"Aku akan katakan jujur, aku tidak akan rela kau jatuh pada laki-laki menjijikan seperti dia!" Arini berujar kembali pada Alesta yang hanya menampakan raut wajah penuh kegetiran, akan pernikahan yang ia jalani.
"Sebenernya, berkas apa yang diberikan olehnya padaku. Sampai kau marah dan merasuki diriku?" Arini mendecih pelan untuk sesaat menatap penuh amarah kearah pintu kamar mandi yang terdengar suara gemericik air.
"Dia menawarkan pernikahan kontrak, tentu saja aku marah. Laki-laki itu harus diberi pelajaran untuk tidak berbuat hal yang memalukan selain kebiasaan menjijikannya itu!" Tekan Arini seraya melipat tangannya di atas dada.
Sesaat Alesta diam, menatap jemari tangannya yang berhiaskan cincin pernikahannya yang didesain khusus untuk pernikahan ini. Alesta benar-benar merasa hidupnya sekarang tidak aman lagi setelah kematian Arini. Apa adakah yang lebih buruk ini selain pernikahan ini?
"Kau tidak perlu marah, harusnya kau setujui saja. Setidaknya setelah ini, aku akan terbebas dari masalah!" Arini mendengus pelan menatap kearah pintu kamar mandi yang terbuka memperlihatkan laki-laki yang begitu sangat ingin ia cekik, tengah mengeringkan rambutnya sembari tersenyum penuh menyeringai ke arah Alesta yang terlihat seketika memutuskan pandangan dari arah Ansel berada.
"Kenapa wajahmu memerah?" ujar Ansel menyeringai pelan, seketika membuat Alesta berlari masuk kedalam kamar mandi, membuat Ansel yang melihatnya terkekeh pelan.
"Monster itu, ternyata juga bisa bersikap seperti perempuan normal lainnya!" gumang Ansel, seraya mengenakan kaos pendek dan tanpa ia ketahui sosok tak kasat mata Arini tengah memberikan tatapan tajam padanya.
**
Alesta telah selesai membersihkan diri, kini tangannya tengah mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer yang tersedia. Mengabaikan pantulan bayangan Arini yang begitu jelas terlihat dari kaca kamar mandi.
"Jangan berpikir bodoh, aku yakin jika kau membaca surat kontrak yang sudah ke robek itu. Aku yakin kau tidak akan berpikir dua kali untuk mencongkel mata buaya itu!" Alesta diam sesaat tersenyum tipis membuat Arini merasa ingin sekali mengendalikan tubuh saudaranya itu, tapi tidak. Tentu saja keinginannya itu langsung ia tepis begitu saja, Arini tidak ingin terjadi sesuatu pada Alesta jika ia terlalu lama merasuki tubuh kembarannya itu.
"Kenapa, apa kau memiliki alasan yang masuk akal!"
"Aku selalu memiliki alasan yang selalu masuk akal untuk mengatakan jika kau adalah perempuan lemah. Aku benci, kau terlalu lemah dan naif!"
"Sudah kukatakan berkali-kali aku tidak lemah dan jangan lakukan hal yang gila. Dia adalah suamiku, kau tidak berhak menghina dirinya!" Arini diam, namun sedetik kemudian ekspresi wajahnya begitu jelas menunjukkan ketidaksukaannya pada Ansel Pratama.
Bagi Arini laki-laki seperti Ansel Pratama sangat begitu pantas untuk dimusnahkan. Arini menyayangi Alesta dengan caranya sendiri, tapi sepertinya Alesta sangatlah begitu naif hingga tidak menyadari, jika setiap saat kembarannya itu selalu dalam bahaya.
"Baiklah, sepertinya kau begitu menyukai pernikahan ini. Termasuk dengan isi kontrak pernikahan ini, tahukah kau suamimu itu benar-benar sangat begitu pantas untuk dicekik karena dia dengan gampangnya, menawarkan pernikahan normal seperti pasangan lainnya dalam jangka waktu tiga tahun. Bayangkan saja, jika dalam waktu tiga tahun kau dan laki-laki buaya jadi-jadian itu memiliki anak, apa kau ingin menjadikan keponakanku sebagai korban?"
Seketika mendengar pertanyaan Arini yang begitu jelas gamblang, menyatakan kebenciannya pada Ansel mendukung segalanya, jika Ansel adalah laki-laki terburuk di dunia.
"Maafkan aku, aku benar-benar tidak tau. Kau sudah terlanjur merasuki diriku tadi pagi, jadi aku tidak mengerti dengan jelas tentang isi kontrak tadi!" Arini menyunggingkan senyum yang jelas begitu menghina Alesta, dan tentu saja Alesta yang sudah sering melihat senyum itu hanya diam mengabaikan sahabatnya dan lebih memilih untuk menyisir rambutnya dengan jemari tangan lentiknya.
"Apa aku dapat meminta bantuan padamu?" Arini menaikan sebelah alisnya, melihat raut wajah Alesta yang terlihat begitu gugup.
"Apa?"
"Aku ingin, kau memasuki tubuhku dan kendalikan aku!" Arini seketika tertawa begitu Alesta, telah selesai berucap. Sedangkan Alesta jangan ditanya, perempuan penuh lemah lembut itu terlihat tidak menyukai sama sekali respon Arini yang begitu cenderung tengah menghina dirinya.
"Diamlah! Kenapa kau selalu tertawa, aku hanya ingin kau mengendalikan tubuhku dan besok pagi kembali seperti biasa!"
Arini menghentikan tawanya seketika kemudian menarik seulas senyum yang begitu misterius dan Alesta yang melihatnya, hanya mampu diam memutar bola matanya dengan rasa setengah jengah karena dirinya yakin Arini telah menyiapkan berbagai tindakan yang akan dilakukan pada Ansel nantinya.
"Baiklah, aku setuju. Aku akan melakukannya!"
**
Alesta berjiwa Arini, tersenyum menyeringai begitu keluar dari kamar mandi menatap Ansel dengan tatapan yang begitu tajam, ketika matanya menatap Ansel tengah sibuk memainkan ponsel. Namun, sepertinya laki-laki yang telah memiliki predikat buaya darat dari Arini hanya diam tak menyadari keberadaan Alesta berjiwa Arini yang telah berdiri, tepat dibelakang Ansel.
"Sayang!" ujar Alesta dengan setengah suara mendesis kesal begitu menatap ponsel Ansel yang tengah berkirim pesan, dan yang pasti tengah berkirim pesan dengan seorang perempuan.
"Alesta, kau sudah selesai?" Ansel berbalik terkejut, begitu Alesta berjiwa Arini merebut ponsel Ansel dan melemparkannya begitu saja dan berakhir mendarat di atas sofa.
"Menurutmu!" Alesta diam sesaat, melipat tangannya di atas dada. Sebelum akhirnya menendang Ansel yang duduk di tepi tempat tidur, hingga membuat laki-laki itu terjengkang dan jatuh begitu saja dari atas tempat tidur, belum lagi ketika Alesta berjiwa Arini tanpa rasa manusiawi sama sekali, menendang kembali Ansel sebelum akhirnya duduk dengan tenang di atas tempat tidur.
"Kau! Apa yang kau lakukan?" ujar Ansel penuh emosi merasakan punggung dan bokongnya terasa remuk akibat tendangan Alesta beberapa saat yang lalu. Bukannya menjawab, perempuan cantik yang telah sah menjadi istrinya itu malah tersenyum tipis, sembari menarik selimut hingga sebatas pinggangnya.
"Harusnya aku yang bertanya, kenapa kau masih berkirim pesan dengan seorang perempuan bahkan ketika malam pertama kita?" Seketika Ansel hanya terdiam bungkam akan ucapan Alesta barusan.
"Aku tidak berkirim pesan dengan siapapun, itu hanya clien!" Kilah Ansel, seketika membuat Alesta tertawa akan kebodohan Ansel yang tidak menyadari sama sekali, jika tadinya Alesta sempat membaca pesan singkat tersebut
"Pembohong, benarkah jika dia clien. Kenapa kau memanggilnya sayang, kau benar-benar laki-laki yang pantas untuk dimusnahkan." Seketika Ansel hanya diam meneguk ludahnya kasar akan perkataan Alesta yang memiliki keinginan besar untuk memusnahkan dirinya.
"Tapi, tunggu dulu. Aku tidak ingin memusnahkan dirimu begitu saja, aku masih sangat menyayangi diriku, aku tidak ingin masuk ke penjara karena alasan membunuh suami yang playboy!" Mendengar hal itu membuat Ansel menghela napas lega, setidaknya nyawanya masih selamat hari ini.
"Sekarang aku ingin tidur, kau tidak di sofa. Aku tidak ingin berada satu kasur dengan mahluk buaya seperti dirimu!"
**