Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Lost City Stories

šŸ‡®šŸ‡©kidd17
--
chs / week
--
NOT RATINGS
29.3k
Views
Synopsis
Kelvin dan kedua temannya sedang bermain poker. Ketika mereka berada di tengah permainan, mereka merasakan getaran yang sangat hebat. Sebenarnya getaran tersebut adalah gempa atau ada sesuatu yang lain? Gen-Ben [Update setiap hari Selasa] Jangan lupa share!
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 01: The Beginning

London, United Kingdom, 1802 AD

"Mengakulah kau!!" Sam hanya menatap datar polisi yang sedang menginterogasi dirinya.

"Apa salah ku, detektif Henry?" Orang yang di panggilnya dengan sebutan 'detektif' langsung mencengkram kerah kemeja yang di kenakan nya, lalu membenturkan punggungnya ke dinding.

"Jawab pertanyaan ku, atau ku hajar wajah tampan mu!?" Ucapnya geram.

Sam hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman. "Apa salah ku?" Suara pintu di buka tidak membuat Henry melepaskan tatapan sengit nya kepada Sam.

"Henry, cukup!" Henry langsung membenturkan pundaknya ke dinding dan menatapnya dengan tajam.

Polisi yang satunya kini membantu Sam untuk berdiri lalu ia membungkuk hormat. "Maafkan rekanku, pangeran." Ucapnya sopan.

Sam hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum mengejek tatkala ia menatap Henry.

Henry yang sudah geram dan kehilangan kesabarannya langsung berjalan menghampiri Sam namun, langkahnya terhenti saat Liam menahan pundaknya dari depan.

Liam langsung mendorong Henry keluar dari ruangan tersebut dan menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. "Henry, kita harus melepasnya," ucap Liam setengah berbisik.

Henry mendengkus kesal dan menatap Sam yang sedang duduk bersandar sambil bersedekap dada dan menatap mereka dari dalam. "Aku sangat yakin Liam. Bahwa dia adalah pelakunya!" Ucap Henry dengan nada pelan namun tegas.

Liam hanya menghembuskan napasnya kasar lalu ia menatap Henry dengan tatapan kecewa. "Aku pun juga sama, Henry! Tapi bukti kita tidak cukup untuk menahan monster itu," ucap Liam sambil menatap lekat mata hijau Henry.

Henry hanya bisa pasrah dan menghembuskan napasnya lalu ia menatap Liam. "Akan ada saatnya kita menangkapnya dan tidak akan pernah melepaskannya. Percayalah, Henry!" Ucap Liam seraya menepuk bahu Henry dan menatap sorotan matanya yang tajam.

Henry langsung membuka pintu ruangan tersebut lalu ia menatap Sam yang kini menatap keduanya dengan tatapan mengejek. "Apa aku sudah bebas?" Henry dengan terpaksa menganggukkan kepalanya.

Sam langsung berdiri dan berjalan keluar melewati kedua petugas yang sedang ditahan olehnya. "Semoga hari mu menyenangkan, detektif." Ucapnya dengan tatapan mengejek.

Henry hanya bisa mengepalkan tangannya dan menatapnya dengan sengit. Sam hanya tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah kedua detektif tersebut, lalu ia berjalan keluar menuju kereta kuda miliknya.

.

.

.

.

.

.

Kereta kuda milik Sam berhenti di depan sebuah bangunan tua yang sudah tak terawat lagi ditambah cat yang sudah terkelupas gosong menambah kesan bahwa gedung tersebut sudah mengalami sebuah peristiwa yang buruk terjadi.

Sam langsung berjalan memasuki gedung tersebut sambil bersiul dan ia membuka pintunya. Orang yang berada di belakangnya hanya diam dan mengikuti langkah kaki Sam.

"Pangeran!" Orang tersebut langsung membungkuk hormat kepada Sam dan tersenyum.

"Apa dia merepotkan mu, Hugo?" Tanyanya.

Hugo hanya diam, lalu ia membuka pintu dan menatap Sam. Sam berhenti sebentar langsung mencabut sebilah pedang dari sarung pengaman milik Hugo lalu ia menancapkan pedang tersebut ke perutnya.

Mulut Hugo langsung mengeluarkan darah segar, sementara Sam langsung mencabut pedang tersebut dari perutnya. "Buang dirinya ke jurang dan lakukanlah secara diam-diam," perintah Sam.

Ia langsung berjalan masuk dan melihat Elizabeth yang kini sedang berusaha melepaskan ikatan yang ada di tangan dan kakinya.

"Hai," sapa Sam.

Wajah Elizabeth langsung terlihat pucat, saat ia mendengar suara Sam menyapa dirinya. "Sam," ucapnya lirih.

Sam langsung menunjukkan pedang yang berlumuran darah. Elizabeth hanya diam dan berusaha menelan ludahnya saat Sam menunjukkan pedang tersebut. "Wajah cantik mu akan aku gores jika kau masih saja melawan," Elizabeth hanya diam dan menatap wajah Sam dengan kebencian yang teramat sangat.

"Apa yang kau mau, Sam!?" Tanya Elizabeth.

Sam menarik kursi lalu ia duduk di depan Elizabeth, "aku ingin belati itu," ucap Sam santai. Elizabeth langsung memalingkan wajahnya saat Sam ingin menyentuhnya.

Sam berdiri lalu ia berjalan keluar. Elizabeth menghembuskan napasnya lega. Beberapa menit kemudian, Elizabeth melihat Sam yang kini sedang menggeret kedua orang tuanya.

Sam langsung mendorong mereka di depan Elizabeth dan mereka dipaksa untuk berlutut di hadapannya, "ayahā€¦ ibuā€¦" ucapnya lirih. Sam langsung menghunuskan pedang tersebut tepat di jantung ibunya.

Elizabeth hanya bisa berteriak memanggil namanya dan menangis, "aku hanya mau belati itu, Elizabeth!" Elizabeth masih menangis.

"Elizabeth, janganā€¦" ucap Arthur. Sam berjongkok di samping ayahnya dan menatap Elizabeth. Ia mengusap wajah ayahnya menggunakan pedang yang sudah berlumuran darah kedua orang tuanya.

Elizabeth berusaha melepaskan ikatan yang dan menatap tajam Sam. "Jika kau menyentuh ayahku, demi Tuhan akan ku potong kedua tanganmu, Sam!" Ancam Elizabeth.

Sam langsung berdiri lalu ia mengayunkan pedangnya tepat di leher namun tebasan tersebut terhenti ketika ia mendengar suara gaduh dari luar.

Para penjaga yang berada di sekelilingnya langsung mengeluarkan pedang-pedang mereka dari sarung pengaman dan Sam berjalan mundur sambil menarik Arthur dan berdiri di belakang Elizabeth. Satu orang terlempar mengenai pintu, dan terdengar suara mantra yang diucapkan oleh Arthur membuat pintu yang ada di depan mereka meledak.

"Elizabeth!? Apakah kau ada di dalam?" Teriak lelaki tersebut.

Elizabeth tersenyum saat mendengar suara pria tersebut. Ia ingin menjawab panggilan tersebut namun Sam membekap mulutnya dan menodongkan belati miliknya di leher Elizabeth.

Para penjaga tersebut langsung menyerang pria yang membawa pedang secara bersamaan. Dengan adrenalin terpacu, pria tersebut menggerakkan pedangnya dengan sangat lihai hingga dapat menghalau serangan brutal dari para penjaga Sam yang menyerangnya tanpa lecet sedikit pun.

"Tak akan ku biarkan kau mengambil apa yang ku rebut dari mu, Robert!" Ucap Sam seraya ia melukai telapak tangannya dan menggambar pentagram lalu ia mengucapkan mantra Latin yang begitu panjang.

Pedang yang Sam pegang dikelilingi kabut berwarna hitam tebal dan darah yang mengalir kini sudah tidak terlihat lagi. Robert menghembuskan napasnya kasar dan ia menatap sengit Sam.

"Sam, sadarlah!" Ucap Robert.

Sam tidak menghiraukan ucapan Robert, dia langsung melesat membawa Robert ke halaman belakang gedung tersebut dan membiarkan Elizabeth dan Arthur sendiri di dalam ruangan tersebut.

"Ayah," Arthur berjalan cepat menghampiri putrinya dan ia membantu Elizabeth melepaskan ikatan yang ada di tangan dan kakinya. Tak ada waktu untuk berduka lebih lama, Elizabeth langsung mengusap darah yang ada di dada ibunya ke sapu tangannya.

"Akan ku balas kan dendam mu, ibu," gumam Elizabeth sambil mengusap wajahnya.

"Elizabeth!" Panggil Arthur. Elizabeth yang hanya mengenakan korset dan stoking langsung menatap ayahnya. Arthur menyerahkan sebuah jubah berwarna merah lalu ia menatap lekat-lekat mata Elizabeth.

Robert berusaha dengan sangat keras menangkis serangan Sam. Robert menghembuskan napasnya kasar. Robert berdiri namun, asap hitam yang ada di sekeliling pedangnya menghunus ke jantung Robert.

Beruntungnya, ia dapat menangkis serangan yang di lontar kan oleh Sam namun, Pedangnya jatuh. Suara tawa menggema ke seluruh hempasan tanah dan kini Sam bertepuk tangan.

"Bravo, bravo, bravo," Sam menghembuskan napasnya lega dan ia menatap Robert dengan senyum menyeringai. Tangannya masih memegang pedang.

Suara lengkingan kuda membuat Sam mematung. "Aku bilang sadarlah, Sam!" Sam menggeram dan ia berusaha untuk menghunuskan pedangnya tepat di jantung Robert, tapi naas. Sebelum Sam berhasil menusuk jantung Robert. Arthur, yang berlutut di depan Robert terbunuh oleh pedang milik Sam.

Robert hanya membelalakkan matanya dan ia segera menggunakan kesempatan tersebut untuk mengambil pedangnya. Darah Arthur perlahan-lahan membasahi pedang berasap hitam tersebut.

"Pergilah," ucap Arthur lirih. Robert menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak akan pergi, ayah! Aku tidak akan meninggalkan mu!" Arthur hanya tersenyum dan mulutnya sudah mengeluarkan banyak darah.

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Arthur langsung menggerakkan tangannya melingkar sambil membaca mantra panjang sambil menatap Robert.

Sebuah lingkaran hitam yang memiliki cahaya berwarna merah melingkar tepat di belakangnya. "Akan ada seorang dari keturunanmu di masa depan yang akan membantu mu!" Ucapnya.

Angin kuat yang dapat menyedot apa saja di sekitarnya namun anehnya, benda-benda yang ada di sekitarnya tidak tersedot. Robert masih menahan dengan menancapkan pedangnya di tanah.

Arthur langsung mengarahkan kedua jarinya ke arah Robert dan pedang yang semula tertancap di tanah langsung terangkat dan dirinya tersedot ke dalam portal tersebut.

Arthur langsung memegang pedang yang masih tertancap di dadanya dan mengucapkan mantra. "Sam, kau dan keturunanmu selanjutnya tidak akan mendapatkan apa yang selama ini menjadi milik Robert," ucap Arthur.

Sam makin memperdalam pedangnya namun ia tidak bisa mendorongnya, "dan kauā€¦ tidak akan mendapatkan belati itu!" Setelah ia mengucapkan perkataan tersebut, tubuh Arthur terbakar bersamaan dengan hilangnya lingkaran besar yang menyedot Robert.

Sam menggeram dan berteriak. "Aku bersumpah akan melakukan segala cara untuk membunuh keturunan mu, Robert," ucap Sam. Seluruh polisi yang ada di penjuru United Kingdom langsung berdatangan.

Henry dan Liam hanya tersenyum saat melihat Sam menjatuhkan pedang dan mengangkat tangannya.

Jakarta, Indonesia 2020 AD

Kelvin, Keith dan George kini sedang berada di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Mereka bertiga duduk di sebuah kursi yang di lengkapi oleh setumpuk kartu dan chip poker yang berserakan di atas meja dan juga beberapa kaleng kosong minuman ringan yang berserakan di lantai.

Ketiga orang yang duduk berjauhan tersebut hanya menatap satu sama lain dengan tatapan sengit mereka. "Siapa dulu nih?" Tanya Bagas sambil menatap kedua temannya bergantian.

"Sesuai arah jarum jam kan?" Ucap Kelvin sambil menunjuk ke arah George.

George hanya mendengkus kesal dan menunjukkan kartu yang ada di tangannya. "Three of a Kind!" ucapnya dengan lantang.

Bagas menatap kartu yang sudah berjejer rapi lalu ia menatap George. Dengan sombong nya, Bagas langsung memperlihatkan kartu yang ada di tangannya lalu ia menarik napasnya dalam-dalam. "Full House!" Ucapnya dengan bangga.

George yang sedang minum langsung membelalak kan matanya dan tersedak. Kini Bagas dan George sedang menatap Kelvin yang sedang menopang dagu seraya menatap kedua temannya.

"Ayok tunjukin!" Suruh Bagas tidak sabar.

Kelvin meletakkan kartunya dan tersenyum dengan penuh kemenangan. "Royal Flush," ucap Kelvin. George dan Bagas langsung menggebrak meja dan mendecih kesal karena Kelvin memiliki kartu paling tinggi diantara mereka berdua. "Come to papa, my little chips!" Kelvin langsung mendorong chip yang ada di meja poker, lalu ia menata nya sesuai dengan urutan dari yang terkecil hingga tertinggi.

"Lagi apes kita berdua!" Ucap George menimpali.

Bagas hanya menganggukkan kepala lalu ia menyesap satu kaleng bir hitam, lalu menghembuskan napasnya. "Lagi pusing, mas?" Bagas hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum pahit.

"Menurut kalianā€¦" omongan Bagas langsung terhenti dikarenakan mereka mendengar suara pintu di ketuk dari luar.

"Masuk!" perintah Kelvin. Seorang pria paruh baya mengenakan tuxedo dan sarung tangan putih memasuki ruangan yang yang di tempati mereka bertiga.

"Ada apa, Charles?" Tanya Bagas sopan.

Charles menghembuskan napasnya kasar dan mereka mendengar sayup-sayup orang yang sedang berteriak di lorong. Membuat ketiga pemuda segera menghentikan permainan mereka sementara untuk melihat apa yang terjadi.

Terlihat seorang pria yang mengenakan baju formal tahun 1800. "Aku adalah Robert Anderson!" Teriaknya. Para security dan butler berusaha menahan tubuh Robert yang basah dan penuh dengan luka. "Hey, kalian!" Panggil Robert sambil menatap mereka bertiga.

George dan Kelvin langsung mendorong Bagas. "Kok gue sih!?" Tanyanya agak berbisik.

"Lo kanā€¦ on the way jadi pangeran," ucap George.

Bagas hanya mendengkus kesal lalu ia menatap Robert. "Apa kau tahu dimana Sam!?" Tanya Robert kepada Bagas.

Bagas langsung berjalan perlahan menghampiri Robert sambil mengangkat tangannya. "D-dengarkan aku ba-baik-baik, Mrā€¦?" Tanyanya menggantung.

"Anderson!" Balas Robert dengan lantang.

"Baiklah," Bagas menghembuskan napasnya dalam-dalam lalu ia menghembuskan napasnya perlahan dari mulut. "Jika kau terus berontak, m-mereka akan menahan mu!" Ucap Bagas sambil berjalan pelan menghampirinya.

Robert berhenti memberontak dan mengacungkan pedangnya dengan waspada. "Baiklah! Lalu dimana Sam!?" Bagas hanya diam dan mengerutkan kening nya.

"Sam?" Tanya Bagas. Kelvin langsung buru-buru mengeluarkan handphone miliknya dari saku celana dan mengetik di mesin pencarian Google, lalu menunjukkannya kepada Robert.

"A-apa yang kau cari adalah orang ini!?" Bagas mengambil handphone milik Kelvin lalu ia menunjukkannya kepada Robert.

"Ya! Aku mencarinya! Dimana aku bisa menemukannya!?" Tanya Robert penasaran.

Bagas memejamkan matanya sebentar, lalu ia mengembalikan handphone milik Kelvin. "Sam dikubur hidup-hidup setelah menghilangkan nyawa King Arthur Darren pada tanggal 13 Mei 1802" ucap Bagas dengan hati-hati.

Mendengar hal tersebut Robert langsung mengerutkan kening nya. "Di kubur hidup-hidup?" Bagas menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Sekarang beritahu aku, dimana ia sekarang!" Bagas dan kedua temannya yang ada di belakangnya langsung memejamkan matanya erat.

"Jangan bunuh gue, ya Tuhan. Gue gak mau mati muda!" Ucap George.

Bagas langsung membuka matanya dan memberanikan dirinya, "k-kita gak tau dimana dia di kubur, Mr. Anderson," ucap Bagas berhati-hati.

Robert menatap tajam ketiga pemuda yang kini sedang berdiri di depannya. "Apa kalian mempunyai orang yang bisa membantu ku?" Kelvin menganggukkan kepalanya.

"Y-ya," jawabnya singkat.

"Kalau begitu antarkan aku padanya!" Perintah Robert. Kelvin menghembuskan napasnya kasar dan menyuruh para security dan butler nya untuk menyingkir.

"L-lebih beristirahatlah dulu? Bajumu basah dan ak-aku bisa melihat banyak luka di sekujur tubuhmu." Tawar Kelvin.

Robert menghembuskan napasnya, lalu ia berlutut di hadapan Kelvin. Ia memasukkan pedangnya ke dalam sarung pengaman. Ia melihat ke seluruh lengannya dan tersenyum miris. "Apa kalian tau aku berada dimana?" Tanya Robert mencoba untuk berdiri, namun kakinya tidak mampu untuk hanya sekedar menopang tubuhnya.

Kelvin dan Bagas berjalan perlahan menghampiri Robert yang kini sedang tersungkur di lantai. "George! Bantuin bantet, woy!" Panggil Bagas ke George.

George pun langsung membantu membawakan pedang Robert. "Pedangkuā€¦ mau kalian apakan?" Tanyanya.

Kelvin dan Bagas memapah tubuh besar Robert menuju perpustakaan pribadi Kelvin. "Gak kita hancurin atau jual kok, tenang aja." Kelvin dan Bagas langsung merebahkan tubuh Robert di atas sofa.

"Charles!" Panggil Kelvin ke Charles yang sedari tadi berdiri di belakang mereka bertiga, "tolong telpon dr. Tio dan telpon Aiden," perintah Kelvin yang kini sedang menatap Robert yang sudah pingsan.