Chereads / Sinar Mentari / Chapter 12 - Rumah Baru

Chapter 12 - Rumah Baru

Satu jam telah berlalu, kamar pengantin di hotel ternama yang dipesan khusus untuk pasangan pengantin Ansel dan Alesta, telah padam lampunya. Tetapi tidak dengan Ansel yang terus menggerutu dalam hati, mengenai malam pertamanya yang dapat dikatakan sangat begitu sial.

Apakah ada model istri seperti Alesta, yang menendang suaminya sendiri saat malam pertama. Entahlah, Ansel tidak tau sampai kapan dia bertahan dengan perempuan seperti Alesta yang dapat sewaktu-waktu berubah menjadi monster.

Ansel mendesah pelan, menghilang segala pemikirannya dan perlahan menutup matanya. Namun, sebelum Ansel benar-benar terbang ke alam mimpi dirinya dapat merasakan seseorang menyelimuti dirinya.

**

"Harusnya, kau tidak perlu melakukan hal itu pada laki-laki kurang ajar ini!" ujar Arini menatap Alesta yang telah kembali berbaring setelah memastikan Ansel telah benar-benar tertidur.

"Jangan samakan aku dengan dirimu. Kau selalu menilai semua orang buruk, kau bahkan tidak pernah bercermin pada dirimu sendiri." Arini menyunggingkan senyum remeh, sangat begitu jelas tengah menghina Alesta yang kini memiliki untuk membaca novel online lewat ponselnya.

"Kenapa aku harus bercermin pada diriku sendiri, jika aku jelas-jelas masih hidup. Aku yakin pasti akan lebih banyak masalah yang kau hadapi!" Alesta perlahan menghentikan gerakan jarinya pada layar ponsel, menatap sesaat kembarannya yang begitu puas untuk menghina dirinya.

"Sampai kapan kau yang sudah mati, membandingkan aku yang sudah jelas-jelas masih hidup. Tolong pergilah, aku ingin kehidupan normal!" ujar Alesta sarat akan kebencian, dan seketika hanya ada keheningan diantara mereka.

"Kau yakin dengan hal itu?" Alesta diam menatap kearah lantai, sebelum akhirnya kembali menatap Arini dengan senyum yang jelas menyiratkan ketidaksukaannya terhadap Arini, yang telah benar-benar bertahun-tahun mencampuri urusan pribadinya.

Ya..., Walaupun dapat dikatakan Arini tidak sepenuhnya menganggu dirinya, tetapi setidaknya kembarannya itu benar-benar menjaga dirinya selama ini. Entahlah keputusannya benar atau tidak saat ini, dalam hatinya Alesta saat ini menginginkan kehidupan yang normal.

"Tentu saja aku yakin, apa kau sama sekali tidak ingin benar-benar pergi dengan tenang?" Arini mendecih pelan, lalu pergi begitu saja membuat Alesta hanya diam terpaku akan hal yang ia katakan beberapa saat yang lalu.

"Ini tidak salah!" Sugesti Alesta membela dirinya sendiri.

**

Pagi telah tiba, Alesta baru saja menyelesaikan acara mandinya dan saat ini tengah sibuk menata berbagai sajian di atas meja sofa yang saat ini masih digunakan Ansel untuk tidur.

Perlahan mata Ansel terbuka begitu hidung mancungnya mencium aroma kopi yang mengguar begitu saja, ketika Alesta menaruh dua cangkir kopi pada meja yang telah berisi berbagai hidangan makanan untuk mereka.

"Ini buat Bapak," Alesta berujar canggung, tersenyum tipis menyesap kopi paginya mengabaikan Ansel yang saat ini tengah menatap istrinya dengan pandangan intens.

"Aku ke kamar mandi dulu, makan saja dulu!" ujarnya sebelum bangkit berdiri meninggalkan Alesta yang tampak diam menatap berbagai hidangan yang menggugah selera, namun secara tiba-tiba seleranya menghilang begitu saja.

"Apa yang dilakukan Arini, semalam?"

**

Di dalam kamar mandi, Ansel berdiri di depan cermin sembari tengah menyikat giginya. Beberapa kali dirinya tampak diam menatap kearah pintu, entah kenapa pagi ini dirinya merasa berdebar menatap Alesta yang begitu cantik ketika dirinya membuka mata.

"Kenapa aku merasa menikah dengan perempuan berkepribadian ganda!" Kesah Ansel sebelum akhirnya menyalakan shower kamar mandi membiarkan tubuhnya yang terasa pegal tersiram air hangat.

"Aku sudah katakan, untuk makan dulu!" Ansel berujar kesal begitu keluar kamar mandi mendapati istrinya terlihat duduk memalingkan wajahnya dari dirinya yang kini tengah mengeringkan rambutnya.

"Hari ini, kita akan langsung pulang rumah." Alesta menganggukkan kepalanya paham, menatap Ansel yang kini duduk bersebrangan dengan dirinya.

"Iya, tadi Mama juga udah bilang, kok." Ansel memilih untuk diam mengabaikan ucapan istrinya yang kini tangannya sibuk menyuapkan nasi pada mulutnya.

"Emm, Pak. Bisa gak Bapak, pake baju dulu gitu?" Seketika Ansel menghentikan tangannya untuk meyuapkan nasi pada mulutnya, sembari menaikan sebelah alisnya untuk menatap sang istri dengan seksama. Melihat ekspresi Alesta yang demikian membuat Ansel seketika mengerti dengan maksud Alestam

"Kenapa, apa kau terganggu?" Desis Ansel diselingi dengan mengumbar senyum untuk menggoda sang Istri yang wajahnya semakin memerah, entah kenapa dimata Ansel saat ini Istri monsternya itu terlihat begitu menggemaskan sehingga seketika Ansel melupakan begitu saja kejadian semalam ketika Alesta menendang dirinya.

**

Alesta dan Ansel melangkah keluar dari mobil menatap rumah bergaya minimalis yang tidak terlalu besar dan cukup nyaman ditinggali. Langkah keduanya kini tengah menyusuri lantai satu yang hanya berisi ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur. Sedangkan untuk lantai dua berisi dua kamar tidur yang tentunya akan ditempati Ansel dan Alesta.

"Begini, kau tau jika pernikahan kita ini hanya sebuah perjodohan." Alesta menganggukkan kepalanya pelan, dirinya tau jika saat ini Ansel tidak nyaman akan pernikahan ini dan begitu juga dengan dirinya.

"Kuharap kau tidak akan tersinggung, kau dapat gunakan kamar sebelah. Dan untuk pengunduran dirimu, aku akan mengurusnya!" Alesta diam menatap Ansel yang terlihat acuh dengan dirinya.

"Baiklah, tapi apa Bapak yakin, jika keluarga kita tidak akan tau tentang hal ini?" Ansel mendesah pelan.

"Kau tenang saja, aku sudah urus semua. Ambil ini!" Alesta menerima kartu pemberian Ansel.

"Terserah kau ingin membeli apapun yang kau mau, aku akan pekerjakan dua orang pekerja yang akan datang pagi dan sore. Kau tenang saja, mereka tidak akan tau tentang hal ini!"

"Satu hal lagi, kau menolak mentah-mentah penawaran ku. Jadi, aku pikir sepertinya akan baik jika urusi urusan kita masing-masing." ujar Ansel sebelum akhirnya melangkah masuk kedalam kamarnya meninggalkan Alesta yang hanya diam pasrah akan nasib pernikahannya nanti.

Malam harinya, Alesta baru saja menyelesaikan pekerjaannya dengan menyiapkan hidangan makan malam. Entahlah, dirinya jarang sekali masuk kedapur. Alesta sangat berharap Ansel akan menyukai masakannya saat ini.

"Kau tidak akan memasukan racun pada makanan ini, kan?" Alesta tersenyum singkat, sepertinya ketakutan Ansel benar-benar besar pada dirinya hingga laki-laki berpikiran negatif.

"Bapak, tenang saja." ujar Alesta memberikan kepercayaan pada Ansel yang kini tengah diam meyuapkan nasi pada mulutnya.

"Enak gak, Pak?" Tanya Alesta, yang hanya diangguki oleh Ansel dengan raut wajah yang begitu jelas tidak menyakinkan.

Melihat raut wajah Ansel yang demikian membuat Alesta, berinisiatif untuk mencoba masakannya sendiri. Dan baru saja memasukan sesuap nasi dan lauknya, Alesta langsung berlari kearah wastafel untuk membuang makanan di dalam mulutnya. Melihat Alesta yang berlari pergi, seketika membuat Ansel langsung berjalan mengikuti Alesta dengan membawa segelas air putih.

"Kamu gak Papa?" Alesta menggelengkan kepalanya pelan, menatap Ansel yang masih jelas memasang raut wajah yang begitu datar sembari tangannya memberikan segelas air untuk Alesta.

**