Dada Arjuna naik turun. Napasnya memburu. Sesak di dada karena ketidak adilan terhadapnya dan juga menahan rasa sakit di badannya.
Kemudian, ia dibiarkan sendiri di lapangan itu, berpanas-panasan. Seorang gadis panti mendekati. Arjuna memasang wajah paling menyeramkan yang dia bisa. Gadis itu malah tertawa.
"Pengecut!"
Dikatakan demikian, membuat amarah Arjuna memuncak, hingga ia mengancam.
"Diam, atau kusobek mulutmu!"
"Apa? Yang kubilang itu kan kenyataan, Cengeng!" ledeknya lagi.
"Kau mau apa sih? Pergi sana!"
Bukannya pergi, gadis itu malah semakin mendekat pada Arjuna yang tengah mengibaskan dua tangannya, guna mengusir rasa sakit akibat deraan yang ia terima.
"Kenapa kau enggak membela diri? Kau kan laki-laki."
Arjuna tak bersuara. Seperti sebelum-sebelumnya, ia lebih suka tak menanggapi orang-orang cerewet atau hanya iseng bertanya, hanya demi mengolok-olok.
"Kau tau kan siapa yang ambil uang itu sebenarnya?" Perempuan berbaju biru yang kini sudah duduk di sebelah Arjuna, gencar menanyai. Gigih benar perjuangan, layaknya bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah.
"Enggak." Arjuna menjawab pendek.
"Terus? Kalau nggak tau kenapa sok mengakui?"
"Yang sok mengakui itu siapa?"
"Oh, jadi bukan sok. Tapi benar, kau yang ambil?"
"Enggak!" Arjuna hilang kesabaran.
"Tapi kan kau yang terakhir keluar."
"Hey! Aku memang yang terakhir keluar, tapi bukan yang ambil uangnya."
"Nah, pas kan? Pengecut!"
"Aku sudah jujur! Akh, percuma bicara kalo gini."
"Itu dia. Kau enggak ngomong untuk bela diri kalau kau cuma ngaku perihal yang keluar dari ruang makan terakhir kali, bukan ngakui pencurian uang."
Dengan cepat, Arjuna langsung menoleh kepada si gadis. Kalau diperhatikan, sepertinya dia orang yang baik, dan berotak cerdas.
"Kau malah terima-terima aja dihukum. Kau takut 'kan?" Telunjuk gadis itu tepat mengarah ke hidung Arjuna yang mancung, tak terlalu tapi batang hidungnya masih bisa dilihat. Hidung mancung khas Indonesia.
Tudingan itu benar. Arjuna mengakuinya.
"Siapa yang enggak?"
"Itu makanya kubilang kau pengecut!"
Arjuna terdiam. Otaknya sedang kalut. Tak mau berdebat dengan perempuan ini. Mulutnya berbahaya. Ia bisa membuat orang membuka mulut tanpa harus pakai kekerasan. Tak seperti polisi kepada kriminal. Lagi pula Arjuna memang bukan kriminal dan gadis bercelana katun itu bukan pula polisi. Akan tetapi entah bagaimana cara perempuan ini mampu menguasai kemampuan bagai mata-mata detektif yang ada di komik milik Arjuna dulu.
"Namaku Agnimaya. Kau?"
Gadis berkuncir satu itu mengulurkan tangan.
Arjuna yakin sekali kalau perempuan yang telah dicapnya sebagai perempuan cerdas ini, mestilah tau namanya. Entah mengapa perempuan ini malah memilih pura-pura tidak tahu.
"Arjuna. Arjuna Ronivanendra." Arjuna menyambut uluran tangan.
"Ah, nama yang bagus. Aku seperti pernah tau nama ini."
"Mama bilang, namaku sama dengan nama tengah Pandawa."
"Bukan 'Arjuna', tapi Roticanenya itu."
"Ronivanendra! Bukan Roticanenya!"
Arjuna menghempas tangan Agnimaya. Ia merajuk. Wajahnya tertekuk karena nama pemberian ibunya diolok.
Agnimaya tertawa terpingkal-pingkal. Mengganggu anak kecil cengeng dan manja pada ibunya ini memang menghibur sekali.
Bersambung ....