Chereads / Black Dark / Chapter 4 - Tuduhan

Chapter 4 - Tuduhan

Arjuna memandangi foto ibundanya sebelum tidur, kini itu menjadi ritual saban hari, sebelum membaca doa akan tidur yang senantiasa diajarkan sang ibu.

"Ma, Arjun rindu ...." Bersamaan dengan itu, air matanya luruh. Meski ibunya kerap memarahi dan terkesan cerewet, tapi tetap ia merindukan hal itu. Omelan ibunya, pelukan ibunya dan segala tentang Maurasika.

Meratapi memang tidak boleh dalam ajaran agamanya, tetapi hatinya memang tidak bisa menahan, seperti tak ada kuasa dalam membendung kesedihan atas kepergian sang ibu. Ia masih sering menangis, masih galau dengan kenyataan yang ada.

Matanya senantiasa bengkak setiap pagi ketika bangun dari tidur. Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini juga demikian keadaannya. Bangun pagi, pukul empat, mengisi sepuluh besar yang kosong dengan air yang akan digunakan untuk memasak air, mandi, menyuci dan sebagainya. Pukul empat dikerjakan, maka pukul lima ia harus sudah selesai jika tidak ingin dihukum. Hukumannya adalah tidak ikut sarapan dan meletakkan semua piring di tempat pencucian. Tak hanya itu, ia pun harus membersihkan halaman luas belakang panti, yang biasanya ditumbuji pohon jati, yang konon angker.

Sambil mengisi air, ia kembali mengingat masa-masa indah bersama ibunya. Jika saja sang ibu masih ada saat ini bersamanya, maka ia akan dibangunkan ketika adzan subuh berkumandang. Kemudian ibunya akan menyipratkan air dingin ke wajah mengantukknya jika Arjuna susah dibangunkan. Kemudian ia mandi, bergegas ke Masjid bersama teman-temannya. Pulang dari Masjid, barulah ia diizinkan untuk tidur kembali, jika itu hari libur.

Sekarang, jangankan ke Masjid, kewajiban lima waktu saja hampir seluruhnya ditinggalkan karena kesibukan tugas di panti.

"Kita sudah menderita di dunia, apa Arjun mau disiksa juga di akhirat karena tidak sujud kepada Sang Mahakuasa, Yang Maha Esa?"

Hal itu selalu tertanam di benak Arjuna. Namun, kadang kala ia pun mempertanyakan di mana keadilan Ilahinya.

"Pemeriksaan!!"

Arjuna terperenyak saking terkejutnya. Buru-buru ia bangkit dan meninggalkan kegiatan mengisi air tong, bergegas ke ruang pertemuan, aula khusus anak-anak panti, baik perempuan maupun laki-laki. Arjuna belum pernah kenal atau mengenal anak-anak perempuan di panti ini. Tak sempat mengakrabkan diri. Jangankan pada perempuan, teman laki-lakinya juga tidak ada.

Semua telah berkumpul di sana. Anak laki-laki diminta untuk membuka baju mereka. Penggeledahan yang Arjuna sendiri bingung masalahnya apa.

"Uang di laci ruang makan hilang, satu juta."

Atas kalimat kepala Panti Asuhan yang bernada dingin tersebut, semua anak tanpa terkecuali menganga dengan diikuti suara. Campuran antara terkejut dan rasa penasaran.

"Ya. Maka itu lebih baik mengaku, siapa yang mengambil?!"

Arjuna adalah orang yang terakhir keluar dari ruang makan besar yang mirip kantin sekolahan itu. Hanya dia dan ibu Sumi, juru masak itu saja yang berada di sana. Apa mungkin, Bu Sumi yang menyelundupkan? Semacam kasus korupsi yang pernah dibaca Arjuna di surat kabar harian yang terjajar rapi di jalan raya.

Suasana hening. Tak satu pun suara manusia terdengar.

"Arjuna! Kemari kau!"

Arjuna mendekati kepala panti dengan lamgkah gontai. Perasaan asing dan aneh menyelimutinya.

"Kata Buk Sum, kau yang terakhir keluar."

Arjuna paham kalau ia dituduh. Wajahnya menjadi merah, tak terima atas penudingan tak berdasar itu. Selain itu, ia juga takut.

"Iya," katanya kemudian.

Semua bersorak, riuh dengan nada kurang senang. Mereka berkasak-kusuk tentang si anak baru.

"Masih baru, udah berani mencuri!" sinis kepala penjaga panti.

Arjuna meremas-remas tangannya. Matanya mengedar kemana-mana. Dia hendak membela diri, tetapi tak berani. Jiwa pengecut ini adalah yang paling ia benci dari dirinya. Membuat semakin besar dendamnya pada sang ayah.

"Harusnya tanganmu kupotong, tapi negeri kita ini memang mengkhususkan pencuri dalam menghukum. Terlebih pencuri berdasi. Jadi, hukumanmu akan lebih ringan,"

Setelah itu, Arjuna dibawa dari sana. Semua orang mengikuti atas intruksi kepala panti. Katanya sebagai pembelajaran bagi semuanya agar di kemudian hari tidak ada kasus yang serupa.

Ketika matahari setengah tombak, sewaktu dhuha lebih tepatnya, Arjuna dijemur, bertelanjang dada. Kemudian rotan, dipukulkan ke belakang tubuhnya. Belum lagi jari-jari tangan dan telapak tangannya juga terkena pukulan rotan tersebut.

Sakit di hatinya bertambah karena perlakuan memalukan dan sangat menghina ini. Luka yang masih basah, bertambah lebar. Namun begitu, ia tidak mengeluarkan air mata.

"Inilah akibatnya kalau mencuri!"

Dada Arjuna naik turun. Napasnya memburu. Sesak di dada karena ketidak adilan terhadapnya dan juga menahan rasa sakit di badannya.

Kemudian, ia dibiarkan sendiri di lapangan itu, berpanas-panasan. Seorang gadis panti mendekati. Arjuna memasang wajah paling menyeramkan yang dia bisa. Gadis itu malah tertawa.

"Pengecut!"

Bersambung ....