Sontak Fahrizul dan Fahmi sedikit terperanjat mendengar jawab Arya. Mungkin dalam pikiran mereka, sangat tak biasa ketika mahasiswa baru diberi tugas yang kesulitannya di atas rata-rata namun responnya datar seakan hal itu bukanlah beban berat hidup selama perkuliahan. Ketika mereka masih sekolah dulu, tugas paling susah mungkin hanya sekedar praktek dalam bidang tertentu seperti olahraga dan biologi.
Sisanya hanya menemukan dan menjawab teori rumus-rumus kimia dan fisika. Namun Arya yang sejak SMA mengambil jurusan IPS, ia hanya mengalami kesulitan jika harus berhadapan dengan matematika. Sehingga pemikirannya sangat tenang dan santai tersebut kemungkinan terbawa hingga kuliah.
"Emangya kamu udah pernah bikin jurnal, Yak? Kok kelihatannya menganggap tugas ini sangat mudah. Mahasiswa mana pun pasti merasa malas dan bosan jika mendapat tugas membuat jurnal," kata Fahmi menduga-duga seakan ia tahu semua tentang dunia perkuliahan.
"Ya dibilang susah sih enggak. Cuma mata kuliah bahasa indonesia gak terlalu susah-susah amat sebenarnya. Coba kalian bayangkan saat ini kalian jadi mahasiswa jurusan teknik kimia atau teknik fisika, dan kalian disuruh bikin jurnal mengenai salah satu bab permasalahan. Lalu bandingan dengan tugas jurnal ini. Lebih susah mana kalau dibayangkan saja," ujar Arya memberi mereka sedikit perbandingan cukup mudah untuk digambarkan.
Mendengar kata 'fisika' dan 'kimia' saja seketika membuat Fahrizul dan Fahmi langsung menggelengkan kepala dan membalas Arya. "Gak perlu dibayangin lagi. Udah pasti sedikit lebih mudah bahasa indonesia."
Melihat ekspresi dan jawaban mereka seketika Arya tertawa, dibuat mati gaya olehnya. "Kalau kalian merasa kesusahan, kita bisa mengerjakan tugas itu bareng-bareng. Aku gak keberatan," ucap Arya pada kedua temannya. Wajah mereka langsung tersenyum kembali semenjak mendapat perintah dari dosennya.
Setelah selesai mengeluh dan sedikit mendapat motivasi untuk mengerjakan tugas membuat jurnal, mereka meninggalkan kelas yang sejak tadi telah dikosongkan oleh teman-teman mereka.
Ketika keluar dari gedung fakultas, pandangan Arya langsung tertuju pada motornya yang terparkir rapi. Namun pandangannya seketika teralih ketika ia melihat temannya sedang duduk di motornya sembari merokok seorang diri, seakan sedang mencari inspirasi atau menghilangkan stress.
Arya pun mengajak Fahmi dan Fahrizul untuk mendatangi Zia, mereka berdua hanya mengangguk mengikuti langkah Arya. Entah dengan tujuan apa Zia duduk di motornya sembari merokok di parkiran. Namun Arya punya firasat jika Zia akan membahas topik pembicaraan semalam bersama teman-temannya.
Ketika mereka bertiga hampir mendekatinya, pandangan Zia langsung tertuju pada Arya sembari meniup asap rokok dan mulai membuang batang rokok sembarang tempat.
"Halo, Yak, Zul. Darimana aja kalian? Kok lama sekali keluar kelasnya?" tanya Zia penasaran.
"Ada urusan bentar tadi di jelas," jawab Arya singkat. "Kamu ngapain di parkiran motor sendiri? Lagi nunggu seseorang?" Arya bertanya balik.
"Ya nunggu kamu lah. Kan aku udah bilang mau tadi kalau mau ngomong tentang semalam," balas Zia sedikit ngegas. Firasat Arya benar sejak melihat Zia yang duduk-duduk sendiri dari tadi. "Kalian udah gak ada jam kuliah lagi, kan habis ini?"
"Kalau aku sama Fahmi habis ini masih ada mata kuliah kakak tingkat. Nanti lanjut lagi jam 1 siang," jawab Fahrizul, menyela Arya yang baru membuka mulutnya. "Tapi kalau Arya gak ada perkuliahan habis ini. Ia sama sekali tak tertarik mengambil mata kuliah semester atas dengan alasan gak mau cepat-cepat lulus kuliah. Aneh banget, kan?" kata Fahrizul tak setuju dengan pendirian Arya.
"Lah, emang masalah? Aku juga gak mengambil mata kuliah semester atas," jawab Zia singkat. Arya pun menjulurkan lidahnya, meledek Fahrizul.
"Sialan kau. Ya udah kalau gitu aku lanjut dulu. Habis ini masih ada perkuliahan. Nanti kalau mau makan saing bareng, chat aja Yak," kata Fahrizul pada Arya. Ia hanya mengangguk sebagai balasannya, lalu mengahadap Zia kembali.
"Nah, sekarang kamu mau ngomong apa?"
"Secara garis besar pasti kamu udah ada gambaran kan kalau kemarin kami merencakan semacam liburan gitu. Eh bukan liburan sih, Cuma kayak main bareng aja, menginap di tempat yang cukup jauh. Kira-kira kamu mau gak?" tanya Zia.
"Emangnya yang mau main kapan dan menginap berapa hari? Jangan mendadak lo pokoknya."
"Kurang lebih dua bulan dari sekarang. Kan di minggu ketiga ada hari libur di hari jumat. Nah kebetulan hari sabtu minggu kita juga gak ada jadwal kuliah. Gimana?"
"Oh, jadi emang sengaja direncanakan tanggal segitu karena pas dengan long weekend, ya. Pemilihan tanggal yang tepat," kata Arya sembari menganggukkan kepala berulang kali.
"Jadi kamu mau?" tanya Zia, wajahnya mulai terlihat senang sembari tersenyum.
"Eh kata siapa? Masih belum tahu. Aku kan juga ikut UKM basket. Meskipun perkuliahan diliburkan, belum tentu latihan kami juga libur. Belum ada kepastian dari pelatih juga, jadi liat aja besok-besok."
"Yah, gak seru dong. Kalau gak libur latihan, pasti kamu gak ikut kami main."
Arya mengangguk sembari berdeham. "Oh, tentu saja. Mulai sekarang aku harus mendahulukan apa yang menjadi prioritasku. Lagi pula aku merasa jika sebelumnya aku terlalu banyak bersenang-senang dengan kalian."
"Mumpung masih muda, Yak. Puas-puasin dulu main sama teman. Nanti pas dewasa menyesal lo, pada sibuk sama pekerjaan masing-masing."
"Gak, gak bisa." Arya menolak dengan nada serak sembari menggelengkan kepala.
"Coba kamu izin sama pelatihmu. Pasti dibolehin, dah. Aku yakin seribu persen" kata Zia memohon pada temannya agar ikut bermain bersama.
"Kalau dibolehin apa enggak, udah pasti dibolehin lah. Dikira mahasiswa hidupnya Cuma seputar basket, basket, dan basket. Pasti ada urusan lain tiap mahasiswa. Tapi kembali lagi. Kalau orang kayak aku yang terlanjur jatuh cinta sama basket, meskipun mendapat kesempatan izin, ya aku aku bakal tetap latihan."
"Halah, gak seru amat hidupmu, Yak. Yang dipikir cuma latihan mulu. Kapan senang-senangnya coba," kata Zia kecewa sembari menghela napas.
"Kapan senang-senangnya? Aku aja megang bola basket udah senang dan merasa beban pikiranku hilang kalau main basket. Masak aku harus bersenang-senang lagi, hahaha." Jawab Arya sembari tertawa.
"Bukan itu yang aku maksud, anj*ng... ah, udah lah. Emang bikin capek kalau ngomong sama orang yang otaknya sebesar bola basket tapi gak ada bobotnya," kata Zia kasar sembari membuang muka, merasa kesal pada Arya. Melihat reaksinya, tawa Arya semakin keras, mencuri perhatian mahasiswa sekitar.
"Kalau mau hari minggu aja Zi, tapi yang main gak usah pakai acara menginap segala. Kebetulan kalau hari minggu latihan basket emang libur," kata Arya memberi masukan pada Zia.
"Teman-teman aja maunya pada menginap. Kok kamu malah nawarinnya kayak gitu. Pasti mereka nolaklah," ujar Zia, suaranya keras lantang.