Dalam kegelapan malam, seorang pria tengah memacu kudanya. Kuda hitam itu melesat melewati ilalang dan akar-akar yang menyembul ke permukaan. Rahang pria itu mengeras. Matanya memerah karena emosi yang membuncah.
"Berhenti!" teriakan dari seorang gadis membuat pria itu menghentikan laju kudanya secara tiba-tiba. Ringkikkan kuda hitam itu memecah kesunyian malam.
"Untuk apa kau menghalangiku?! Tidak cukupkah atas apa yang kau lakukan padaku, heh?" Pria itu berucap. Nada bicaranya syarat akan kekecewaan yang teramat sangat.
Gadis yang sebelumnya menghadang kuda tadi, berjalan mendekat. Rambut indahnya tersibak oleh angin yang berhembus di hutan ini. Gadis berambut hitam itu menatap mata pria berambut sebahu tadi. Sorot matanya teduh.
"Maafkan aku, Kakang! Aku tak bermaksud mengkhianatimu." Gadis itu berkata pelan. "Aku terlalu terbuai oleh rayuannya," lanjutnya lagi. Kini dengan wajah tertunduk lesu. Setetes air mata berhasil lolos dari mata indahnya. Segera ia mengusap kasar air mata itu.
Pria bertubuh tegap tadi, turun dari kudanya. Ia memegang kedua lengan gadis yang tertunduk di hadapannya. Ia mengangkat dagu gadis itu, membuat pandangan mereka saling bertemu.
"Kalau ini membuatmu bahagia, aku rela," ucap pria itu lembut. Emosi yang tadinya meluap-luap, kini hilang begitu saja. Cintanya tak sekejam itu. Cintanya terlalu suci dan kuat sehingga mampu mengalahkan amarahnya.
"Terima kasih, Kakang Kamandanu."
Gadis itu bersandar ke dada bidang pria kekar yang bernama Arya Kamandanu itu.
"Sekarang berbahagialah dengan kakakku, Nari Ratih. Kalau Arya Dwipangga berani melukaimu, percayalah, aku akan datang untuk menyelamatkamu."
Kamandanu menepuk pelan lengan Ratih. Gadis yang sangat ia cintai, namun kakaknya yang bajingan telah merebutnya.
"Terima kasih, Kakang Kamandanu."
Ctik!
Saluran TV tiba-tiba dimatikan, Pemirsa. Yuji menggeram kesal pada si pelaku.
"Apa yang lu lakuin sih, Ji?" teriak Yuji. Mata sayunya menyorot tajam pada pria yang masih berdiri di samping meja.
"Hey! Panggil gua 'Bang Siji', Ogeb!" ketus Siji sambil tersenyum tengil.
"Hasshh!" Yuji menghela napas kasar. "Yang benar aja si, Ji? Lu selalu nyoba buat jadi kakak besar terus. Lu itu hanya lima menit lebih tua dari gua, dan gua udah bosan manggil lu Abang lagi, Ji!" Yuji berdrama, lalu meninggalkan kakaknya yang masih termangu.
Tak mengerti akan sikap adik kembarnya yang sok melankolis itu, Siji hanya menatap punggung Yuji yang semakin menjauh.
"Dasar aneh! Biasanya juga lu nyantai aja gua recokin," gerutu Siji
Ia kini duduk di tempat sebelumnya Yuji berada. Ia mengambil remot dan menonton serial kolosal Tutur Tinular yang ditonton Yuji tadi.
***
Di sebuah kafe tak jauh dari kediaman Pradhika, Yuji kini berada. Melamun sambil minum wedang jahe. Iya, dia kan anak baik, tidak boleh minum minuman bercafein. Sebenarnya, itu memang karena Yuji punya maag saja sih.
"Eh ada calon kakak ipar!" sapa sosok yang menyebalkan dari belakang. Adalah Zaenab, pacar dari Reiji, adiknya Yuji.
Yuji menghela napas panjang. Padahal ia kan ingin menyendiri. Tapi kenapa juga pacar Reiji yang menyebalkan itu muncul?
Tanpa dipersilahkan, Zaenab duduk begitu saja di kursi yang berada di hadapan Yuji.
"Kenapa, eum? Muka kamu kumal amat kayak cucianku yang numpuk," celoteh Zaenab. Kini ia memanggil pelayan untuk menghidangkan bajigur untuknya.
"Lu pernah ngerasain selalu jadi nomor dua gak, Zae?" ucap Yuji. Tatapannya kosong. Tangannya memutar-mutar sendok yang berada di gelasnya.
"Hmm... jadi nomor dua ya?" Zaenab bergumam lirih sambil memijit dagunya. Ya, seperti pose mikir begitulah.
"Sejauh ini sih belum pernah, Bang. Memang kenapa?" tanya Zaenab lagi. Kini sambil menopang dagu, menunggu jawaban dari pria yang berwajah imut, mirip kekasihnya itu.
"Selama ini gue selalu jadi nomor dua dalam segala hal. Dia selalu lebih unggul dari gue. Gue akui dia emang payah dalam segala hal, tapi kadang gue masih ada rasa iri padanya. Dia mampu mengatasi segala hal. Terkadang gue emang suka dzolim sih sama dia, tapi anehnya dia gak pernah benci sama gue. Kan aneh, Zae?" ucap Yuji, masih dengan mengaduk-aduk wedang jahenya.
"Terus apa yang mesti di-iriin, Bang?"
"Ya kagak ngerti, pokoknya gue iri aja gitu sama dia. Gak ada alesannya," terang Yuji kembali.
"Heh? Dia siapa?"
"Eh?" Yuji tersadar dari lamunannya. Ia tak bermaksud berkata apapun awalnya, namun entah kenapa tanpa sadar ia malah curhat hingga sejauh ini.
"Dia siapa, Bang?" Zaenab mengulang pertanyaannya.
"Dia ... dia ... hahaha ... dia siapa ya? Gue lupa tadi ngomongin siapa hahaha abaikan saja!" Yuji terlihat panik. Ia mengaruk tengkuknya untuk menutupi kegugupannya.
Pesanan datang. Zaenab mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanannya. Pandangan Zaenab beralih lagi ke arah Yuji. Dilihatnya Yuji itu meneguk sekaligus wedang jahe yang masih panas. Zaenab terkekeh melihat Yuji membuka mulutnya lebar-lebar karena lidahnya terasa terbakar.
"Apa Bang Yu menyayangi dia?" tanya Zaenab.
"Heh?" Mata Yuji membulat. Ia tak menyangka saja, curhatannya tadi begitu menarik perhatian Zaenab.
"Aku belum tau pasti siapa yang Bang Yu maksud. Tapi, jika Bang Yu tetap diam dengan sikapnya yang seperti itu, berarti Abang begitu menyayanginya, benar?" tebak Zaenab.
Yuji kembali menghela napas panjang. Punggungnya ia sadarkan ke sandaran kursi, sedang padangannya kini beralih ke awang-awang. "Gue sama Reiji sayang sama dia sebenernya," ucap Yuji lirih. Namun, Zaenab masih dapat mendengarnya.
"Baiklah, aku sudah tahu yang Bang Yu maksud." Zaenab tersenyum sok misterius. Sedetik kemudian Zaenab merogoh saku celana jeans-nya. Ia mengambil sesuatu dari situ dan menggenggamnya.
Zaenab memamerkan kepalan tangan yang berisi sesuatu pada Yuji. Detik berikutnya, Zaenab membuka kepalan tangan yang ternyata berisi sebuah koin.
Yuji memutar bola matanya, malas. Apa-apaan maksud cewek adeknya itu? Mau nyawer, heh?
"Bang Yu lihat koin ini?" Zaenab menunjukkan koin lima ratusan warna putih itu ke dekat mata Yuji.
Yuji masih diam memperhatikan gadis yang duduk di hadapannya itu.
"Bang Yu dan 'dia' ... eum kita kudu buat perumpamaan. Mungkin 'dia' di sini kusamarkan namanya jadi 'Sithok' aja, ya?"
"Pffttt ... buwahahaha gak ada perumpamaan yang keren dikit gitu?" Yuji tertawa terbahak-bahak mendengar kata 'sithok'.
"Nama itu seksi banget menurutku, Bang. Baiklah ... aku akan mengumpamakan Bang Yu dan si Sithok ini layaknya koin ini.
Kalian adalah 2 mata koin di tiap-tiap sisi. Sejak awal selalu terkait dan saling melukai satu sama lain tanpa sadar. Saat satu sisi terlihat, sisi yang lain harus menutup. Saat satu berada di atas, yang lain hanya harus menunggu di bawah.
Walau begitu, kalian adalah satu. Satu yang saling terikat dan saling bergantung. Mungkin ada kalanya saat si Sithok lebih unggul dari Bang Yu. Mungkin juga selama ini Bang Yu merasa begitu tersiksa terjebak dalam situasi seperti itu. Situasi selalu menjadi nomor dua.
Tapi percayalah, itu adalah cara Tuhan membuat Bang Yu jadi spesial. Dan aku yakin suatu saat nanti Bang Yu akan menjadi yang nomor satu, walau itu hanya bagi segelintir orang. Jadi, terimalah takdirmu, Bang.
Jangan terus mengeluh!"
Penuturan panjang lebar dari Zaenab membuat Yuji termenung sesaat.
"Yosh! Kau benar juga, Zae. Mulai saat ini aku nggak akan iri lagi sama si Sithok itu?" ucap Yuji dengan penuh semangat.
Yuji menatap Zaenab lekat. Sekarang ia tahu kenapa Reiji cinta pada gadis yang ia kira menyebalkan itu. Gadis ini tidak buruk juga, pikir Yuji.
Ia langsung menggelengkan kepala, kasar. Mengenyahkan pikiran rendahan itu. Ia tak ingin menjadi sosok Dwipangga yang merebut kekasih saudaranya sendiri. Yuji kembali menghela napas panjang saat ia rasa mampu menghilangkan pikiran nista tadi.
Zaenab tersenyum lembut. Senyum yang membuat Yuji terbuai kembali.
'Oh tidak! Selamatkan aku dari godaan musang betina ini, Ya Tuhan!' jerit Yuji dalam hati.
"Memang kalian bertengkar masalah apa lagi, eum?" tanya Zaenab lembut. Ia jadi mengingat adiknya. Sering kali Zaenab bertengkar juga dengan adiknya.
"Hanya masalah Sithok matiin serial kesukaan gua sih."
"Apa? Hanya gitu doang Abang sampai galau segitunya? Kenapa hidup Bang Yu penuh drama sekali, heh?" gerutu Zaenab.
Yuji malah tersenyum tanpa dosa.
"Meski cuma begitu, tapi kesel tahu nggak, Zae. Gue bersumpah bakal balas itu si kutil biawak lusa pas tanggal satu," lirih Yuji disertai seringaian mengerikan.
Detik berikutnya, Yuji kembali menatap mata Zaenab. Perasaan terkutuk itu kembali muncul. Setelah ini, sepertinya Yuji perlu mandi keramas untuk menghilangkan pesona Zaenab yang sesaat ini.
Bersambung ....