Wanita itu terus meraung, memohon agar suaminya tidak pergi bersama wanita lain——selingkuhan suaminya——dan tetap bersama-sama membesarkan buah hati mereka. Namun, lelaki itu malah memaki kasar istrinya.
"Lihat, Yosi! Putramu masih kecil, dia masih tujuh tahun. Tega sekali kau meninggalkannya hanya untuk perempuan lain."
"Sejak dulu aku memang tidak mencintaimu, Maurasika. Anak ini lahir juga bukan atas kehendakku, sudah kubilang gugurkan saja kandunganmu, kau tak mau! Salah sendiri. Kau urus saja dia! Aku tidak tahan lagi!"
Makin sakit dirasanya hati karena ternyata sang suami betul-betul tak menyayanginya dan putra mereka, bahkan hanya sekadar kasih sayang sebagai manusia. Kalau dipikir, seharusnya yang tidak tahan adalah dirinya, bukan Yosi.
"Sekarang, ayah dan ibuku sudah tiada, tak ada lagi yang harus kujaga perasaanya dengan perpisahan ini."
"Aku! Aku dan anak kita!" Maurasika mengeraskan suara.
"Aku tidak peduli!" Yosi tak kalah keras membentak.
"Apa kau pikir aku mencintaimu saat menikah denganmu? Kau tau aku dan Hilal saat itu menjalin hubungan, hampir menikah kalau saja ibumu tidak meminta pada orangtuaku untuk menikahkan anak laki-lakinya!"
Tamparan mendarat di pipi Maurasika oleh suaminya. Laki-laki itu tempramental dan ringan tangan. Dia sangat membenci Hilal seumur hidup. Hilal pernah membuat adiknya tergila-gila, sampai mati bunuh diri karena Hilal memilih Maurasika sebagai kekasih. Dengan cara licik, Yosi merebut kekasih Hilal, menikahinya dan menyiksa batin perempuan itu. Sementara Hilal pergi menjauh untuk mengobati patah hati yang paling mendalam.
Dipikirnya, dengan membuat hidup Maurasika hancur, dia bisa membalas dendam. Tidak tahunya, dia yang merasa hancur karena tidak bisa mencintai Maurasika dengan baik. Tak jarang dia memukul istrinya. Penganiayaan itu dimulai sejak kedua orangtua Maurasika meninggal di tahun kelima pernikahan mereka. Namun, Maurasika bukanlah perempuan yang diam saja jika ditindas, meski itu suaminya.
"Cukup! Kau bukan manusia! Hatimu mati, bahkan kau lebih buruk dari binatang tak berakal. Kutunggu kau di pengadilan!" ancam Maurasika.
"Jika sedari tadi kau tak berulah, pipimu tidak akan menjadi korban, Calon Mantan Istriku."
"Tak hanya mengurus perceraian, tetapi juga penganiayaan!"
Yosi menyeringai, tersenyum meremehkan. Menggumamkan kata "bodoh" yang kentara. kemudian ia meludahi perempuan yang melahirkan putranya. Putra mereka yang kini menyaksikan adegan orangtuanya yang terbilang membuat hati hancur berkeping-keping.
Anak itu, bernama Arjuna Ronivanendra, ia diberi nama oleh Maurasika. Bocah kecil itu menghampiri ibunya ketika Yosi telah meninggalkan rumah. Kejadian seperti ini selalu ia saksikan di depan mata. Hendak membela sang ibu, dia tak punya nyali.
"Arjun, ambilkan mama minum, ya." Maurasika berkata lembut sembari tersenyum pada anaknya. Seakan mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.
Arjuna menurut. Dalam perjalanan mengambilkan air untuk diminum ibunya, air mata Arjuna pun turun, membanjiri pipi gembilnya. Hatinya tidak bisa menerima perlakuan keji sang ayah. Di dalam hati anak itu tersulut api. Api kebencian, dendam dan sebuah tekad. Api, tetaplah api, yakni bahan dasar setan tercipta.
Ketika memberikan minum kepada ibunya, Arjuna memerhatikan sorot mata sang ibu. Anak kecil itu bisa merasakan, betapa sakitnya menjadi seorang istri dari manusia itu. Betapa menderitanya menjadi seorang ibu dari Arjuna.
Selesai sang ibu meneguk minuman hingga tandas, Arjuna memeluk ibunya.
"Ma, kalau udah besar nanti, Arjun bakalan jadi suami yang baik dan ayah yang bisa dibanggakan untuk keluarga Arjun."
Mata Maurasika seketika basah. Ia tahu benar, bahwa mental anaknya sedang berusahan menyembuhkan diri dari pergulatan atas trauma yang ayahnya goreskan dengan keji.
Maurasika mengangguk, pelukannya mengerat pada tubuh mungil itu.
"Tanpa diikrarkan, Mama pasti tau, sebelum menjadi suami dan ayah yang baik, Arjun adalah anak Mama yang akan berbakti selalu."
Tak sanggup lagi Maurasika menyembunyikan tangis. Bahkan tak ada yang ia tutupi. Isakan dan sesegukan di bahu kecil bocah tujuh tahun yang ia cintai di dalam hidupnya.
"Satu-satunya yang tidak pernah mama sesali dari penderitaan ini adalah Arjun. Arjun adalah alasan mama untuk apa pun di hidup mama."
Anak itu, mengikuti ibunya, kini tengah bertangisan di dalam rumah kontrakan yang sempit dan menunggak.
Malam itu adalah malam yang panjang untuk kedua ibu dan anak itu. Tak ada yang bisa tidur karena memikirkan betapa tersiksanya mereka.
Memiliki kepala rumah tangga, tetapi tidak diberi nafkah, ditegur juga tidak. Yosi seakan jijik kepada mereka.
"Maafkan mama, Nak."
Maurasika mengelus kepala Arjuna yang pura-pura tidur di pangkuannya.
Arjuna bertanya-tanya dalam hati, untuk apa ibunya meminta maaf. Dia tidak tahu permasalahan orang dewasa. Tetapi ia paham masalah ibu dan ayahnya. Lebih tepatnya dipaksa alam untuk memahami. Hal itu menjadikan ia tidak bisa seceria kawan-kawannya. Pikirannya bertambah, berpikir bagaimana caranya membuat ibu tercinta menghapus air mata di setiap malam. Memikirkan bagaimana membantu ibunya dalam ekonomi dan bagaimana cara menghilangkan rasa sakit yang ibunya derita. Tanpa anak kecil tersebut sadari, sebetulnya ia yang membutuhkan itu.
Arjuna butuh menghapus air matanya setiap saat, butuh menghilangkan rasa sakit yang membuatnya lupa bagaimana cara tersenyum. Arjuna butuh memafkan diri sendiri karena merasa dialah penyebab penderitaan sang ibu, ditambah tak bisa sekadar membela ibunya di depan laki-laki yang dia umumkan dalam hidupnya sebagai musuh besarnya. Seperti permusuhan Azazil Iblis kepada Adam dan keturunannya. Musuh yang seperti itu.
Pernah ia memergoki ibunya menyebut nama Hilal tempo hari. Nama yang juga disebutkan oleh ayahnya tadi.
Hilal. Mulai saat ini, dia tanamakan nama itu, untuk kebahagian ibunya. Mungkin Hilal ini bisa membantu ibunya untuk menghadapi ayahnya di sidang pengadilan atau apa pun itu.
Pernah suatu hari, ketika seringnya memergoki ibunya menyebut nama Hilal di tengah sunyi, ia bertanya pada Maurasika tentang Hilal. Tentu itu membuat Maurasika kelabakan. Malu menceritakan perihal Hilal, lelaki baik yang mencintainya. Lelaki yang terpaksa ia khianati demi baktinya kepada orang tua. Hilal, yang masih mencintainya. Hilal yang kini tanpa ia tahu, tengah menantinya.
"Paman Hilal adalah sahabat terbaik mama."
"Di mana sekarang dia, Ma?"
Maurasika menatap mata putranya. Pancaran mata Maurasika menerawang. Menandakan wanita cantik itu tidak tahu.
"Kirim surat saja,"
Maurasika tersenyum. Ia bukan tidak pernah menyurati mantan kekasihnya itu. Ia kirim surat ke alamat orangtua Hilal. Tetapi, tak ada balasan. Niatnya hanya meminta bantuan untuk dicarikan pekerjaan untuk membiayai anak semata wayangnya. Agar Arjuna-nya bisa sekolah tinggi, agar Arjuna-nya bisa berobat, untuk kesembuhan hatinya. Trauma. Putranya membutuhkan psikiater untuk membantunya keluar dalam keterpurukan. Biaya pendidikan dan psikiater bukanlah murah. Ia membuang rasa malu dan gengsinya demi sang buah hati.
Namun, sepertinya Hilal tidak lagi peduli. Atau keluarga mereka kecewa, patah hati karena pengkhianatan Maurasika. Berjanji akan menikah, tapi malah bersanding di pelaminan bersama lelaki lain.
Bersambung ....