Meski Arya mengatakan pada Marlon mengenai halaman rumah untuk ia berlatih basket, sebenarnya bukan halaman rumah pada umumnya. Halaman rumahnya terdapat bangunan cukup luas namun atap-atapnya dibikin sangat tinggi, bahkan hampir menyamai atap rumahnya yang berlantai 2. Tak lain, bangunan itu adalah tempat Arya bermain basket saat ia tak sedang bosan di dalam rumah.
Melihat Arya semakin menekuni bidang olahraga, khususnya basket, ayahnya pun berinisiatif memanggil tukang bangunan untuk membangun tempat Arya berlatih basket itu. Tak hanya lapangan basket, namun bangunan itu multifungsi. Dapat digunakan bermain badminton, ping pong dan olahraga untuk body building seperti barbel.
Arya memiliki semua peralatan olahraga itu. Tak lain karena ia dapatkan dari berbagai pihak. Salah satunya alat fitness barbel dan treadmill dari pihak SMA-nya karena Arya telah mengharumkan nama sekolahnya. Untuk alat-alat olahraga lainnya ia dapatkan dari Kementrian Olahraga sebab Arya ikut memenangkan kejuaraan basket tingkat SMA 2 tahun berturut-turut.
Meski begitu, semua peralatan olahraga itu tak hanya pajangan semata. Ayahnya pun terkadang membawa teman-temannya untuk bermain voli di bangunan itu. Dan meja ping pong sering kali digunakan Arya dan ayahnya untuk bertanding, memastikan siapa yang lebih hebat dalam bidang olahraga.
Setelah menyalakan semua lampu, Arya memasuki bangunan itu sembari mendribbling bola menuju lapangan basket. Karena bangunan itu lebih sering digunakan Arya, maka net voli pasti disimpan di dalam gudang, sehingga saat Arya berlatih ia tak selalu memasang dan melepas net tersebut. Sembari memandang setiap sudut, Arya masih memantulkan bola sembari berjalan. Bolanya terus mengikuti kemana tangan Arya pergi.
Hampir sama dengan latihan saat pertemuan pertama, Arya melakukan pemanasan terlebih dulu agar tak terjadinya keseleo atau bahaya lainnya. Setelah itu ia melakukan jogging di dalam bangunan itu, memutari lapangan basket.
Meski sering berolahraga malam hari, namun Arya sangat jarang olahraga di tempat terbuka, takut terkena penyakit pernafasan. Setelah jogging Arya melakukan back to back, yang mana ia harus lari berulang kali dengan menyentuh garis tertentu untuk meningkatkan kecepatan dan agresifitasnya.
Ia melakukan itu sebanyak 3 kali tanpa jeda satu detik pun. Namun setelah menyelesaikan 3 putaran back to back, seketika badannya berkeringat, napasnya sedikit tersenga, kelelahan. Meski hanya berlari, latihannya kali ini lebih melelahkan dibanding latihna pertemuan pertama sebelumnya. Selain itu, back to back 3 kali tanpa henti juga baru pertama kali ia coba setelah berhasil melakukannya 2 kali tanpa henti.
Mengatut napas sejenak sembari menengadahkan kepalanya, Arya melanjutkan latihannya. Karena waktunya terlalu mepet dengan jam tidur, Arya hanya melakukan shooting, dribbling dan dilanjutkan lay up. Ia melakukan ketiganya berulang kali hingga jam dinding menunjukan pukul 8:45 malam. Hanya sekitar satu jam Arya menghabiskan malamnya untuk berlatih.
Arya menaruh bola basket itu di sudut bangunan, dan meninggalkan lapangan basket setelah mematikan lampu-lampu yang menempel di langit-langit bangunan. Merasa berkeringat dan tubuhnya lengket, Arya mandi untuk ketiga kalinya. Setelahnya ia menuju kamar, rebahan di atas kasur sembari menikmati dinginnya AC dan menyalakan handphone-nya.
Saat Arya membuka layar handphone, ekspresinya cukup mengejutkan, sedikit terperanjat. Banyak sekali, notifikasi, pesan, dan panggilan masuk. Arya pun bergegas memeriksa siapa yang menelponnya di saat ia sedang latihan malam hari. Setidaknya nama yang ia lihat ketika membuka WhatsApp adalah Zia, salah satu teman SMA-nya dan sampai sekarang satu jurusan dengannya. Pesan lainnya berasal dari grup divisi basket dan satu nama yang ia kenal, dan belakangan itu cukup dekat dengan Arya, yaitu Salsabilla.
Meski bukan siapa-siapa dan merasa tak pernah berbuat salah padanya, entah mengapa jantung Arya berdetak kencang. Ia pun mengabaikan pesan dari Salsabilla untuk sementara, dan membuka pesan dari Zia. Tak hanya mengirim pesan, ternyata orang yang menelfon Arya sebanyak 5 kali adalah Zia. Isi pesannya pun sangat singkat sampai Arya malas membalasnya.
[Yak,] pesan Zia pada Arya, sungguh singkat, dan tak ada lanjutannya sama sekali. Arya pun langsung keluar dari WhatsApp dan membuka Youtube sebagai hiburannya ketika lelah selepas basket. Karena Arya terlanjut membuka pesan dari Zia, otomatis Zia telah tahu jika Arya saat ini sedang memegang handphone-nya. Tanpa basa-basi ia langsung menelfon Arya.
Baru saja ingin menekan video dari channel youtube favoritnya, mendadak ada panggilan masuk dari Arya. Yang tadinya ingin menekan video, akhirnya justru menekan tombol 'angkat' dan jaringan mereka seketika tersambung. Arya menghela napas panjang, merasa terganggu.
"Halo, Yak. Lagi dimana? Kok aku telfon dari tadi gak diangkat?" tanya Zia melalui telefon.
"Halo. Aku lagi di rumah, baru aja selesai latihan basket. Ada apa?" Arya bertanya balik.
"Oh, pantesan. Ini anak-anak udah pada kumpul di kafe kemarin. Mau ikut gak?"
"Lah, ini udah jam berapa, setan? Kenapa yang ngajak gak dari tadi?" Arya menyolot, suaranya cukup tinggi.
"Ini aja dadakan diajak kumpul Fajar sama teman-teman SMP-nya. Katanya mau membahas tugas dan kegiatan main bareng sama mereka. Gimana?"
"Teman-teman Fajar? Berarti ada si Salsa dong?" kata Arya dalam hati. Seketika ia langsung kepikiran jika pesan dari Salsa barusan ada hubungannya dengan kumpul-kumpul malam ini. Arya langsung menggelengkan kepalanya. "Ardian sama Fajar juga ada disana?" tanya Arya sembari basa-basi.
"Ya pasti ada lah. Yang ngajak aja Fajar, masak orangnya gak ikut," kata Zia nadanya sedikit naik.
Arya hanya terkekeh sembari membulatkan mulutnya. "Ohh, ya udah kalau gitu."
"Ya udah apa? Kau ikut gak? Ditunggu nih sama teman-teman lain," kata Zia seakan memaksa Arya agar ikut kumpul dengan mereka.
Namun Arya telah berlatih cukup keras hari ini. Meski hanya beberapa jam saja, tubuhnya lebih ingin merebahkan diri di bawah dinginnya AC kamar daripada ikut berkumpul dengan teman-temannya di kafe meski di sana juga ada AC di setiap sudutnya.
Belum lagi menu makanan dan minuman di kafe itu terlalu mahal untuk Arya yang uang sakunya sangat pas-pasan di dompetnya. Ia tak ingin terlalu sering menghabiskan uangnya di kafe semacam itu.
Bahkan Arya lebih kaget lagi pada Zia. Sejak kapan ia bersemangat kumpul di tempat seperti itu? Bahkan sebelum kenal dengan para gadis itu, Zia selalu mengajak Arya dan teman lainnya kumpul di sebuah warung makan 24 jam. Dan Arya menduga, nampaknya belakangan ini dompet Zia semakin tebal karena tak segan-segan menerima ajakan ke kafe kelas atas.
"Kaykanya enggak dulu, Zi. Aku kecapekan habis latihan basket. Besok kau kasih tahu aku aja apa yang kalian bahas."
"Oke. Besok kau ada kuliah jam berapa?" tanya Zia.