Chereads / Athlete vs Academician / Chapter 20 - Menunggu Yang Tidak Pasti

Chapter 20 - Menunggu Yang Tidak Pasti

"Kenapa ketika mendribbling bola, Coach menghadap ke depan bukan ke bola? Apa tidak takut bola lepas dari penguasaan Anda? Dan satu lagi, kenapa badan kita harus sediki membungkuk ketika sedang mendribbling?" tanya mahasiswa baru itu. Nampaknya ia belum pernah bermain basket sejak dulu.

"Baiklah, akan bapak jawab. Pertama, kenapa kita harus mendribbling bola sambil menghadap ke depan adalah untuk menghindari serangan musuh dari depan. Coba bayangkan ketika kalian dribbling sambil menghadap bola. Pasti musuh akan menertawakan kalian dan menganggap pengalaman kalian dalam basket sangatlah minim. Kedua, basket adalah salah satu olahraga yang mengharuskan pemainnya untuk menghadap ke teman satu timnya ketika membawa bola. Hal itu bertujuan untuk mengetahui posisi teman kita agar saat mengumpan kita tak salah target dan mengakibatkan kesalahan yang fatal. Maka dari itu kalian tak bisa meremehkan teknik dasar ini. Pemain kelas atas sekali pun suatu waktu bisa melupakan gerakan dasar hanya karena mereka bisa melakukan teknik yang jauh lebih sulit."

"Bagi saya yang belum pernah bermain basket, pasti akan kesusahan ketika mendribbling tanpa melihat bola."

"Maka dari itu latihan solusinya. Jika kalian sering berlatih, kekurangan macam apapun pasti akan tertutupi jika kalian serius. Beruntung kampus kita memilki fasilitas untuk basket sendiri dan bisa digunakan setiap hari dan suatu waktu jika kalian ingin melakukan latihan sendiri. Jadi, gunakan juga fasilitas yang ada sebaik mungkin," kata sang pelatih pada anak didiknya.

"Siap, Coach!"

Disisi lain, Fajar, Zia dan Ardian, meski mereka berbeda jurusan namun mereka masih sering nongkrong bersama sembari membahas tentang kuliah mereka. Sekarang mereka berada di sebuah taman kampus, duduk di bangku panjang, membawa beberapa buku mata kuliah sembari menghadap air mancur modern.

"Arya kemana, ya? Dari tadi gak kelihatan. Mana dichat juga gak balas," kata Fajar sembari menatap layar handphone-nya. "Kau kan satu jurusan sama dia, Zi. Masak gak tahu Arya pergi kemana?"

"Emang kau pikir aku pacarnya. Selalu memberi kabar ketika pergi ke suatu tempat dan marah ketika tak mendapat kabar. Dasar stress. Aku memang satu jurusan, tapi aku beda kelas dengannya," balas Zia, suaranya sedikit ngegas.

"Hahaha. Santai dikit kenapa. Soalnya gak biasanya ia tahu-tahu menghilang. Biasanya ketika da pesan masuk, orang itu paling cepat responnya melebihi kecepatan suara," kata Fajar sembari bergurau.

"Mungkin masih ada jadwal kampus. Meskipun Arya bodoh dan selalu mendapat nilai buruk, tapi ia tak pernah main HP ketika ada pembelajaran," kata Zia sedikit membahas kelebihan Arya.

"Darimana kau tahu? Bukannya kalian berdua beda kelas?" tanya Ardian membantah.

"Arya memang bodoh dan tak berprestasi dalam dunia akademik, tapi ia terkenal karena prestasi basketnya. Siapa coba guru yang gak kenal muridnya ketika murid berhasil mengharumkan nama sekolah? Saat itu ada salah satu guru, tapi aku lupa nama beliau. Kata beliau, sekia banyaknya murid di kelas Arya, hanya 5 orang yang belum pernah tertangkap basah bermain handphone saat pembelajaran berlangsung, termasuk Arya. Fian, teman satu kelasnya dulu juga menceritakan hal itu padaku."

"Tak ketahuan karena ada kemungkinan Arya pintar memanfaatkan kelengahan guru dan bisa bermain HP di waktu itu. Makanya ia tak pernah tertangkap basah," kata Fajar juga ikut membantah.

"Terserah kalian saja. Kalau iri sama Arya, bilang aja. Gak usah menolak mentah-mentah apa yang aku sampaikan," kata Zia sembari menghela napas.

"Siapa yang iri coba, hahaha. Aku Cuma penasaran Arya sekarang lagi kemana. Ya udah, kalau gitu aku duluan. Habis ini masih ada mata kuliah semester atas," kata Fajar bangkit dari bangku sembari menggendong tasnya

"Lo, kau mengambil mata kuliah semester atas di semester perkuliahanmu? Kenapa buru-buru amat yang ambil?" kata Zia sedikit terbelalak, menatap Fajar. Handphone digenggamannya hampir terlepas.

"Iya nih sengaja ngambil mata kuliah semester atas biar cepet lulus juga. Tapi bukan itu rencanaku sebenarnya. Meskipun aku cukup ahli dalam matematika, tapi tetap saja tingkat kesulitan matematika SMA dan perkuliahan beda jauh. Jadi aku mengambil sekarang ketika nilaiku dibawah C, aku gak mengulang 2 tahun lagi, tapi di tahun berikutnya. Paham, kan?" tanya Fajar pada Ardian dan Zia.

"Jadi intinya kau gak mau mengulang mata kuliah di tahun berikutnya? Karena takut gak ada barengannya saat mengulang?" tanya Zia sembari memastikan apa yang dimaksud Fajar.

"Bukan gitu, eh gitu bukan, ya. Pokoknya gitulah. Susah juga dijelasin." Fajar sendiripun kebingungan dengan ucapannya sendiri. "Udah lah, aku duluan ya. Nanti malam kalau mau hangout bilang aja. Mumpung belum ada tugas dari dosen juga," kata Fajar sembari meninggalkan Ardian dan Zia.

"Lah, ketemu aja hampir setiap hari kok masih berharap ada yang ngajak kumpul. Aku aja bosan tiap hari ketemu kalian," kata Ardian mengungkapkan isi hatinya.

"Bosan-bosan pun kalau diajak kumpul kau pasti berangkat paling duluan, setan. Gak usah sok-sokan bosan dah." Zia memukul punggung Ardian.

...

Mahasiswa baru divisi basket membuat 3 barisan memanjang ke belakang. Satu persatu mahasiswa baru mendribbling bola di tempat selama satu menit. Setelah satu menit, bergantian teman di belakang mereka. Meski Arya dan Marlon memiliki kelebihan yang jauh lebih unggul dalam basket dibanding teman-teman mereka, pelatih tetap menyamakan latihan mereka untuk sekarang, mendribbling bola di tempat selama satu menit. Untuk pemula, mendribbling bola di tempat sangat berguna karena untuk tahap awal agar mereka bisa menyeimbangkan arah pantulan bola dari tangan. Hanya saja beberapa dari mereka belum terbiasa mendribbling bola basket sehingga pandangan mereka masih tertuju pada pantulan bola. Meski telah terbiasa, Arya tetap mendribbling dengan santai, menatap ke depan. Ia tak ingin show off di depan teman-teman barunya, terlebih lagi ini masih pertemuan pertama. Jika Arya Show off pun, itu bukan karena keinginannya sendiri, melainkan permintaan teman-temannya, merasa Arya telah dilahirkan untuk bermaim basket.

"Pritt!! Berhenti. Gantian dengan barisan selanjutnya," kata sang pelatih setelah meniup peluitnya.

Kemudian Arya mundur ke barisan paling belakang. Di samping barisannya, kini giliran Marlon melakukan dribbling. Sebelum peluit dibunyikan kembali, ia memantulkan bola perlahan layaknya sedang memanaskan tubuhnya, tangannya sedikit berkeringan gemetar karena harus tampil bagus di depan Arya, yang ia anggap sebagai rivalnya sejak SMA. Setelah peluti dibunyikan kembali, Marlon mendribbling bola itu sangat cepat. Bahkan dentuman antara bola dengan lantai kayu terdengar cukup kencang dan menggema, sedikit menggetarkan kaki mereka. Seketika pandangan para mahasiswa baru dan kakak tingkat tertuju padanya. Setelah memantulkan bola cukup keras selama 20 kali, ia mulai kepikiran hal berlawanan.