Sejak saat itu, hubungan Arjuna dan Agnimaya menjadi dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama jika pekerjaan di panti telah selesai. Agnimaya sering memarahi anak laki-laki yang mencoba mengganggu Arjuna. Terkadang Arjuna malu karena selalu dibela Agnimaya. Meski Agnimaya memang lebih tua lima tahun darinya, tetapi tetap saja ia laki-laki, harusnya menjadi pembela, bukan pihak yang dibela.
Tahun ini menjadi tahun terakhir Agnimaya di panti asuhan. Gadis belia itu sekarang lebih sering menasihati adiknya itu untuk menjadi lebih kuat lagi. Tak perlu cengeng atau takut. Arjuna diam saja kalau sudah mendengar kuliah dadakan dari saudarinya. Ya, dia sejak saat itu mengikrarkan dalam hati, bahwa Agnimaya adalah kakak perempuannya.
"Akan kemana Akak setelah dari sini?" Arjuna bertanya lemah. Mukanya memelas seperti anak kucing yang tidak rela berpisah dari indukya.
Sore hari di lantai dua tempat menjemur pakaian menjadi latar mereka. Setelah menunaikan ibadah Ashar, mereka ke sana. Sekadar menghabiskan waktu sebelum waktu mandi sore.
"Formal kali kau, hahaha ...." Bukannya menjawab, Agnimaya malah meledek gaya bicara adiknya.
"Aku ikut. Boleh ya?"
Agnimaya mengeraskan tawanya. Memang manja betul Arjuna ini, pikirnya. Tidak salah, karena Agnimaya sudah seperti ibu baginya. Jika saja tidak ada Agnimaya yang selalu mendukung dan membela dalam dua tahun ini, dia akan semakin terpuruk.
"Usiamu baru dua belas, dan aku tujuh belas. Coba kau pikir baik-baik, Roticane—"
"Ronivanendra!"
"Iya, terserah. Coba kau pikir, bisa apa kita? Kau tunggulah sampai lima tahun lagi. Aku janji akan membawamu bersamaku jika kau sudah keluar dari sini, Adeeeeeek."
"Jangan panggil aku begitu!"
"Begitu bagaimana?"
"Adek. Jangan gitu. Panggil aja namaku, Kak."
"Kau memanggil aku 'Akak', ya aku manggilnya 'Adek', ya kan? Pas sudah itu."
"Ck! Terserah."
"Hooo ... Arjuna doyan betul ngambek, kayak kambing aja."
"Ngembek itu!" ralat Arjuna dengan raut muka khas anak-anak merajuk.
"Oh, jadi ngakuin ya, kalau memang dikau doyan ngambek?"
"Ya enggak gitu jugaaaak!"
Agnimaya kembali tertawa. Memang menggoda adik laki-lakinya ini menyenangkan sekali.
Beberapa saat kemudian, wajah Agnimaya berubah. Tatapannya lurus ke depan, bibirnya tak sedikitpun ada senyum, bahkan terlihat murung. Arjuna menyadari itu, tetapi enggan untuk menanyakan. Remaja yang duduk di bangku awal sekolah menengah pertama itu takut pertanyaannya akan mengusik remaja putri siswi tingkat akhir sekolah menengah atas tersebut.
"Aku dipanggil bekerja setelah lulus dari sekolah." Agnimaya memulai topik. Arjuna tahu kalau ini penting, meskipun tak ada yang salah dari kalimat Agnimaya barusan.
"Masa uji coba itu tiga tahun,"
"Apa itu maksudnya?" Arjuna tidak bisa menahan pertanyaan.
Agnimaya menghela napas sebelum menjawab. Ia menekuk kedua kaki, sejajar dengan dadanya. Tangannya melingkari kaki-kaki itu, layaknya memeluk.
"Kontrak awal. Jadi, selama tiga tahun itu dikontrak, untuk menjadi pegawai tetap."
"Oh."
"Paham?"
"Ya enggaklah!"
Agnimaya tidak lagi tertawa terpingkal-pingkal seperti biasanya. Kali ini senyumnya lembut dan lebih teduh. Ia mengusap rambut Arjuna, seraya berkata, "Kalau kau sudah besar, nantin paham kok."
Arjuna mengangguk. Ia menanti cerita lain, cerita yang menjadi kegalauan sang kakak.
"Kemarin, aku bertemu dengan ibuk."
Arjuna terkejut! Bagaimana mungkin? Selama ini dia pikir kedua orangtua Agnimaya telah meninggal, maka itu dia ada di sini.
"Sama suaminya. Di swalayan Bulan Sabit. Lagi belanja keperluan bulanan kurasa."
Arjuna masih diam, mendengarkan.
Bersambung ....