Chereads / Athlete vs Academician / Chapter 26 - Bukan Pujian

Chapter 26 - Bukan Pujian

Namun ketika hendak melangkahkan kakinya menuju kelas, ia melihat Arya baru saja datang dengan santainya. Memarkirkan motor pun ia sangat tenang seakan tak ada beban di pikirannya. Sontak Zia langsung mendekati Arya yang baru saja melepas helm pengaman.

"Yak, kamu tumben baru datang? Bangun kesiangan juga?" tanya Zia wajahnya terlihat sedikit mulai lega ketika ia melihat Arya juga hampir terlambat.

"Jangan samakan aku denganmu, dasar pemalas. Aku sengaja datang terlambat karena dosen kelasku kemarin memberitahu jika akan datang terlambat," balas Arya, tak ingin disamakan dengan temannya. "Lalu bagaimana denganmu? Apa kau bangun lebih siang dari biasanya?"

"Yah, begitulah. Tadi pagi sempat ada konflik sama ibuku. Tapi biarin lah, namanya juga keluarga."

"Aku jadi kasihan sama ibumu. Punya anak gak beres gini. Mana susah diatur pula" kata Arya, nadanya seakan menghina Zia.

"Oh gitu mainnya sekarang. Udah mulai mengejek, ya." Zia mengangguk sembari membulatkan mulutnya. Namun ia sama sekali tak memiliki dendam atau amarah karena ia tahu Arya hanya bergurau.

"Udah, nanti lanjut lagi. Aku mau ke kelas dulu," kata Arya sembari turun dari motornya yang ia duduki sejak tadi.

"Eh bentah. Aku mau ngomong soal kemarin malam. Kan kamu gak mau datang," kata Zia, tiba-tiba menghalangnya.

"Nanti aja kalau mau ngomong. Kau memang gak ada kuliah? Bukannya kemarin kau bilang jam setengah delapan ada jadwal kuliah?" tanya Arya.

Zia mengangguk sembari berdeham. "Kau benar, mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Tapi dosennya gak enak. Tatapannya aja udah kayak pembunuh. Gak teman kelasku yang suka sama dosen itu," kata Zia, sedikit curhat.

"Terus aku harus apa? Memukul dosenmu itu dan mengeluarkannya dari kampus? Maaf saja, aku tak bisa melakukan hal semacam itu. Bisa-bisa aku yang dikeluarkan dari kampus." Kemudian Arya berjalan menuju gedung fakultas. "Kalau mau cerita nanti aja, aku habis ini gak ada mata kuliah lagi sampai jam 1 siang."

Zia tak merespon dan hanya menatap Arya yang berjalan menuju gedung fakultas.

Tak lama kemudian Fahrizul dan Fahmi datang, menyambar dan mengejutkan Arya. Sontak Arya terkejut konyol.

"Hayo, mau kemana pagi-pagi begini? Padahal dosennya udah bilang kalau datangnya bakal terlambat," kata Fahrizul sembari menjalarkan tangannya di belakang leher Arya.

Fahmi pun juga ikut mengusilinya. "Jujur aja, Yak. Ada apa nih? Kok jam segini udah datang? Mau ketemuan sama cewek?"

"Ceweknya siapa, setan! Baru aja seminggu masuk kampus kok udah langsung punya pacar," bentak Arya, ia menjauhkan tangan Fahrizul dari lehernya, merasa geli.

"Ya, siapa tahu udah punya ya, kan," kata Fahrizul sembari menatap Fahmi, seakan mereka terlihat kompak menjahili Arya. "Kelas sebelah aja masih mahasiswa baru udah punya pacar, mana pacarnya kakak tingkat, cantik pula. Jadi iri aku."

"Hahaha, iya nih. Mana kakak tingkat yang itu pintar. Setiap semester IP-nya pasti dapat cumlaude." Fahmi menambahkan, setuju dengan pendapat Fahrizul.

"Gak mungkin aku bisa kayak gitu. Baru ketemu beberapa kali langsung jadian. Semudah itukah jatuh cinta sama orang lain?"Arya bergumam terlalu keras, sehingga kedua temannya mendengar apa yang ia katakan.

"Ya mungkin kamu kurang beruntung, Yak. Giliran ada yang mau sama kamu, tapi kamu-nya justru gak mau. Giliran kamu suka sama satu orang dari dulu, tapi orang itu sampai sekarang gak ada kepastian hingga sekarang. Kalau kayak gini terus, kamu gak bakal punya pacar," jawab Fahrizul, kemudian menguap lebar-lebar masih merasa ngantuk.

"Izul benar, Yak," Fahmi menyela, nadanya terdengar telah siap memberi sebuah masukan pada Arya. "Kalau kau terus menolak semua cewek yang suka kamu, aku yakin sampai kapanpun kau gak bakal pernah mencoba yang mananya pacaran. Aku tahu kau punya ketetapan hati luar biasa, menunggu teman kecilmu kembali dan berusaha mencari-cari tentangnya hingga sekarang..." Ketika Fahmi ingin melanjutkan kalimat-kalimat pedulinya, sekejap Arya dan Fahrizul kembali, melangkahkan kaki mereka, berjalan menuju kelas. "Lo, mau dikasih saran kok malah pergi?" gumam Fahmi.

Arya pun membalikkan badan sembari menunjuk ke depan. "Lihat tuh, pak dosen udah datang. Mau sampai kapan kau bercerita? Nanti aja yang mau ceramah,"

Fahrizul pun mendahului mereka berdua, mengabaikan mereka, seakan Arya dan Fahmi bukan temannya. Tak lama kemudian Arya dan Fahmi menyusul Fahrizul, agar tak didahului oleh dosen mereka. Sesampai di kelas mereka di kelas, mereka bertiga duduk terpisah. Entah sebuah kesengajaan atau tidak, Arya duduk di antara teman-teman ceweknya. Meski begitu Arya sama sekali tak merasa canggung ataupun gugup. Ia telah terbiasa duduk di sekitar cewek-cewek ketika ia masih aktif mengikuti kegiatan OSIS di sekolah.

Namun Arya terdiam sedari tadi, tak mengobrol apapun pada teman di sekitarnya. Ia terus memegang handphone sembari menggulirkan layar, mengikuti apa yang sedang terjadi belakangan ini. Dan tak lupa ia biasanya suka membaca komik dengan alur cerita yang berat di pagi hari untuk memanaskan otaknya. Melihat temannya terdiam diantara para cewek, Fahrizul dan Fahmi hanya terkekeh pelan. Tak lama kemudian, dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia pun datang.

...

Selama 100 menit atau sekitar 2 SKS mata kuliah ia tempuh sejak pagi. Kini telah berakhir dan ditutup oleh dosen dengan sebuah tugas membuat jurnal mengenai masalah pendidikan di Indonesia. Dosen meninggalkan kelas setelah memberi salam kepada seluruh mahasiswa, dengan tas yang berisikan laptop besar dan beberapa alat tulis lainnya untu keperluan mengajar. Namun ukuran tas tersebut di luar nalar. Tak sedikit mahasiswa menertawakan bentuk tas dosen pengamu Bahasa Indonesia.

Berbeda dengan Arya, ia sama sekali tak mempermasalahkan hal tersebut, dan asyik sendiri dari tadi dengan handphone-nya. Tanpa disadari, kedua temannya telah kembali mengerumuninya.

"Ahh, sialan. Belum apa-apa aja udah disuruh buat jurnal. Kejam amat dosennya," gumam Fahmi mengungkap kekesalannya pada dosen barusan.

Fahrizul pun mengangguk, menyetujui keluhan Fahmi. "Aku tahu kalau kuliah emang gak sesantai sekolah, tapi gak nyangka aja sampai kayak gini. Mana baru pertemuan kedua. Baru dijelasin sedikit langsung disuruh bikin jurnal. Memang dosen terbaik."

Arya hanya mendengarkan keluhan mereka sembari membaca komik favoritnya. Ia terkekeh sendiri dan membuat Fahmi dan Fahrizul saling mengangkat bahu sembari memiringkan mulut mereka.

"Emang kamu gak merasa terbebani, Yak?" tanya Fahmi seraya memukul pelan tangannya.

Mendengar namanya dipanggil, Arya mematikan layar handphone dan menaruhnya di atas meja, lalu memandang mereka berdua. "Kalau ditanya berat apa enggak, aku pasti akan jawab berat, sebab itu faktanya. Tapi namanya kuliah emang kayak gini. Daripada banyak mengeluh, kenapa gak kalian kerjakan saja semampunya?" Arya bertanya balik pada mereka berdua yang daritadi mengeluh di dekat telinga Arya.