Alesta masih diam ditempat, sesaat dirinya merasakan seseorang tengah memperhatikannya. Didorong rasa penasaran membuat Alesta berbalik mendapati Ansel berdiri dibelakangnya, perlahan tangannya terulur untuk menepuk pelan bangku yang ia duduki, memberikan kode pada Ansel untuk duduk.
"Ayo pulang!" Alesta masih diam tak bergeming, hingga pada akhirnya ia merasakan tetesan air dari langit yang membuat dirinya mau tidak mau mengikuti langkah Ansel masuk ke dalam mobil.
Selepas masuk ke dalam mobil, hanya ada keheningan diantara mereka berdua. Ansel memilih untuk menyetel radio mengabaikan sang Istri, toh jika dirinya mengajak bicara Alesta hanya akan diam mengacuhkan dirinya.
Sial..., Alesta benar-benar perempuan yang sulit ditebak, Ansel merasa menikah dengan sebuah batu. Alesta satu-satunya perempuan yang tidak terpengaruh sama sekali dengan pesonanya.
"Apa kau suka pasar malam?" Ansel melirik sesaat Alesta yang hanya menghela napas berat, kemudian menggelengkan kepalanya pelan.
"Daripada, membuang-buang waktu lebih baik. Kita pulang saja Pak, apa bapak tidak lelah?" Ansel menggeram kesal, dengan menumpahkan rasa kesalnya dengan menginjak rem secara tiba-tiba. Membuat Alesta seketika terhuyung kedepan hampir mengenai bagian depan mobil, Ansel yang melihat Alesta yang diam saja hanya bisa meneguk ludahnya sendiri berharap lehernya hari ini akan selamat.
"Maaf, aku tidak sengaja. Kita akan ke rumah ibumu, kau mau menginap atau tidak?" Alesta memandang Ansel sesaat.
"Memangnya boleh?" Tanya Alesta dengan raut wajah penuh kepolosan.
"Tentu saja bisa, selama kau tidak mengatakan hal yang aneh-aneh pada Ibuku, dan aku memberikanmu waktu dua hari untuk menginap,dan aku akan menyelesaikan pekerjaanku. Bagaimana apa kau setuju?"
"Terima kasih," Ujar Alesta seraya memandang dalam mata Ansel dan membuat Ansel sesaat, tersenyum kikuk membalas senyuman Alesta. Sangat aneh sekali bagi Ansel, jika Alesta melempar senyum begitu tulus untuknya.
"Apa kita bisa berhenti sebentar, di Mal aku ingin membeli sesuatu." Ansel menganggukkan kepalanya pelan, kemudian matanya menelisik jalanan yang sekiranya dekat dengan area Mall
**
Kini Ansel dan Alesta telah sampai di Mall, Ansel memilih untuk melihat-lihat barang yang akan dibeli Alesta berupa sebuah jaket kulit.
"Tidak cocok untukmu!" Komentar singkat Ansel membuat Alesta mendesah pelan, kemudian kembali melihat-lihat deretan jaket kulit yang tergantung.
"Ini bukan untuk saya, tapi untuk kembaran saya." Seketika Ansel tertawa pelan, namun seketika ia sadar dan langsung menutup mulutnya sendiri.
Alesta yang melihat tingkah konyol Ansel hanya diam, Alesta mengerti dalam hati atasan sekaligus suaminya itu ingin sekali menertawai dirinya karena membelikan sebuah hadiah untuk Arini yang jelas-jelas telah meninggal.
"Bapak, jangan sungkan untuk ketawa. Saya serius beliin ini buat kembaran saya. Asal bapak tau, kami ini satu tubuh dua jiwa." ujar Alesta sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Ansel yang hanya diam dalam kebingungan.
**
"Mama, ngapain kemari?" ujar Ansel pada sang Ibu ketika dirinya telah sampai di rumah Ibu mertuanya dan mendapati Ibunya ada di sini.
"Aughh," ringis Ansel begitu sang Ibu mendaratkan tepukan keras, pada bahu Ansel.
"Mama, kenapa sih suka banget KDRT sama Ansel!"
"Kenapa kamu sewot, kan kamu yang sering mancing emosi orang. Mama gak akan keberatan kalo Alesta mukul anak Mama yang paling bandel ini!" Ansel merenggut kesal akan sikap ibunya yang suka sekali memuji Alesta, apa sih bagusnya Alesta? Pertanyaan itu terkadang terus bergelayut dalam pikirannya kenapa keluarganya sangat ingin dirinya menikah dengan perempuan aneh seperti Alesta.
"Ya udah, kayaknya Ansel undah enggak dianggap anak lagi, sama Mama." ujar Ansel berniat melangkah pergi, lagipula Alesta telah pergi entah kemana yang pasti Ansel tidak ingin tau.
"Aughh..." Ringis Ansel setengah berteriak begitu beberapa langkah dirinya akan pergi, sang Ibu secara tidak manusiawi langsung menarik telinganya cukup keras.
"Kamu mau kemana, mau jalan sama cewek lain? Kamu itu udah dewasa harusnya sadar diri, sana masuk kamar ikutin istri kamu!"
"Tapi, Ma!" Melas Ansel mendapatkan tatapan tajam dari sang Ibu.
"Gak ada tapi-tapian!" Ansel diam dan hanya bisa menampilkan raut wajah begitu pasrah, jika sang Ibu sudah memerintah.
**
Ansel memadang Alesta yang tengah berdiri membelakanginya sembari menatap hujan yang cukup deras mengguyur kota Jakarta sore ini. Beberapa kali mata Ansel mendapati dengan lihainya sang Istri memainkan setumpuk kartu ditangannya.
"queen of swords! Berpikir mandiri adalah jalannya." ujar Alesta entah pada siapa, kemudian perlahan tangannya menyimpan kartu tarot miliknya kembali ke dalam laci, tempat biasannya dirinya menyimpan kartu tarot miliknya.
Hanya satu yang masih berada di tangan Alesta. Kini pikirannya masih bergelayut pada Arini, entah kemana jiwa kembarannya itu setelah pertengkaran mereka.
"Kau percaya dengan hal ini?" ucapan itu keluar dari mulut Ansel.
"Kenapa? Apa bapak keberatan, lagipula ini ruang privasi saya!" sanggah Alesta sangat berharap jiwa Arini akan datang walaupun sesaat.
"Tidak, aku tidak pernah keberatan sama sekali. Apa ini?" Ansel berujar begitu saja ketika matanya menangkap Alesta tengah membuka kardus berisi beberapa kado yang tampak terbungkus rapi.
"Kado, milik kembaran saya. Akan baik jika bapak, tidak membukanya!"
Alesta memperingatkan Ansel untuk membuang jauh-jauh rasa penasarannya. Memang selama ini Alesta akan memberikan kado untuk setiap ulang tahun mereka berdua. Namun, beda halnya dengan Arini yang sama sekali tak peduli sama sekali dengan hari spesial mereka, sama seperti kedua orang tuanya yang melupakan hari kelahiran dirinya dan Arini setelah kejadian naas itu, tapi untuk esok hari entahlah Alesta tidak tau apakah mereka ingin atau tidak.
"Tck, siapa juga yang ingin menyentuh barang murahan itu. Lagipula tidak ada gunanya sama sekali kau memberikan barang-barang itu untuk orang yang sudah tidak ada!"
Oh.., sepertinya mulut Ansel benar-benar harus di semen. Ansel benar-benar merutuki ucapannya barusan yang secara tidak langsung tengah menghina Alesta di balik kesedihannya
"Bapak, jangan sekalipun menghina apa yang saya miliki dan yang saya lakukan. Jujur ya pak, jika saya disuruh milih saya lebih milih kembaran saya dibandingkan bapak!" Kesah Alesta sebelum akhirnya menghentak kakinya kesal meninggalkan Ansel yang hanya diam mematung bingung.
**
Alesta benar-benar kesal terhadap Ansel, sekarang dirinya mengerti kenapa Arini sangat membenci Ansel dan selalu memiliki niat untuk mencekik leher Ansel.
Beberapa kali Alesta menumpahkan kekesalannya dengan terus mengangganti chanel televisi, hingga dirinya merasakan seseorang duduk tepat disebelahnya.
"Mama!" ujar Alesta setengah canggung menatap sang Ibu yang terlihat tidak menyukai apa yang Alesta lakukan, sadar dengan raut wajah sang Ibu membuat Alesta seketika menghentikan gerakan tangannya pada remote televisi.
"Apa kau sedang bertengkar dengan suamimu?" Alesta diam menggigit bibir bawahnya dengan perasaan bercampur antara bingung untuk menjelaskan dan marah.
"Aku tidak sedang bertengkar dengannya, aku hanya sedikit tersinggung karena dia menganggap enteng kematian Arini. Mama tau betul bukan keluarga kita, tidak akan mungkin bisa melupakan Arini!"
**