Ternyata lapangan itu lebih bagus dari dugaannya. Bahkan mereka yang mencaci panitia seakan merasa lega. Lapangan futsal indoor dengan kualitas seperti lapangan yang sering digunakan saat turnamen.
"Sekarang setiap kelompok duduk berbaris seperti tadi. Untuk urutannya siapa yang duluan akan kami tentukan."
Setelah ditentukan, kelompok 'Ki Hadjar Dewantara' mendapat tempat paling akhir. Satu persatu kelompok dipanggil. Mereka kembali duduk berbaris seperti di lapangan tadi, hanya saja lapangan futsal tetap tak bisa menampung mereka semua jika mahasiswa baru berbaris ke belakang. Kebetulan Fahrizul dengan beraninya mengajukan diri.
"Kak, kelompok kami duduk berbanjar di belakang aja, ya. Daripada baris kayak tadi tapi malah pada kesempitan."
Panitia itu tersenyum senang. Ia mengijinkan kelompok Arya duduk di barisan belakang.
"Zul, ngapain kau milih duduk paling belakang?" tanya Fahmi.
"Kalian harusnya bangga. Duduk di belakang bisa sandaran sama tembok. Kalian mau duduk berjam-jam di sini sampai sore tanpa bersandar sesuatu? Aku sih mending pulang," kata Fahrizul.
"Hahaha. Benar juga. Nggak salah aku dulu yang milih kau jadi ketua," kata Fahmi, Fahrizul terkekeh seraya menundukkan kepala. Kemudian mereka duduk santai, bersandar pada dinding bangunan seraya menghela nafas. Fahrizul, Fahmi dan teman kelompoknya mengeluarkan peralatan dari tas kardus. Arya menatap mereka seraya memiringkan kepala.
"Ngapain di keluarin semua barang kalian? Emang dipakai sekarang?" tanya Arya
Fahmi dan Fahrizul justru ikut kebingungan, kemudian mereka tertawa meledak. "Aku keluarin ya karena emang mau dipakai. Masak mau dibuang. Pertanyaan konyol, woii." Fahmi menepuk bahu Arya berulang kali. Arya hanya membulatkan mulutnya, membuka tas kardusnya, mengeluarkan peralatan yang telah ditentukan oleh panitia. Seketika Arya terpekik cukup keras, mengejutkan semua anggota kelompoknya.
"Yak, kau kenapa? Pagi-pagi jangan ngagetin orang dah!" seru Fahrizul.
Wajah Arya terlihat panik. "Duh, aku lupa bawa semua peralatanku."
"Ha!?" Fahrizul dan Fahmi terpekik keras daripada Arya. "Kok bisa? Hahaha. Emang nggak kamu siapin peralatannya kemarin?"
"Udah aku siapin di atas meja kemarin, cuma lupa aku masukin gara-gara kemarin ada panggilan mendadak dari temanku." Arya berusaha menutupi alasan sebenarnya.
"Aneh banget, lo. Masak kamu nggak merasa tas kardusmu ringan?"
"Ya nggak lah, peralatannya aja cuma benda-benda ringan. Malah nggak ada bedanya."
"Waduhh, nggak bisa bantu dah, mana peralatan yang aku bawa juga pas," kata Fahmi.
Fahrizul juga mengangguk. "Ya udah, Yak. Nanti kalo ditanya, jawab jujur aja. paling cuma dihukum. Aku punya kenalan kakak tingkat dulu juga gitu." Ia tertawa terbahak-bahak, sama sekali tak menghibur Arya.
"Udah pada keluarin peralatannya?" tanya kakak panitia. Mahasiswa baru melambaikan peralatan mereka tinggi-tinggi. Namun salah satu panitia melihat Arya sama sekali tak membawa.
"Adek yang di belakang itu kenapa nggak nunjukkin peralatannya?"
Arya langsung terbeliak, keringat dingin berjatuhan, tak tahu mendapat hukuman seperti apa yang akan diberikan oleh panitia.
Arya tetap membisu, panik, menundukkan kepala disaat semua orang di lapangan futsal menatapnya, termasuk Zia.
Fahrizul pun akhirnya bersuara, "Eh, Yak. Jujur aja sana daripada kamu dihukum? Emang mau?"
"Mana mungkin aku mau jujur. Kayak nggak tahu aja. Jujur atau nggak tetap saja dihukum. Namanya juga 'permainan'," kata Arya bisik-bisik.
"Permainan apa coba? Udah dikasih tahu jelas-jelas kemarin pas pembekalan kalau acara ini murni nggak ada kekerasan..."
Saat mereka sedang asyik berbicara, Ketua Ospek Divisi Olahraga memarahi mereka melalui mikrofon yang ia pegang. "Hei, kalian! Kenapa malah ngomong sendiri. Kamu itu, lo!" ketua itu menunjuk Arya. "Kalau ditanya jawab, bukan asyik ngobrol sama temannya!" Ketua itu sangat marah, wajahnya memerah, tatapannya galak. Ia kesal pertanyaannya diabaikan oleh Arya.
Tak lama, salah satu panitia datang, mendekati Arya, "Kamu kenapa nggak nunjukkin peralatanmu? Kamu lupa bawa?"
Arya sekali lagi memandang temannya. Fahrizul mengangguk, memberi isyarat agar ia jujur pada panitia. Arya melempar pandangan ke panitia itu, mengangguk, "Iya kak. Saya lupa bawa."
Kemudian panitia itu berseru dengan lantang, "Adik ini lupa bawa peralatannya!" Tubuh Arya masih gemetar, kakinya tremor sesaat. Ketua itu mengangguk seraya membulatkan mulutnya.
"Ohh, lupa bawa. Kalau begitu sini maju ke depan, dek," ketua menganggukkan pergelangan tangannya, menyuruh Arya mendekatinya. Namun Arya tertegun, kembali menatap ke bawah.
"Nggak usah takut. Maju aja dulu. Nggak akan diapa-apain kok," kata panitia itu, membujuk Arya agar tetap tenang. Menghela nafas panjang, Arya bangkit, berjalan dengan memutari setengah lapangan karena tak ada jalan yang terbuka selain itu.
Zia yang berada di kelompok lain, terkekeh pelan sambil bergumam. "Hahaha. Syukur kau, Yak! Kena marah kan jadinya, wkwkwk!" Tak mampu menahan tawanya, kelompoknya pun memandang Zia penuh pertanyaan.
"Lu kenapa, Zi? Ketawa-tawa sendiri."
"Nggak papa. Aku cuma menertawakan teman SMA-ku yang habis dimarahi," jawab Zia. Temannya kembali menatap Arya, dengan tatapan datar.
Arya sangat kesal. Ia kira ospek tahun ini tak ada kekerasan dan hukuman. Namun itu semua bualan agar mereka, para mahasiswa baru semakin semangat dalam mengikuti acara ospek ini. Faktanya, ia habis terkena omelan dari Ketua Ospek Divisi Olahraga meski itu kesalahannya sendiri yang mengabaikan pertanyaannya.
Namun Arya lebih kesal pada Zia, yang semalam mengajaknya kumpul-kumpul dengan orang asing sampai ia lupa menyiapkan peralatan kampus. Tak hanya itu, sebab acara semalam, ia bahkan tadi bangun kesiangan yang hampir membuatnya terlambat mengikuti sesi pembukaan. Belum lagi masalahnya muncul belakangan ini, seorang gadis yang terpaksa menuruti permintaan temannya agar bisa dekat dengan Zia.
Perasaannya campur aduk. Ingin sekali ia berteriak sambil memukul orang yang ada di depannya. Belum lagi ia sadar jika Zia saat ini masih menertawainya.
Sampai di hadapan ketua, Arya memandangnya dengan tatapan melas.
"Kamu kenapa nggak bawa peralatannya?"
"Maaf, kak. Saya telah menyiapkannya, namun lupa memasukinya ke tas kardus. Semalam saya ada acara yang tak bisa ditinggalkan," kata Arya, setengah jujur setengah mengada-ngada.
"Ohh, begitu. Kakak ingatkan, ya. Jika ada acara yang penting, setidaknya kamu menyiapkan semuanya dan langsung kamu masukkan ke dalam tas kalau kamu orangnya memang sering lupa. Sekarang kamu sendiri kan yang susah?"
Arya mengangguk pelan. Ketua itu menaruh mikrofon yang ia pegang di atas sound system, berdiskusi dengan para panitia lain. Kemudian ia kembali dan memberitahu Arya.
"Kakak lupa menanyakan namamu."
"Arya Chayton, Kak."
"Nahh, Arya, Sekarang kamu nggak usah takut. Ospek ini benar-benar nggak ada kekerasan sama sekali. Kamu cukup duduk di sana, sama kakak Mahasiswa Pendamping. Nanti kakak panggil lagi sebelum jam istirahat."
Arya mengangguk pelan, dan meninggalkan lapangan, duduk di tribun.