Jangan sungkan untuk bercerita. Perasaan kamu dan Mama itu terhubung, sama seperti kamu dan Arini!"