Arjuna berdiri di pusara wanita yang melahirkannya. Mencintai dirinya tanpa syarat, bahkan lebih dari mencinta diri sendiri. Wanita yang berjuang keras demi dirinya. Dua hari lalu telah dijemput malaikat maut. Seakan Tuhan tahu kalau ibundanya telah lelah, maka selesailah masa hidup di dunia yang kejam ini.
Tiga tahun berjuang tanpa ada bantuan manusia untuk menghidupi mereka. Hinaan, cacian mengiringi langkah. Tak jarang Arjuna juga mendapat perlakuan buruk karena tidak memiliki sosok ayah di hidupnya. Ibunya dituding janda penggoda. Padahal rupa cantik, bukan syarat menjadikan seseorang itu penggoda. Bukan salah ibunya jika dianugerahi kecantikan yang luar biasa. Sudah takdirnya menjadi wanita cantik, perogatif Sang Maha Esa.
Arjuna kerap bertengkar demi membela nama baik ibunya. Ia tak mau lagi seperti dulu, menjadi pengecut dengan berdiam diri ketika sang ibu dihinakan. Tak pandang bulu, ia menghajar siapa pun yang berani mengatakan hal yang tidak-tidak tentang ibunya. Entah itu anak seusianya, lebih tua sedikit darinya, atau orang tua bahkan wanita sekalipun. Pernah ia melempar kotoran anjing kepada wanita yang berkata buruk mengenai ibunya. Hasilnya, Arjuna dipukuli dengan gagang sapu oleh korban yang dibantu oleh beberapa ibu-ibu karena hal itu. Bukannya jera atau takut, ia malah mengancam dengan kalimat penuh penekanan.
"Kubunuh kalian semua!!"
Meski masih kecil, tenaga Arjuna lumayan kuat. Serasa mustahil untuk anak seusinya. Hingga, suatu saat, warga banyak yang mengeluhkan kenakalan Arjuna yang sebenarnya merekalah pemicunya, kepada Maurasika.
Maka, ibunya itu menasihati agar ia senantiasa bersabar. Arjuna menyanggah dengan kalimat yang membuat ibu mana saja menjadi terharu.
"Arjun bisa nahan apa pun, Ma. Lapar, haus, pukulan, kedinginan, apa aja. Tapi enggak bisa tahan kalo Mama dihina. Arjun enggak bisa terima."
Jika sudah begitu, Maurasika akan memeluk Arjuna, mengecup kening bocah itu dan mengucapkan terima kasih, kemudian kembali menciumi pipi anak laki-laki itu.
"Arjun adalah kekuatan mama."
"Mama juga sumber kekuatan Arjun. Jangan tinggalkan Arjun, ya."
"Tidak akan, Nak. Selama mama masih bernapas, mama akan selalu sama-sama Arjun."
Namun kini, Maurasika telah tiada. Tepat tiga tahun setelah perceraian ibunya dengan laki-laki yang ia janjikan sebagai musuh abadinya. Ia sendirian. Tak memiliki siapa-siapa. Keluarga pihak ayahnya, yakni paman dan bibinya tak sudi mengurusi. Maurasika memiliki kakak laki-laki, tapi enggan peduli. Saat masih hidup, Maurasika pernah meminta bantuan, ditolak mentah-mentah karena istri abangnya kurang senang kalau paman tertua Arjuna itu berhubungan dengan keluarga suaminya.
Air mata Arjuna meleleh bagai air sungai yang mengalir. Dia tidak ingin sendirian, tapi ia juga tak mampu mengusir kesendirian tersebut.
Entah kemana lagi ia harus pulang. Dua hari ini bahkan ia lebih banyak menghabiskan waktu di kuburan. Menunggui ibunya. Jelas sekali yang mati, meninggalkan dunia takkan pernah hidup lagi di dunia. Nanti ada masanya ketika dibangkitkan kembali.
Jauh dari tempat Arjuna meratapi ibunya, ratusan kilometer dari kotanya itu, Hilal sedang berkutat dengan dokumen-dokumen yang harus ditandatanginya. Memiliki beberapa distro pakaian dengan nama Bulan Sabit, membuatnya sering dilanda kesibukan. Belum lagi supermarket yang dikelolanya di kota asalnya. Ia berencana pulang dalam waktu lima tahun ini. Rindu kampung halaman, keluarga dan wanita yang masih sangat dicintainya.
"Aku akan menemui Arjun, dan mengenalkan diri sebagai sahabat baik ibunya. Ah, kira-kira sedang apa mereka ya? Aku juga harus bisa berteman dengan Yosi. Inilah bukti cinta dan keikhlasanku."
Selama ini, yang ia ketahui tentang Maurasika dan putranya adalah hal yang baik-baik. Tak ada dia mendengar kabar sesungguhnya tentang mereka berdua. Sepupunya sering berkomunikasi lewat telepon atau sesekali mengirim surat. Tak pernah diceritakan tentang surat dari Maurasika. Sepupunya itu bahkan memanipulasi surat dari Maurasika. Membacakan surat tapi tidak sesuai isi.
Maurasika, gadis yang menjadi cinta pertamanya. Mereka pertama kali bertemu di sebuah gubuk dekat sungai di pinggiran kota. Mereka sama-sama melepas lelah dari sekolah. Pulang sekolah, mampir di sana dulu. Tak tahunya, mereka satu kecamatan, hanya berbeda lingkungan. Maurasika di lingkungan V, sementara Hilal berdomisili di lingkungan VII. Perkenalan dan kedekatan mereka berawal dari gubuk tempat peristirahatan mereka sebelum pulang ke rumah, masa mereka masih kelas tiga sekolah menengah pertama.
Tapi, siapa sangka pertemuan itu berlanjut. Bahkan, di Sekolah Menengah Atas malah takdir mempertemukan mereka kembali. Hilal dan Maurasika berada di kelas yang sama. Lalu, ketika kelas mereka ikut karnaval dan Hilal dan Maurasika menjadi icon kelas mereka yang memilih konsep sepasang pengantin, maka kisah mereka berawal.
Hingga, suatu saat Hilal memutuskan melamar, meski ia belum memiliki pekerjaan tetap. Namun, ia sudah dikontrak selama dua tahun untuk menjadi penjahit di sebuah pabrik. Uangnya akan ia tabung untuk modal menikah dan buka usaha. Demikian rencananya saat itu.
Maurasika menerima lamaran, tentu saja. Mereka saling mencintai. Kedua keluarga sudah sepakat akan menikahkan Maurasika dengan Hilal dua tahun lagi.
Namun, ibu dari Yosi meminta orangtua Maurasika menikahi putranya demi melunasi utang, tepat sebulan sebelum kontrak Hilal di pabrik berakhir, yang artinya dekat dengan waktunya Hilal meresmikan hubungan mereka dalam ikatan pernikahan.
Dilema. Maurasika hendak menolak, tapi tak kuasa. Demi baktinya pada orangtua, ia merelakan cintanya. Tak habis pikir ia dengan jalan pikiran Yosi. Jelas Yosi tahu ia dan Hilal adalah sepasang kekasih.
Ketika itu, Maurasika dicap sebagai pengkhianat oleh keluarga Hilal. Mengharamkan wajah untuk dipandang oleh perempuan itu. Dia yakin, Hilal tidak membencinya. Namun, ia juga tahu kalau Hilal sangat hancur hatinya. Meski begitu, Hilal tetap datang ke pernikahannya. Mendoakannya dan sang suami. Hilal tidak pernah bisa membenci Maurasika. Bukan sekadar kekasih, Maurasika adalah sahabat terbaiknya. Mendukungnya dari nol. Bukan salah Maurasika kalau mereka tidak berjodoh. Begitu kata Hilal pada keluarganya. Bahkan Hilal menghadiahkan pernikahan mereka dengan memberi semua hasil tabungan yang akan ia pakai untuk melamar Maurasika.
"Aku tidak akan menikah selain denganmu, aku sudah bersumpah sejak dulu, Maura. Jadi, jika kau janda, aku mohon, kembalilah padaku." Kalimat itu ia ucapkan saat Hilal pamit pergi dari menjenguk Maura di rumah sakit. Maura sedang sakit saat itu.
Kebetulan Maurasika menjadi tetangganya Hilal saat itu. Hilal menemui Maurasika di sana, tak sengaja karena mereka tetangga satu lantai apartemen. Dan Maura tiba-tiba pingsan, Hilal-lah yang membawa Maura ke rumah sakit.
Saat itu, Maurasika hanya tersenyum, sendu. Hatinya sakit, hendak menangis tapi tak elok, sebab ia sudah menjadi istri orang lain. Biar bagaimana, ia tahu batasan. Ia sudah berdosa menyakiti hati pria baik ini, tak ingin menciptakan dosa baru dengan cara lain.
"Aku pamit, Maura. Jaga diri. Beritahu aku jika keponakanku lahir ya,"
Tak ada yang bisa Maurasika katakan, ia hanya mengangguk.
"Aku tidak main-main dengan ucapanku. Maukah kau kembali jika——?"
"Kau mendoakan yang jelek,"
Hilal tertawa getir. Menyadari kebodohan. Tapi dia benar-benar serius dengan ucapan itu.
Bersambung ....