Dilihat di kamarnya, banyak sekali karya seni terpajang di rak-rak yang tak terhitung jumlahnya.
Namun Arya sendiri juga berpikir berulang kali. Keahliannya dalam seni tak diperdalam di perkuliahan, dan justru mengambil jurusan yang sama dengan Arya.
Disisi lain, Ardian dan Fajar hanyalah teman yang menonjol di bidang mereka masing-masing. Ardian sendiri menggeluti dunia perbankan dan mengambil jurusan Perbankan. Sedangkan Fajar diterima sebagai mahasiswa baru di jurusan Pendidikan Matematika. Sekitar berjam-jam mereka menghabiskan membuat tas kardus sembari mencicipi camilan. Namun saking laparnya, mereka menghabiskan semua sekaligus.
"Akhirnya selesai juga," kata Fajar, menghela nafas lega.
"Pas semua udah selesai bikin tas kardus, teman kita satu ini kelihatan kesusahan, ya," kata Ardian, memandang Arya penuh hina. Arya yang menyadari itu, kembali mengeluarkan perkataan kasarnya.
"Daripada kalian cuma ngejek, mending bantu aku deh," kata Arya dengan nada kesal.
"Manja amat. Bikin tas kardus kayak gini doang masak nggak bisa?" kata Fajar.
"Kau tahu sendiri lah. Aku paling goblok kalau masalah keterampilan-keterampilan kayak gini. Mana sebelumnya udah diajari sama bapakku." Arya menyesal, terlahir tanpa mempunyai bakat keterampilan.
"Lihat, tuh! Tanganmu aja kaku gitu. Mana bisa kalau bikin keterampilan kayak gitu," kata Zia, menuding tangannya.
"Daripada banyak komentar, kau bikinkan punyaku bentar aja. Aku mau lihat caramu bikin." Arya memberikan tas kardus yang masih setengah jadi dengan sangat kasar."
"Hahaha. Nggak usah marah juga kali." Kemudian Zia membantu bagiannya. Namun karena saking semangatnya, Zia tak sadar jika ia justru menyelesaikan tas kardus milik Arya.
"Lah, nggak sadar tahu-tahu udah selesai. Nih!" kata Zia seraya memberikan tas kardus pada pemiliknya. Arya hanya terkekeh seraya menggaruk kepala bagian belakang.
"Malah ketawa. Orang aneh!"
Selepas membuat tas kardus, mereka mengobrol hingga pukul 11 malam. Karena ibunya Zia merasa terganggu tidur malamnya, terpaksa menyuruh teman-temannya agar pulang dan memberi mereka kesempatan besok hari jika hari ini rasa puas mereka belum terpenuhi.
Takut mengganggu lebih dari ini, Arya, Fajar dan Ardian meninggalkan rumah Zia dengan berpamitan pada ibunya.
"Sori ya, Zi, udah ganggu ibumu tidur," kata Ardian dengan suara pelan.
"Santai aja. Soalnya ibuku lagi nggak enak badan. Ya wajar kalo kalian diusir."
"Kenapa nggak bilang dari tadi, goblok!" kata mereka bertiga pada Zia. Ia hanya terkekeh.
Kemudian mereka bertiga kembali ke rumah dengan mengendarai motor masing-masing tanpa mentaati peraturan lalu lintas. Sesampai di rumah, Arya merasa lelah. Ia mandi, makan, lalu terlelap di kasurnya dengan cepat.
Satu hari sebelum kampus Arya mengadakan ospek untuk mahasiswa baru. Ospek untuk angkatannya benar-benar murni tanpa ada kekerasan. Berbeda dengan ospek pada zaman kedua orang tua Arya masih muda. Saat sore hari, Arya iseng-iseng melihat kembali jadwal kegiatan di hari pertama ospeknya besok.
"Buset dah. Ospeknya dimulai jam setengah 6 pagi? Jam segitu aku aja belum tentu bangun kalo hari libur," gumam Arya.
Ia seketika membayangkan apakah besok bisa bangun pagi atau tidak. Selama hari libur, Arya sama sekali tak pernah dibangunkan oleh kedua orang tuanya. Tak heran jika ia bangun kisaran jam 8 atau jam 9 pagi. Sesekali ia bangun pagi, namun tetap saja ia melanjutkan tidurnya sampai jam yang telah ditentukannya. Saat Arya menggelengkan kepalanya, tak ingin membayangkan hal itu lebih lama, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya.
"Yak, kamu lagi ngapain?" tanya sang ibu.
Mata Arya terbeliak, terkejut, "Ibu… aku kira siapa, bikin kaget aja. Lagi duduk santai, Bu, sambil lihat jadwal kegiatan ospek besok.
"Oh, gitu. Barang-barang buat besok udah siap semua?"
"Udah, Bu. Nggak ada yang kelupaan," jawab Arya terlihat santai.
"Yang bener? Biasanya kamu selalu kelupaan kalo ada acara penting. Pokoknya ibu hanya mengingatkan aja. Jangan sampai ada yang ketinggalan."
"Iya ya. Nanti aku cek sekali lagi."
"Kalo gitu, ibu pergi dulu, ya. Ibu pulang besok siang. Tantemu menyuruh ibu agar menginap di rumahnya malam ini," kata ibunya.
"Baik, bu. Hati-hati di jalan. Titip salam buat tante, ya." Ibunya mengangguk seraya tersenyum, lalu meninggalkan Arya di kamarnya.
Kemudian ia berbaring di kasurnya, menatap langit-langit bangunan, seraya menghela nafas. Disaat ia hampir menutup mata, tahu-tahu ponselnya berbunyi. Ia pun langsung membuka mata dan mengambil ponselnya yang ia taruh di atas meja. Layar ponsel menunjukkan jika telepon itu berasal dari Zia. Arya bergumam tak jelas sebelum mengangkatnya.
"Halo, Zi. Tumben pakai telepon biasa. Baru banyak pulsa, ya?"
"Hahaha, iya nih," kata Zia, terkekeh.
"Ada perlu apa?"
"Nggak perlu apa-apa. Aku nelpon cuma mau ngajak kumpul-kumpul sama temen SMA nih. Mau ikutan nggak?" tanya Zia.
"Lah… besok aja ospek jam setengah 6 pagi, kok malah ngajak kumpul? Kayak nggak tahu aja."
"Ya mau gimana lagi. Aku lagi males di rumah, nggak ada kerjaan. Mau gabung kagak? Kalo nggak aku tinggal lo."
"Ya udah, ya udah. Aku ikut, habis ini aku ke rumahmu," kata Arya, tak bisa menolak ajakan temannya.
"Hahaha. Kalo gitu buruan, aku tunggu."
Tanpa menjawab apapun, Arya langsung menutup telepon dan mengenakan pakaian yang cukup tertutup. Kemudian ia menjemput Zia dengan sangat cepat. Sesampai di rumah Zia, ia melihat temannya telah menunggunya.
"Lah… kau nunggu di luar dari tadi?"
"Iya, biar nggak kelamaan. Ya udah yuk, langsung berangkat. Aku bareng, ya."
"Emang mau kumpul dimana?" tanya Arya.
"Nanti aku tunjukkan jalannya. Kau tinggal ngikut aja."
Kemudian mereka boncengan, menuju tempat pertemuan dengan teman SMA-nya. Tak sampai 15 menit, mereka berhenti di sebuah kafe yang cukup mewah. Arya penasaran mengapa Zia menyuruhnya berhenti di kafe ini.
"Lo, ngapain turun? Mau ketemuan sama orang dulu?" tanya Arya.
"Maksud? Kita kumpulnya di sini, woii. Udah buruan parkirkan motormu. Jangan kebanyakan bengong," kata Zia, menunggunya di dekat pintu masuk. Tak pakai lama, Arya memarkirkan motornya, dan kembali menemui Zia.
"Kok tumben ngajak kumpul di kafe kayak gini? Kayak bukan kau yang biasanya."
"Nggak usah banyak tanya dah. Buruan masuk. Yang lain pasti udah di dalam."
Kemudian mereka berdua masuk, mencari temannya yang telah menunggu di dalam. Memalingkan wajah berkali-kali, Zia melihat temannya dan langsung mendekatinya. Temannya yang telah menunggu tak lain ialah Fajar dan Ardian. Arya berjalan dengan grogi dan tegak, merasa tak terbiasa mengunjungi tempat semewah ini.
Saat sampai di meja dengan nomor 21, Arya tak hanya melihat ketiga temannya, di antara mereka juga ada 4 gadis yang seumuran dengannya. Ia pun hanya tertegun seraya melihat keempat gadis itu.