"Enggak ada, cuman diberdarahin aja."
Semua orang yang berjumlah sepuluh tanpa terhitung Arjuna, tertawa puas. Adri dan komplotannya memang menjadi rival bagi kelompok mereka.
"Jun, kau ikut main, enggak?"
Arjuna menggeleng. Ia memang suka menonton judi, tapi enggan ikut dalam permainan itu.
"Banci!" cibir mereka bersamaan.
Putra Maurasika dengan Yosi tersebut tak ambil pusing. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan mulai membakar ujungnya dengan macis. Kemudian mengisap kuat-kuat tembakau yang terbungkus itu, lalu asapnya dikeluarkan perlahan. Tak ada yang tidak mengisap cerutu di sana.
Sekitar empat orang tengah memainkan kartu. Sementara yang lainnya menonton sambil minum-minum, ada juga yang tengah memakai narkotika. Kehidupan liar seperti ini sudah dua tahun Arjuna jalani. Kenakalan remaja yang menyerang Indonesia memang sedang tinggi-tingginya.
"Jun!"
Seseorang menepuk pundak Arjuna yang sedang menikmati cerutunya.
Arjuna menggumam, merespons temannya.
"Ikut ke kost, yok!"
"Ngapain, Bang?"
"Makan!"
Arjuna bangkit. Kebetulan sekali perutnya memang lapar, dan dia tidak sempat makan. Setelah berpamitan pada kawan-kawan di markas, mereka berdua menaiki motor menjauhi tempat maksiat itu.
Azan berkumandang di tengah derasnya hujan. Mereka menerobos hujan untuk sampai ke tempat tujuan.
"Bang, pinjam baju! Bajuku basah." Arjuna berkata datar sesaat setelah mereka sudah berada di tempat tujuan.
"Pilih aja di lemariku. Bentar ya, aku ke sebelah dulu, mesen makanan."
Arjuna mengangguk. Ia mengganti pakaiannya di kamar mandi. Kamar kost milik Bayu memang difasilitasi kamar mandi di dalam. Ia juga sedikit mencuci seragamnya yang benar-benar kotor. Lalu menggantungnya pada paku yang biasanya tempat menggantungkan handuk.
Ia hendak mandi, tapi urung. Udara sangat dingin, maka Arjuna mencuci muka dan membasuh tubuh yang dirasanya perlu.
Ketika ia keluar dari kamar mandi, saat itu pula Bayu kembali dari memesan makanan. Dua piring nasi hangat beserta lauk lezat tersaji.
"Gak ada kopi. Aku pesankan teh. Nanti diantar."
Arjuna mengangguk, menggumamkan terima kasih. Ia bergabung duduk bersila dengan Bayu, menyantap makanan.
Ketika nasi di piring mereka tinggal setengah, pintu kamar Bayu diketuk.
"Itu pasti teh manis kita."
Bayu beranjak dari duduknya. Berjalan sedikit dan membuka pintu. Saat ia melihat gadis kecil yang mengantarkannya, Ia tersenyum ramah.
"Eh ... Adek yang antar ya?"
Si gadis kecil tersenyum malu-malu. Ia menyerahkan kantong plastik yang berisi dua teh manis hangat.
"Makasih ya, Dek."
Gadis tadi mengangguk lagi, tersipu malu. Ia juga menyerahkan kembalian uang pada Bayu.
Saat si gadis sudah akan melangkah menjauhi kamar, Bayu memanggilnya.
"Tunggu! Om Bayu ada sesuatu untuk Adek."
Mata gadis itu berbinar senang. Menebak kira-kira apa yang akan diberikan Bayu kepadanya. Biasanya kalau tidak permen, pasti cokelat.
Bayu masuk ke kamarnya untuk mengambil beberapa cokelat dan permen.
"Adek, masuk aja sini dulu! Di luar dingin."
Karena teriakan Bayu, gadis itu menuruti. Ia juga merasa kedinginan.
"Adek enggak bisa kedinginan, 'kan?"
"Ih, kok 'adek' sih, Om? Mbak dong!" protesnya cemberut.
"Loh, Nana kan memang masih adek-adek." Bayu menggoda.
"Tapi udah punya adek."
Arjuna yang sedari tadi hanya memerhatikan interaksi mereka, kini menyunggingkan senyuman.
"Iya, iya. Mbak Nana. Tadi dapat nilai berapa di sekolah?"
"Seratus!" jawabnya bangga.
"Pinter. Nanti, kalau Adek, eh Mbak Nana dapat juara satu lagi, om Bayu kasih hadiah."
Senyuman gadis tadi semakin lebar.
"Kelas berapa?" Arjuna bersuara.
Bersambung ....