"Oii, Yak. Duduk sini. Malah melamun," kata Ardian, kemudian Arya duduk di hadapan salah satu gadis. Tempat duduk mereka dibikin saling berhadapan. Yang mana tak hanya Arya, ketiga temannya juga saling berhadapan dengan ketiga gadis lainnya. Ini seperti kencan masal, pikir Arya.
"Jar, mereka siapa? Kok ngajak orang lain segala? Kenalanmu?" bisik Arya.
Namun fajar membalasnya dengan suara lantang, "Mereka temanku waktu masih SMP. Tapi nggak nyangka aja, ternyata mereka juga mendaftar di kampus yang sama dengan kita."
Arya melempar pandangannya pada gadis di depannya. Gadis itu hanya tersenyum manis sambil melambaikan tangan. Arya pun membalasnya dengan senyum sinis.
"Mumpung semua udah kumpul, kita mulai sekarang aja, ya," kata Fajar. Arya yang tak tahu sama sekali hanya memandangnya penuh pertanyaan. Mulai sekarang? Apa yang dimulai? Apa mereka sebelumnya membuat acara ketika aku dan Zia belum datang? Kata Arya dalam hati.
Tak tahu apa yang terjadi, mau tak mau Arya terpaksa mengikuti alur perkumpulan itu. Ia sendiri baru bertanya-tanya pada dirinya sekarang, untuk apa ia menyetujui ajakan Zia disaat besok sudah mulai ospek. Terlebih lagi ia tak mengira kumpul yang dimaksud Zia kali ini ialah perkumpulan antara laki dan wanita dengan jumlah yang sama. Ini benar-benar seperti kami berkencan, Arya bergumam dalam hati.
"Baiklah. Karena semua temanku belum tahu nama kalian, mending kalian perkenalkan diri sesingkatnya," kata Fajar pada keempat gadis itu. "Dari Fira dulu."
Kemudian gadis yang bernama Fira berdeham. "Namaku Fira. Sepertinya yang kalian tahu, aku temannya Fajar sejak SMP. Aku diterima di kampus yang sama dengan kalian, Jurusan Matematika Murni," kemudian Fira menghentikan suaranya.
"Buset… Matematika Murni. Perasaan kamu paling payah sama Matematika. Sekarang tahu-tahu ambil jurusan Matematika Murni. Kamu pasti paling ahli, ya, kalo soal hitung-hitungan duit," kata Fajar, menggoda Fira. Ia hanya terkekeh seraya melambaikan temannya, merasa malu dipuji di depan teman laki-lakinya.
"Namaku Amal…"
"Amel!?" Arya yang tadinya melamun, mengantuk, tak tertarik dengan perkumpulan ini, tahu-tahu menggebrak meja, berdiri tegak, melihat gadis itu.
"Anu… namaku Amalia. Bukan Amel," kata gadis itu seraya menggelengkan kedua tangannya.
Sialan, aku kira Amel, pikir Arya, kembali duduk membuang muka, merasa malu telah menggebrak meja yang menjadi pusat perhatian di kafe itu untuk beberapa detik.
"Yak, kau kenapa sih? Dari tadi murung mulu. Terus tau-tau gebrak meja. Ada apa sebenarnya?" bisik Zia, namun suaranya terdengar samar oleh gadis di depan Zia.
"Nggak papa. Cuma kaget aja. Aku kira namanya Amel."
"Amel lagi, Amel lagi. Siapa sih cewek itu? Semenjak kita kenal dekat, permbahasan yang sering aku dengar darimu cuma Amel. Bahkan dulu saat kamu udah punya pacar. Aku jadi penasaran sama orang itu," kata Zia, menyikut pinggang Arya berkali-kali, mengangkat kedua alisnya.
"Udah, udah. Ngapain juga kau penasaran tentang Amel. Ketemu aja belum pernah, percuma buang-buang waktu," kata Arya, sedang tak ingin menceritakan Amel lebih jauh, bahkan sebelumnya.
"Salahmu juga, anj*ng. Hampir tiap hari cerita tentang teman kecilmu itu. Ya wajar aja kalo aku penasaran." Mendadak Fajar ikut campur permbicaraan mereka. Menegur Arya dan Zia, seakan mereka tak menghargai temannya Fajar sedang berkenalan di hadapan mereka semua.
"Sekarang giliranmu, Yak. Buruan," kata Fajar. Kemudian Arya, diikuti Zia, lalu terakhir Ardian. Setelah mereka selesai perkenalan, suasana canggung cukup lama. Hanya fajar yang berbicara dengan santai, tak memikirkan nasib temannya yang sama sekali tak mengenal keempat gadis di hadapan mereka. Bahkan sesekali Ardian asyik dengan bermain Game Mobile, Arya dan Zia terus ribut dan mempermasalahkan tentang Amel.
"Kalian berdua sangat akrab, ya," kata gadis di depan Arya.
Arya dan Zia, menganga cengoh di hadapannya. "Ha? Kami? Bisa dibilang gitu. Meski kami beda jurusan saat masih SMA, tapi kami satu organisasi, selalu aktif dan sering ketemu karena semua itu."
"Ohh gitu, ngomong-ngomong kamu dulu ambil jurusan apa? Dan ikut organisasi apa?" tanya gadis di depan Zia pada Arya. Mereka semakin tertarik mengobrol dengan kedua gadis itu.
"Aku jurusan IPS, sedangkan orang ini jurusan IPA. Kami dulu ikut OSIS," kata Arya.
"Ohh…" kedua gadis itu membulatkan mulutnya sambil mengangguk.
"Kalian sendiri apa dulu juga satu sekolah?" tanya Zia.
"Bisa dibilang gitu. Kami sama dengan kalian. Beda kelas, namun dekat karena dulu di organisasi yang sama." Setelah mengobrol cukup lama, pesanan mereka datang. Lagi-lagi Arya merasa jika dirinya tak pernah memesan minuman yang ada di depannya saat ini.
"Buset, dah. Siapa yang pesan? Ini minuman apa coba?" tanya Arya pada mereka semua.
"Itu Chocolate Matcha Latte dan Pancake Strawberry Vanila. Itu buatmu. Cewek di depanmu yang pesan," kata Fajar. Kemudian Arya melempar pandangannya pada gadis itu, wajahnya sedikit kebingungan dan senang.
"Yakin? Mahal apa nggak, sih? Aku ganti kalo mau."
"Eh… Nggak usah. Sebenarnya pertemuan ini aku yang rencanain. Soalnya mumpung lagi ada pemasukan juga, sekalian aja traktir teman plus dapat teman baru," kata gadis itu, seraya tersenyum manis. Seketika Arya tertegun, mukanya memerah malu. Ia berterimakasih lalu memakan dan menyeruput hidangan itu.
Setelah makan, perlahan mereka mengobrol, saling membicarakan latar belakang dan kehidupan, hanya butuh hitungan jam membuat mereka terlihat seperti teman dekat. Tak ada rasa canggung lagi di antara mereka.
"Eh, balik yuk, dah jam 10 malam nih. Besok harus bangun pagi banget. Aku juga barusan ditelepon ibuku," kata Amalia, seraya menunjukkan ponselnya yang menunjukkan waktu pukul 22:00.
"Gila, aku gak nyangka udah jam segini aja. Ya udah balik yuk." Kemudian mereka meninggalkan meja menuju parkiran motor yang semakin malam semakin ramai. Arya sampai kebingungan mencari motornya. Saat ia sedang melongok seraya mengangkat kepalanya, tahu-tahu ia dipanggil oleh seorang gadis yang telah berdiri di belakangnya sambil membawa helm.
"Eh, kau ternyata. Ada apa?" tanya Arya.
"A… aku boleh nggak pulang bareng kamu?" tanya gadis itu, ia tak berani menatap mata Arya. Mendadak Arya terperanjat, bertanya-tanya mengapa gadis itu harus pulang bersamanya.
"Kebetulan Zia dan temanku tadi rumahnya searah. Jadi Zia minta tolong sama kamu biar nganterin aku sampe rumah. Zia juga bilang rumah kita ternyata satu arah. Gimana?"
Arya tanpa lama langsung mengiyakan permintaannya. "Tapi nggak papa nih, aku yang nganter?"
"Maksudnya?" tanya gadis itu kebingungan.
"Ya… siapa tahu kamu udah punya pacar…"
"Nggak punya." Gadis itu menyela dengan cepat. "Nggak usah terlalu memikirkan hal itu. Jika aku punya pacar pun, aku tetap meminta bantuanmu saat ini." Wajahnya terlihat serius, Arya menghela nafas lega.