Dengan polosnya Arya mengangguk pelan. "Seratus untukmu, Marlon. Latihan hari ini masih terasa kurang bagiku. Apa kau puas jika berlatih hanya latihan dribbling saja? Aku tak tahu sekeras apa Coach melatih kita ke depannya. Tapi yang jelas jika latihan di bawah bimbingannya masih terasa kurang, aku akan melanjutan latihan di rumah. Meskipun malam-malam, bukan masalah besar bagiku."
"Apa kau setiap hari kau memang latihan sekeras ini?" tanya Marlon penasaran dengan jadwal latihannya.
"Kalau dibilang tiap hari, udah pasti mustahil. Karena ada masanya aku menghabiskan satu hariku untuk bermain game dan membaca komik. Tapi hampir setiap hari aku melakukan latihan dari pagi sampai menjelang petang. Yahh, kalau dirata-rata 8-9 jam per hari. Itu jika hari libur, ya," sahut Arya, wajahnya sama terlalu datar. Seakan ia tak bangga dengan kerja kerasnya sejauh ini.
"Gila! Pantas saja kau bisa bermain lebih baik dariku. Jam latihanmu saja sangat gila. Meski aku suka berolahraga, tapi aku memiliki fisik yang lemah. Saat pertandingan, aku tak bisa bermain full 40 menit sekalgus. Bermain 20-25 menit saja terkadang napasku tersengal-sengal dan kesadaranku seakan melayang. Kalau membalas latihan, sebenarnya aku bisa bermain lebih lama namun banyak jug waktu istirahat untuk mengatur pernapasanku."
"Jangan bilang kau..." Ketika Arya ingin bertanya, tahu-tahu saja mata Marlon tertuju pada mobil yang menjemputnya.
"Maaf telah memotong pertanyaanmu, Arya. Kau bisa menanyakannya besok atau lain waktu. Kalau begitu aku pulang dulu, ya. Kau juga pulang sekarang. Hari mulai semakin gelap. Orang tuamu pasti akan mencarimu jika kau terlalu lama di kampus."
Arya terkekeh mendengar kepeduliannya. "Terima kasih, Marlon. Sampai bertemu besok." Kemudian Arya membalikkan badan, menuju parkiran motor dan pulang ke rumahnya.
Setelah menaruh motor di garasi dan memasuki rumah, Arya disambut oleh ibunya.
"Selamat malam, Nak. Kau darimana saja? Kau pulang terlambat hari ini," tanya ibunya khawatir.
"Aku kan sudah bilang kemarin sama ibu, kalau aku mulai sekarang sering pulang terlambat karena ikut UKM basket. Latihannya cukup keras, jadi memang membutuhkan waku sampai sore bahkan menjelang malam."
Ibunya membulatkan mulutnya sembari menghela napas lega. "Ya udah, kamu mandi aja dulu. Kamu pasti lapar, kan? Ibu hampir selesai masak."
Arya mengangguk, menuruti perkataan ibunya. Menaruh tas di kamarnya, mengambil handuk di jemuran lalu menuju kamar mandi. Arya memiliki badannya yang tak terlalu ideal untuk ukuran pemain basket. Ia melepas seragam basketnya, melemparnya ke ember khusus pakaian kotor yang terletak di samping pintu kamar mandi. Karena di dalam pintu kamar mandi ada cermin, Arya hampir setiap mengaca sebelum dan sesudah mandi untuk mengamati perkembangan tubuhnya sejauh ini
Meski Arya sering melatih fisik (body building), berat badannya tak pernah mencapai angka 60kg. Dulu pernah mencapai 59 kg, itu pun saat liburan menuju perkuliahan yang mana ia mendapat waktu liburan selama 3 bulan. Kesehariannya hanya bermain basket di halaman rumah, makan, dan melakukan kegiatan no life lainnya. Namun untuk tinggi badannya bisa dikatakan ideal untuk ukuran laki-laki, tak terlalu tinggi namun juga tak terlalu pendek, sekitar 175 cm. Meski semua latihannya seakan tak membuahkan hasil, Arya hampir tak pernah melewatkan hari-harinya untuk bermain basket.
Waktu libur dan waktu sekolah, baginya sama saja. Semepet apapun waktunya, pasti ia sempatkan untuk bermain basket, entah hanya sekedar latihan dribbling atau shooting. Arya bukanlah pemain basket amatir. Ia telah bermain basket sejak SMP dan hampir sepenuhnya menguasai segala teknik basket. Jika seseorang sudah paham dengan tekniknya, yang dilakukan hanyalah giat berlatih agar tangannya tak kaku dan terbiasa melakukan gerakan sulit.
"Hmm... postur tubuhku gak jelek juga. Lumayan lah, ya," gumam Arya sembari mengamati tubuhnya di depan cermin, tak ada penyesalan.
Setelah mandi, Arya kembali menuju kamar dan setelah menggunakan baju rumah, ia langsung menuju meja makan. Disana ayah dan ibunya telah menunggu Arya, duduk di kursi makan, sembari menonton televisi.
"Lo, Kak Sherla belum pulang, ya?" tanya Arya sembari menoleh kanan kiri, mencari saudara sepupunya.
Ibunya menggelengkan kepala. "Belum, Yak. Sherla masih ada urusan kerjaan di kantor. Ia bilang lembur malam ini dan pulang sekitar jam 12 malam."
"Malam amat. Hampir setiap hari Kak Sherla lembur," kata Arya mengakhiri pembicaraan. Kemudian Arya bersama keluarga kecilnya makan bersama sembari menyaksikan televisi. Satu dua kata keluar dari mulut ibunya yang masih penuh makanan.
"Arya, kamu besok juga latihan basket sampai malam?" tanya ibunya.
"Kalau sampai kapannya belum tahu, bu. Soalnya kalau latihan basket kayak gitu waktunya gak pasti. Ibu ingatkan waktu aku SMA, latihannya kadang sampai jam 8 malam," balas Arya memberitahu ibunya mengenai kegiatan basketnya.
"Memangnya kalau kayak gitu gak dijadwal, ya?" ibunya bertanya kembali. "Dulu ayahmu saja saat mengikuti UKM sepak bola, ia sering pulang sesuai jadwal dan tak pernah sampai malam-malam kayak kamu. Jangan bilang kamu sedang berbohong dan memanfaatkan waktu itu untuk bermain dengan pacarmu?" Mendadak ibunya langsung menuduh Arya tanpa bukti.
Seketika Arya menghentikan tangannya yang hampir memasuki sesendok nasi dan lauk ke mulutnya. "Mana ada, bu. Aku emang latihan basket sampai malam. Tanya aja sama temanku kalau gak percaya. Lagi pula sejak kapan aku punya pacar? Jika punya, sudah pasti aku ketahuan walau aku tak memberitahu ibu. Udah dari dulu aku emang gak niat punya pacar, kecuali..." Arya sontak menutup mulutnya dengan memasukkan nasi dan lauk ke mulutnya.
"Kecuali apa, hayo?" ayahnya ikut menjahili Arya.
Arya mendadak panik, keringatan, bingung mencari jawaban. Namun mulutnya spontan berkata. "Kecuali kalo aku gak jatuh cinta sama basket. Mungkin akan beda cerita," balas Arya sembari meringis lebar.
Mendengar jawaban Arya, ibu dan ayahnya sama sekali tak terhibur. Mereka seketika terdiam dan melanjutkan makan malam hingga tak ada satu butir tersisa di piring mereka, lalu meninggalkan meja makan. Arya seketika terpaku diam, se-awkward itukah jawabannya sampai kedua orang tuanya buru-buru menghabiskan makan malam mereka.
Dengan pikiran kosong, Arya menghabiskan makan malamnya cepat-cepat, lalu kembali ke kamar setelah mencuci piring dan sendok yang ia gunakan. Jam di handphone-nya menunjukkan pukul 07:30 malam. Meski begitu masih terlalu sore bagi Arya namun bukan berarti Arya suka begadang. Sambil menunggu makanannya dicerna baik, ia baru teringat jika ingin melakukan latihan di malam hari. Spontan ia langsung melempar handphone-nya ke atas kasur.
Kemudian Arya keluar dari kamar dan menuju gudang, mengambil bola basket dan sepatu di rak sepatu, lalu menuju halaman belakang rumah tanpa memberitahu kedua orang tuanya.