Karena enggan mengurusi keponakan suaminya, kakak ipar Maurasika menyarankan untuk membawa Arjuna ke Panti Asuhan. Usianya masih sepuluh, dan masih bisa dibawa ke sana. Panti Asuhan yang dipilih juga jauh dari kota mereka. Sengaja dipilihkan yang jauh. Alasannya agar Arjuna tidak terus-terusan sedih, karena mengingat ibunya dan berakhir menginap di pemakaman lagi. Tak tanggung-tanggung, mereka mengantarkan Arjuna sampai ke seberang pulau.
Akhirnya, kakak Maurasika mengantarkan anak adiknya itu dengan hati yang hancur. Ketidakberdayaan dan sikap pecundang, membuat satu-satunya peninggalan sang adik terbuang. Dia merasa malu sebagai laki-laki.
"Terima kasih sudah mau mengantarkanku. Semoga bahagia selalu."
Kalimat perpisahan Arjuna menambah rasa sedih di hati kakak laki-laki Maurasika.
Dialah penyebab dari awal penderitaan adiknya. Hanya karena ingin memberikan yang terbaik bagi putra sulung, orangtuanya berutang banyak. Hingga tidak bisa membayar. Lalu, sang adik menjadi korban, seperti Siti Nurbaya. Hanya saja yang menikahi bukan Datuk Maringgih, melainkan sang putra, yang kebejatannya melebihi Maringgih.
Selayaknya Malin Kundang, kakak Maurasika malah durhaka. Ia menyadari itu. Malin Kundang bahkan lebih banyak di zaman ini. Malin Kundang zaman milenium, moderen. Bukan fisik mereka yang dikutuk menjadi batu, melainkan hati. Bagai batuan beku.
Setelah paman tertuanya benar-benar sudah pulang, sudah menyelesaikan urusan dengan kepala panti, Arjuna diantar ke kamar barunya. Mirip asrama, tidurnya beramai-ramai dalam satu ruangan. Satu kamar bisa terdiri dari sepuluh orang atau lebih dari itu. Setiap kamar memiliki nama. Kamar Arjuna dan tentunya anak-anak yang sudah ada di sana lebih dahulu dinamai dengan: Arsalan. Artinya singa.
"Baik-baik ya di sini, sama teman juga jangan saling bertengkar!" peringat kepala kamar khusus laki-laki tersebut. Di tanda pengenalnya tertulis nama: Siti.
Arjuna tidak menjawab, tetapi kepalanya mengangguk.
Barang-barang Arjuna yang hanya terdiri dari beberapa potong pakaian dan foto ibunya diletakkan di lemari kecil. Lemari yang juga berbagi dengan satu orang lainnya.
Saat ini dan ke depannya menjadi titik kehidupan barunya. Mulai saat ini, dia bukanlah milik siapa-siapa kecuali Sang Pencipta. Dia tidak memiliki siapa-siapa kecuali Sang Maha Esa. Ia yatim piatu tak berkerabat nasab. Dia sendirian. Tak ada ayah, paman, bibi, kakek-nenek, sepupu atau apalah itu. Dia hanya Arjuna Ronivanendra, sebatang kara.
Namun, tetap saja. Meski ia mengeraskan hati, setiap hendak tidur, air matanya selalu jatuh membasahi bantal. Kadang kala meratapi takdir yang dirasa kejam.
Hidup di panti memang lebih nyaman, disediakan tempat tidur dan makan. Dengan tugas-tugas lain, Arjuna tidak masalah. Ia mengerjakan apa yang ditugaskan kepadanya, termasuk memberi makan ternak atau membersihkan kamar mandi. Namun, kehidupan sosialnya yang agak mengusik. Hanya karena ia anak baru, dan di kamar itu menjadi yang paling muda, lantas ia diperlakukan bagai budak. Mencuci pakaian mereka semua sampai membersihkan ruangan sendirian. Sudah tiga bulan ia diperlakukan demikian, bahkan jatah makannya kadang diambil, atau kalau dia beruntung disisakan setengah. Hendak melawan, ia takut dikeluarkan. Belum lagi, tempat ini asing baginya.
Pernah ia hampir membunuh diri sendiri, hendak menyusul ibunya. Kemudian, atas takdir ia diselamatkan, disadarkan dari kebengkokan jalan yang ia ditempuh. Orang itu mengatakan bahwa masih banyak lagi manusia di belahan dunia lebih parah keadaannya, tetapi mereka berbaik sangka kepada takdir Sang Pencipta.
"Memang benar, setiap masalah manusia itu berbeda. Bukan maksud membandingkan, tetapi untuk menjaga dari perbuatan mungkar, hendaknya kita melihat yang lebih menderita dari kita."
Hal ini, pernah juga ibunya katakan saat Arjuna mengeluh mengapa dirinya dan ibunya diberi takdir mengenaskan. Persis. Karena itulah, ia membatalkan niatan membunuh dirinya sendiri.
"Takdir. Meski baik atau buruk, itu datang dari Allah. Jika kau bersabar dengan ujian ini, maka Allah akan meninggikan derajatmu. Maka, bersabarlah."
Arjuna, tanpa sadar memeluk orang itu. Orang yang mengingatkannya pada sang ibu. Orang yang dipeluk tersebut, membalas pelukan. Jika saja ia tidak batal menikah, mungkin usia anaknya sekitar usia Arjuna, atau tidak jauh dari itu.
"Bunuh diri, jika mati, maka tempatnya di neraka. Iblis akan senang karena permusuhannya kepada Adam dan keturunanya. Kau adalah pemimpin atas dirimu sendiri. Lawan bisikan setan itu!"
Lelaki dewasa itu baru Arjuna ketahui adalah penyumbang terbesar dan paling konsisten memberikan dana untuk panti asuhan ini. Mulia sekali, ia biasa disapa dengan: Paman Bulan Sabit.
Sebenarnya ia tak pernah masuk sampai ke dalam tempat anak-anak tinggal. Namun, kala itu, hatinya seperti terus-menerus memaksanya masuk. Lalu, didapatinya Arjun sedang memegangi pisau yang hendak ia gorokkan ke leher sendiri.
Saat itu, Paman Bulan Sabit bertakbir saking terkejutnya. Karena itu, setan yang menggoda Arjuna, terikut hingga beberapa saat, syaraf remaja laki-laki itu tidak berfungsi. Kaku. Maka, tidak disia-siakan kesempatan itu oleh pria dewasa tersebut untuk menjauhkan pisau silet dari leher si malang Arjuna.
"Katakan: Astaghfirullah!"
Arjuna mengikuti perintah si pria. Manis. Itu yang pria itu sematkan pada lelaki ini. Manis karena sesungguhnya ia anak yang penurut.
Kasak-kusuk terjadi. Kemudian, kesimpulan yang orang itu tangkap dari pembicaraan hanya si remaja ini adalah anak baru yang ditempatkan di kamar Arsalan. Tak lama setelah itu, Ibu Kepala Panti beserta para staf-staf yang bertugas, datang, mengamankan Arjuna. Khusus kepala panti, ia mengajak penyumbang terbesar panti asuhannya itu ke kantor. Setidaknya orang itu merasa lega karena Arjuna telah diamankan. Ia pun tak bisa berlama-lama di sana. Setelah tahu Arjuna sudah aman, dia pamit, banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Mengingat target lima tahunnya yang akan kembali ke kampung halaman, dan membuka swalayan di sana.
Mengamankan Arjuna, bukan ia diberi dukungan, atau ditanyai apa yang menjadi masalahnya, kemudian dicarikan solusi. Sekali-kali bukan seperti itu.
"Bersihkan semua gudang! Dasar Badung! Membuat malu saja!"
Tidak hanya itu, kini ia pun menjadi bahan bulan-bulanan di panti asuhan. Tak hanya pada hari itu, tetapi sudah menjadi ketetapan ia menjadi bulan-bulanan yang lebih tua darinya, bahkan beberapa staf muda yang munafik. Di depan ibu kepala, terlihat mengayomi dan lemah lembut, tetapi aslinya berkebalikan. Saat tak ada yang mengetahui, ia bertranformasi menjadi iblis wanita, ke bentuk asli. Entah kenapa pencitraanya begitu sempurna. Seharusnya wanita gila itu memenangkan piala Oscar.
Awalnya, Arjuna hendak tak mengacuhkan suara-suara ejekan sumbang dari lidah anak-anak itu. Tetapi ia berubah pikiran menjadi sangat ingin mendengar permohonan ampun dari lidah anak-anak yang mencari masalah dengannya. Baik yang sengaja maupun tidak.
"Aku harus menjadi kuat, dari sebelumnya. Hanya untuk melindungi diri, bukan untuk menyakiti."
Paman Bulan Sabit itu tidak lagi pernah mengunjungi panti karena kesibukannya. Namun, orang-orang di sana mengartikan lain. Sebagian besar dari mereka berasumsi Arjuna-lah penyebabnya, terlebih si staf wanita. Diketahui dia memiliki rasa suka yang mendalam pada pria matang nan mapan serta tampan itu. Karena wanita itulah, maka Arjuna disapa monster, tanpa bercermin siapa sesungguhnya dari monster itu.
"Akan kutunjukkan nanti, bagaimana monster itu, lihat saja!" Arjuna memandang dirinya yang lusuh di cermin yang ada di depan kamarnya. Tak ada pipi gembil, badannya kini menjadi kurus kering.
Bersambung ....