Tiga bulan setelah kepergian Agnimaya dari panti, Arjuna belum juga menunjukkan tanda-tanda semangat hidup. Remaja usia dua belas itu malah lebih tertutup. Hanya saja ia semakin dingin dan tak tersentuh. Anak-anak di panti juga merasa sedikit ngeri jika secara tak sengaja bertatap muka dengan Arjuna.
Melihat salah satu anak asuhnya di depan teras ruangan Arsalan yang sendirian, bahkan terlihat gundah gulana, ibu panti yang tegas itu, mendatangi si anak.
"Ibu Sri," sapa Arjuna ketika wanita itu duduk di sebelah kanannya.
"Merenung dan meratap, bukan sebuah solusi. Itu cuma menambah keterpurukan."
Arjuna paham maksud Ibu Sri. Meski terlihat kejam dan jauh dari kata lembut, tetapi wanita ini adalah orang yang sebetulnya sangat peduli kepada sesama.
"Kakakmu tadi telpon,"
Mendengar tiga kata itu, mata Arjuna melebar, terdapat binaran semangat pada indera penglihatannya.
"Dia nanyain kamu. Mengirim hadiah lewat paket. Mungkin nanti sore sampai."
"Kakak?!" Arjuna berseru penuh semangat.
Ibu Sri tersenyum simpul, seraya mengangguk. Kemudian berdiri, mengusap kepala Arjuna.
"Kamu tunggulah, ya. Ibu mau masuk dulu."
Kemudian wanita setengah abad itu berlalu dari sana.
Kini, wajahnya menjadi cerah, terdapat senyuman hangat. Ia bernazar, bahwa jika hadiah dari kakaknya telah ia terima—ia meyakini akan ada surat juga untuknya—maka akan melakukan puasa sunnah dan lebih berusaha lebih keras lagi untuk menjadi sesorang yang disegani atau ditakuti sekalian.
Hingga sore, paket yang dijanjikan ibu kepala tak juga datang. Mungkin terlambat, atau malam akan ia dapatkan. Namun, setelah tiga hari dalam penantian, tak juga ia menerima. Kakaknya yang ingkar atau Ibu Sri yang mengarang cerita? Ia mulai berprasangka tidak baik.
Maka dari itu, ia bermaksud menanyakan kepada sang kepala panti. Ia menelusuri lorong kamar Arsalan menuju ruang utama. Ketika ia dalam perjalan ke sana, ia mendengar kasak-kusuk dari staf yang seharusnya sudah masuk ke dalam kamar mereka. Dua orang itu terlihat mencurigakan.
Tak hanya dua staf itu saja, ada tiga anak panti juga di sana. Ketiga-tiganya laki-laki, dan mereka adalah orang-orang yang sangat besar permusuhannya dengan Arjuna. Tak paham apa penyebabnya, hanya merasa tidak suka saja pada remaja laki-laki itu.
"Gimana ini? Bu Sri sering nanyai ke kita kan? Apa Arjuna udah diberi bingkisan yang dikirim si Nimay apa belom. Habis kita kalau ketahuan!" Staf yang di dada kirinya tertuli nama Rida bertanya cemas.
Agnimaya lebih sering disapa Nimay jika di panti asuhan. Nimay adalah nama yang diberikan padanya oleh ibu kepala panti.
"Halah, gampanglah! Si Arjuna kan badung di mata semua orang. Pernah nyuri uang juga. Pasti Ibu Sri lebih percaya sama kita." Staf yang satunya, yang menjuluki Arjuna sebagai monster tempo hari menggampangkan masalah.
Tiga anak laki-laki itu tertawa atas jawaban staf yang bernama Safitri tersebut. Karena mereka tahu, bahwa sesungguhnya pencuri uang itu adalah Syafitri. Pun, ketiga anak tersebut diberi bagian. Mereka berempat merencanakan pemgambilan uang dan pemfitnahan terhadap Arjuna.
"Untung Kak Nimay udah gak di sini lagi. Coba kalo ada, si Arjuna payah kita hinakan."
Anak laki-laki yang dulu paling sering mengejek Arjuna berkata.
Dada Arjuna naik-turun, menahan amarah yang memucak. Setan-setan ini memang perlu diberantas dari muka bumi.
"Nimay itu orang yang kubenci juga. Tapi entah kenapa aku gak bisa buat dia dalam masalah. Maka sekarang aku balas ke adek bodohnya itu. Hahaha ..."
Arjuna menyeringai. Ia akan menghampiri mereka, tetapi terhenti ketika Safitri membacakan isi surat.
"Lihat ini, surat si Nimay! Kubacakan."
Kemudian surat itu dibacakan. Isi surat Nimay kepada Arjuna adalah:
Bersambung ....