Senyum memiliki berjuta-juta arti. Tak selamanya senyum itu maknanya 'baik' atau 'baik-baik saja'. Tujuan senyum adalah memperindah. Entah memperindah kedustaan ataupun memperindah wajah. Seperti yang remaja laki-laki itu tengah lakukan. Ia tersenyum kepada seorang laki-laki seusianya. Mereka sekitar usia 17. Masih berseragam sekolah.
"Aku membenci senyummu itu, Arjuna!" ucap anak laki-laki itu dengan nada emosi kepada laki-laki yang tengah tersenyum aneh di hadapannya.
"Mau menghajarku, Adri?" tanya si pemilik senyum dengan nada santai.
Merasa tersulut emosinya, Adri menerjang Arjuna. Ia mencoba memukuli putra Maurasika. Sementara yang dipukuli tertawa-tawa. Maka, semakin emosilah Adri. Secara membabi buta, ia menendang lawannya yang bahkan tidak bereaksi. Tak ada yang melerai kedua remaja itu yang bergelut di lapangan sepak bola di dekat gang sekolah mereka, sebab sudah sangat sore dan akan turun hujan. Gemuruh sudah terdengar sedari tadi.
Arjuna hampir babak belur karena tindakan Adri. Namun, saat Adri tengah kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak, saat itulah Arjuna membalas. Ia pukulkan batu lumayan besar yang sengaja dibawanya di dalam tas, ke kepala Adri. Tubuh Adri jatuh terjerembap. Kepalanya basah karena darah yang keluar. Melihat lawannya tumbang, Arjuna tersenyum sinis.
"Kemampuanmu cuma segini, tapi berani sok nantangin aku? Nyalimu besar juga ya, Pecundang!"
"Licik!" maki Adri sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.
Senyuman Arjuna berubah lagi. Ia tersenyum manis. "Ada sebab, ada akibat ... Temanku!"
Hujan mulai turun membasahi bumi.
Selanjutnya, Arjuna meninggalkan Adri yang tak sadarkan diri. Kakinya menjauhi lapangan bola, menuju tempat yang dijadikannya sebagai rumah kedua.
Seragam sekolahnya sangat kotor karena pergulatan yang ia lalui bersama Adri tadi. Namun, tak sedikitpun ia merasa risau. Tidak peduli apakah nanti kepala panti akan menanyai atau memarahi karena kelakuannya. Ia tidak memusingkan hal semacam itu.
Lima belas menit kemudian, ia telah sampai di tempat tujuan. Sebuah gudang tak terpakai, tempat yang dirinya dan kawan-kawan jadikan markas.
Semakin malam, tempat itu semakin ramai. Kadang bisa sampai ada sebelas orang, seperti jumlah satu tim permainan sepak bola. Ada banyak watak di sana. Mulai dari yang keras, pemarah, sampai yang tak terdeteksi seperti Arjuna. Tak terdeteksi maksudnya, kelihatan seperti murah senyum dan hangat, padahal aslinya mengerikan.
Begitu sampai, Arjuna langsung menenggak minuman keras yang tersedia. Ia juga mencomot kacang yang ada.
"Woi! Baru datang kau?! Dari mana aja?" seseorang yang duduk bersila memegang kartu menanyainya.
"Main dulu sama Adri."
Jawaban itu membuat salah satu orang yang kebetulan duduk di samping Arjuna tertawa keras.
"Kau apakan lagi si anak sok jagoan itu?"
"Enggak ada, cuman diberdarahin aja."
Semua orang yang berjumlah sepuluh tanpa terhitung Arjuna, tertawa puas. Adri dan komplotannya memang menjadi rival bagi kelompok mereka.
"Jun, kau ikut main, enggak?"
Arjuna menggeleng. Ia memang suka menonton judi, tapi enggan ikut dalam permainan itu.
"Banci!" cibir mereka bersamaan.
Bersambung ....