"Cepat pulang, kau pasti sudah kelelahan.." ucap gadis berambut hitam sembari berusaha melepaskan pengait helm dari kepalanya.
"Aku akan pulang setelah melihatmu masuk~" sahut pemuda di atas motor, membantu gadisnya yang tampak kesusahan melepaskan helm.
Rachel menggeleng kecil. "Apa kau mau menunggu lama di ujung gang ini?"
"Tidak masalah, asal aku pastikan kau pulang dengan selamat~" senyum lima jari masih tersungging di wajah si pemuda.
Melihat tak ada keinginan Theodore untuk beranjak, Rachel lantas memberikan sedikit pukulan tepat di lengan pemuda itu. "Kau pikir aku anak kecil? Aku ini lebih tua darimu tahu. Aku bisa menjaga diri, lebih baik dari anak kecil sepertimu."
"Begitukah?" Theo terkekeh. "Apa aku harus memperlakukanmu seperti nenek-nenek?"
"Theodore!"
"Hahahaha~"
Hal yang paling disukai Theodore selain senyuman di wajah Rachel adalah membuat gadis itu kesal, karena Rachel akan bertambah menggemaskan berkali-kali lipat dengan pipi menggembung dan mata melotot yang sama sekali tak cocok dengan wajahnya.
"Sudahlah, aku pulang dulu saja!"
Mendapati dirinya seolah diremehkan, Rachel memilih untuk pulang lebih dulu. Melangkah menjauh dengan kaki yang terhentak keras, dia sungguh telah dibuat kesal oleh kekasihnya.
Sedangkan Theo masih berdiri di atas jok sepeda motor, memandangi punggung kekasihnya yang perlahan mulai menjauh, masuk semakin dalam di lorong gang lumayan sempit. Inilah alasan kenapa dia bersikukuh untuk bertahan dan menunggui hingga sosok Rachel menghilang dari pandangannya setelah keluar dari gang ini.
Rumah gadis itu terbilang cukup tersembunyi. Gang ini bukanlah satu-satunya jalan menuju rumah Rachel, namun gadis itu selalu memilih diturunkan di tempat menyeramkan ini. Bukan karena jaraknya yang dekat, tapi mau manapun jalan yang mereka tempuh, rumah Rachel tetap harus melewati gang untuk masuk. Setiap Theo memaksa untuk mengantarkan sampai depan rumah, Rachel selalu menolak mentah-mentah. Katanya, sepeda motor tak dapat melewati gang menuju rumahnya. Padahal, siapapun juga tahu kalau gang tersebut lumayan lebar kalau hanya dilewati oleh satu motor saja.
Theodore telah mengetahui alasan sebenarnya. Dirinya tak boleh terlihat mengantarkan gadis itu, tak boleh terlihat oleh ibu Rachel, karena kalau itu terjadi hubungan mereka juga akan berakhir.
Sudah dua tahun lebih semenjak mereka memutuskan untuk 'backstreet'. Theo telah melanggar satu syarat hubungan mereka dengan memberitahu Jean, meski itu tak disengaja. Namun, Rachel bersikeras agar hubungan mereka tertutup lebih rapat.
Bagi Theo, hal itu tak masalah sama sekali. Asalkan dia bisa bersama dengan Rachel sampai suatu saat mereka bisa mempublikasi hubungan ini.
.
.
.
.
.
Theodore memelankan laju sepeda motornya ketika bangunan rumahnya mulai terlihat. Seperti biasa, dia harus berhenti sejenak untuk membuka gerbang utama sebelum masuk. Di rumah, tak ada orang selain dirinya. Sudah sangat lama dia tinggal sendirian. Ayahnya terlalu sibuk mengurus pekerjaan hingga lupa waktu. Namun, Theo sungguh mengerti tentang kesibukan ayahnya. Pria itu juga sama menyayanginya seperti dia. Kasih sayang yang diberikan berupa seberapa keras pria itu membesarkannya seorang diri.
Benar.
Ayahnya sudah lama menjadi orang tua tunggal. Bukan karena konflik keluarga yang membuatnya pisah dengan sang istri. Melainkan alam yang telah mengatur perpisahan sepasang suami istri tersebut. Ibu Theodore telah lama meninggal.
Namun, rutinitasnya membuka pagar ternyata tak akan dia lakukan hari ini karena pada saat sepeda motornya mulai mendekat, pagar besi tinggi itu telah terbuka. Hal lain yang lebih membuatnya terkejut adalah dengan adanya sebuah mobil BMW hitam tepat terparkir di halaman depan rumahnya. Mobil sang ayah.
Ini sangat jarang terjadi. Ayahnya cukup sibuk dan tak punya waktu untuk pulang ke rumah, apalagi kalau mendadak tanpa memberi Theo kabar lebih dulu. Sekarang juga bukan hari ulang tahunnya. Tak ada indikasi sebuah kejutan akan dia dapatkan. Theo juga merasa tak melakukan kesalahan hingga mengharuskan ayahnya pulang tiba-tiba seperti ini.
Setelah memarkirkan sepeda motornya dengan asal di halaman depan, Theo bergegas masuk ke dalam rumahnya. Saking buru-buru, dia bahkan tak meninggalkan helm, benda itu masih terpasang di kepalanya. Barangkali kalau ada orang yang melihatnya sekarang, dia akan disangka sebagai perampok yang masuk ke rumah orang sambil menutupi wajah dengan helm.
Cukup mudah baginya untuk membuka pintu rumah karena tak dikunci. Ini membuktikan bahwa benar-benar ada orang di dalam sana.
"Papa!" panggilnya dengan suara lantang setengah tenor khas remaja yang masih dalam masa pubertas.
Theo berjalan menyusuri seluruh ruangan di dalam rumahnya. Dari ruang tamu hingga dapur yang terletak di bagian paling belakang. Tak ada tanda-tanda ayahnya di lantai satu. Maka Theodore langsung menuju ke lantai atas, dimana terdapat dua kamar di sana. Miliknya dan milik sang ayah.
Baru saja kakinya sampai di ujung tangga lantai atas, dari kejauhan dia sudah melihat sebuah pintu terbuka, menampakan celah kecil. Yang mana adalah pintu kamar ayahnya. Sekonyong-konyongnya Theodore berjalan cepat menuju ke sana. Derap langkah kaki terdengar memenuhi selasar lantai atas, berasal dari sepatu semi kulit yang membalut kakinya. Belum dia lepas dari luar.
"Papa!!"
"HAH!"
Pria di dalam kamar tampak terkejut dan secara reflek mengangkat stik golf yang ada di dekatnya, mengacungkan tepat ke arah Theo. Hampir saja batang besi itu menyentuh kepalanya, kalau saja Theo tak gesit menghindar dan ternyata ada untungnya juga helm masih terpasang di kepalanya.
"Papa ini aku!!" ujar pemuda itu sembari menunjuk wajahnya yang masih tertutupi oleh helm fullface.
Pria di depannya sama sekali tak mengendurkan pegangannya pada stik golf, tatapannya tajam penuh siaga.
Theo kemudian sadar bahwa dia telah memicu kesalahpahaman karena masih mengenakan helm. Siapapun pasti akan mengira kalau dia adalah perampok atau apapun karena menutupi wajahnya seperti sekarang. "Ini aku Pa~" ujarnya lagi, kali ini telah melepaskan helm dari kepalanya.
"Astaga!" Pria paruh baya itu membuang stik golf dan mengelus dadanya. "Dasar anak nakal! Kau mau membuat Papa mu ini kena serangan jantung huh?"
"Hehehehe, maaf deh~" sahut Theo tanpa rasa bersalah, cengiran polos tertarik cukup lebar. "Lagipula, tumben sekali Papa pulang cepat, tanpa mengabariku lebih dulu pula.."
Pria paruh baya itu tak langsung menjawab. Dia terlebih dulu mengambil stik golf yang ada di lantai untuk diletakan kembali ke tempat semula. Kemudian mematut dirinya lagi di depan cermin.
"Kau juga bersiap-siap lah, pakai-pakaian paling rapi dan jangan lupa sisir rambutmu yang berantakan itu," jawab pria itu sembari memasang jas semi formal yang menambah sisi karismatiknya meski sudah berumur 50-an.
"Kita mau kemana?" tanya Theodore.
Dia sudah sangat penasaran perihal ayahnya yang pulang sangat cepat, berpakaian rapi dan kini malah menyuruhnya memakai pakaian serupa. Sebelum ini, tak ada pemberitahuan lebih dulu. Mengenai untuk apa dan kemana mereka akan pergi.
Pria itu mendekat ke arah Theo. Wajahnya tampak lebih cerah dari saat terakhir kali Theo lihat. Pasti ada sesuatu yang sangat baik hingga bisa merubah wajah kaku ayahnya menjadi tampak bahagia seperti sekarang.
"Papa akan kenalkan kau pada calon Mama baru mu.."