Chereads / Athlete vs Academician / Chapter 21 - Teguran

Chapter 21 - Teguran

Ketika para mahasiswa baru mendapat instrumen untuk mendribbling bola di tempat, Marlon dengan sengaja mendribbling sembari berlari. Spontan mereka semua terbelalak, menatap Marlon penuh kebingungan. Dengan cepat pelatih langsung meniup peluit sangat panjang, mendengungkan telingan mereka, terpekik. Arya tak tahan suara itu langsung menutup kedua telinganya dengan tangan sembari menundukkan kepala. Seketika Marlon menghentikan langkahnya, memegang bola basket itu, lalu teralihkan pandangannya ke suara peluit.

"Kau. Kenapa kau berlari sambil mendribbling? Bukannya aku menyuruh untuk diam di tempat?" tanya pelatih itu.

"Saya bosan pak, jika hanya mendribbling di tempat. Saya telah menguasai teknik itu," jawab Marlon merasa kesal.

"Bapak tak ingin mendengar alasanmu! Sekarang kembali ke tempat dan lakukan hal yang sama seperti teman-temanmu!" Suara pelatih itu cukup serak, memarahi Marlon yang bertingkah seenak jidatnya.

Menghembuskan napas panjang, Marlon kembali ke tempatnya, memulai dribbling di tempat semula. Arya dan Doni hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Marlon cukup random, hanya ingin show off di depan teman barunya. Setelah semua mendapat giliran mendribbling di tempat sebanyak dua kali. Kini pelatih sedikit melanjutkan ke teknik dasar dribbling berikutnya.

"Setelah bapak amati dari luar lapangan, sebagian besar dari kalian telah menguasai teknik dribbling di tempat tanpa melihat bola. Untuk yang belum terbiasa dan bola masih sering lepas saat mendribbling di tempat, bisa keluar dari barisan dan mengambil bola di keranjang bola," kata sang pelatih. Marlon pun langsung mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Spontan pelatih itu langsung memandang Marlon.

"Ada apa, Marlon? Apa kau ingin ke kamar mandi?" tanya pelatih itu.

"Bukan, Coach. Kenapa mereka yang belum bisa malah disingkirkan dari barisan. Kenapa tidak dilanjutkan dengan latihan yang sama dengan mereka yang bisa mendribbling di tempat?" tanya Marlon, membantah keputusan pelatihnya. Doni pun seketika terbelalak, napasnya tertahan sejenak. Sejak ia mengikuti UKM divisi basket dan menerima mahasiswa baru setiap tahunnya, baru kali ini ia melihat mahasiswa baru langsung membantah perintah pelatihnya. Terlebih lagi di pertemuan pertama mereka.

Pelatih itu hanya tertawa di tengah-tengah lengangnya suasana. Para mahasiswa baru pun hanya saling memandang sembari menganggkat bahu mereka.

"Kau ini memang menarik, Nak," kata pelatih itu masih tertawa. "Coba tanyakan pada Doni. Kenapa aku memisahkan mahasiswa yang belum mahir dari mahasiswa lainnya," kata pelatih sembari memandang Doni, diikuti mahasiswa baru lainnya termasuk Arya dan Marlon

"Pelatihan basket di kampus kita memang begitu, adik-adik sekalian. Mahasiswa yang belum mahir dalam dunia basket, sekeras mungkin akan dilatih dan dididik oleh pelatih-pelatih dan kakak tingkat lainnya. Maka dari itu mereka dipisahkan dari mahasiswa lainnya agar mereka bisa menguasai mendribbling tanpa melihat bola terlebih dulu sampai bisa. Jika tidak bisa, maka mereka tak diperbolehkan lanjut ke tahap berikutnya sampai benar-benar menguasai teknik dasar sebelumnya. Kurang lebih seperti itu," jelas Doni pada mahasiswa baru. Sang pelatih pun hanya mengangguk pelan.

"Jadi, Anda sengaja memisahkan mereka sampai mereka benar-benar menguasai teknik dasar? Gila, keren abis! Aku baru tahu ada sistem latihan kayak gini. Saat aku mengikuti sebuah klub basket ketika selesai melakukan teknik dasar, pelatihnya langsung melanjutkan teknik dasar berikutnya meski beberapa dari mereka belum menguasai teknik sebelumnya. Gila, gila!" Disaat mahasiswa baru lainnya sedang memahami perkataan Doni, Marlon heboh sendiri, terkagum-kagum mengetahui pelatihan di kampus ini.

"Hahaha. Memang begitu caraku melatih para mahasiswa. Dalam dunia olahraga, menguasai teknik dasar itu sangatlah penting. Jika aku membiarkan muridku tak bisa menguasai teknik dasar dan melanjutkan latihan ke teknik dasar lainnya, lalu akan jadi apa UKM divisi basket ini?" kata sang pelatih.

Para mahasiswa baru, termasuk Arya seketika senang. Mereka yang awalnya hanya iseng mengikuti UKM divisi basket, seketika bersemangat dan mulai serius mengikuti UKM ini setelah mengetahui pelatih mereka benar-benar ingin anak didiknya dilatih sebaik dan sekeras mungkin sampai bisa.

Kemudian mereka yang belum menguasai dribbling di tempat, keluar dari barisan, mengambil bola di keranjang bola dan mulai berlatih sendiri, sebab pelatih telah memberitahu mereka secara teori dan praktek. Tinggal bagaimana para mahasiswa baru membiasakan diri untuk latihan.

Karena masih pertemuan pertama, pelatih menyudahi latihan hari ini, dan melanjutkan latihan mereka keesokan harinya. Sebelum meninggalkan lapangan, para mahasiswa dan pelatih berkumpul, mengevaluasi latihan mereka hari ini.

"Sebelum kalian meninggalkan lapangan, bapak ingin memberitahu kalian. UKM divisi basket kampus latihan dari hari senin sampai sabtu. Jika kalian ada jam kuliah di sore hari, kalian diperbolehkan izin melalui grup WhatsApp. Bapak harap kalian serius mengikuti UKM ini sebab tak banyak mahasiswa lama mau bertahan dengan sistem pelatihan bapak yang sangat keras. Tapi itu semua kembali pada kalian. Usaha kalian suatu saat pasti akan membuahkan hasil," kata pelatih itu mengingatkan hal terpenting pada mahasiswa baru.

"Baik, Coach!"

Kemudian para mahasiswa baru meninggalkan lapangan basket setelah menaruh bola-bola basket ke keranjang bola. Setelah Arya keluar dari lapangan, Marlon berdiri di depan GOR seorang diri. Lantas Arya tak sengaja menghampirinya.

"Kau ngapain masih disini?" tanya Arya tanpa menyebut namanya.

"Oh, Arya. Lagi nunggu jemputan nih. Aku gak bawa motor hari ini," balas Marlon pandangannya masih tertuju pada layar handphone-nya.

"Rumahmu daerah mana emangnya?" tanya Arya penasaran. Marlon pun memberitahu alamat rumahnya.

"Rumahmu cukup jauh juga. Bukankah memakan waktu banyak dari rumahmu menuju kampus?"

"Hahaha. Kau benar, Arya. Sekitar satu jam, mungkin." Marlon menebak-nebak, ragu memberikan jawaban yang pasti.

"Mau aku antar?" Arya tiba-tiba menawarkan bantuan, membuat Marlon terbelalak sembari terperanjat singkat.

Marlon merasa senang mendapat tumpangan dari Arya, tapi karena ada fakta yang ingin Marlon sembunyikan dari Arya, ia tak bisa menerimanya begitu saja. Ia belum siap mengungkapkan hal itu padanya karena belum siap mental.

"Sejujurnya aku sangat senang kau memberiku tumpangan. Entah transportasi apapun yang kau punya, pasti akan aku terima dengan senang hati. Tapi aku sangat menyesal karena tak bisa menerima tawaranmu. Lagi pula aku tak langsung mengunjungi rumah, masih ada tempat ang ingin aku datangi. Daripada aku merepotkanmu, aku lebih baik menunggu orang tuaku saja," kata Marlon sembari tersenyum paksa, menutupi kebenarannya.

Meski begitu Arya sama sekali tak merasakan mencurigakan apapun darinya. "Oh, baiklah jika kau memaksa. Nampaknya aku juga harus buru-buru pulang. Aku masih ada latihan malam hari." Arya mulai melangkahkan kakinya, berjalan menuju parkiran motor.

Mendengar kalimat terakhir darinya, Marlon kembali terbelalak. "Latihan malam hari? Jangan bilang kau masih berlatih basket di rumah?" tanya Marlon memastikan, suaranya sedikit melengking.