Theodore mendongak, tetapi tak menatap ke arah Emily. Justru pandangannya jatuh pada gadis berambut hitam di depannya. "Aku.. Sepertinya aku meninggalkan buku panduan belajarku di Sekolah. Maaf, tapi aku harus pergi sebelum gerbang benar-benar di kunci," ujarnya dengan sopan. Theodore tak ingin kepergiannya menimbulkan kecurigaan kalau menampakan sedikit saja emosinya.
"Sekarang? Bukankah besok kau bisa mengambilnya—"
"Besok ulangan, Papa. Malam ini aku harus belajar, aku perlu buku itu." Theodore berdiri, kembali menjatuhkan pandangan ke arah Rachel. Seolah memberi sinyal pada gadsi itu untuk mengikutinya.
"Tidak," Suara Sean terdengar tegas dan penuh penekanan. "Kembali duduk. Kita akan beli buku itu sepulang dari sini."
"Tapi Pa—"
"Theodore Junior Anderson, duduk—"
"Tidak apa-apa," si wanita paruh baya mengintrupsi dengan suaranya yang lembut. Jemari kurus pucat mengelus punggung tangan Sean yang sudah mengepal. Gestur pasif agresif ketika sedang emosi. "Biarkan Theo pergi duluan." Emily berusaha menengahi permasalahan antara ayah dan anak ini.
"Tapi, ini kan pertemuan penting kita."
"Kita juga yang salah karena mengajak anak-ana tanpa memberi tahu lebih dulu."
Sean tak lagi melayangkan sanggahan. Entah karena menyadari ucapan Emily benar, atau hanya karena tak bisa menentang keputusan wanita yang dia cintai. Tatapannya berubah melembut ketika menatap wajah Emily. Persis seperti seekor singa yang telah dijinakan oleh pawangnya.
"Apa kau ingin Papa antar?—"
"Tidak usah," Theodore lagi-lagi mengirim sinyal yang sayangnya tak ditangkap dengan bagus oleh Rachel. "Aku bisa menggunakan taksi."
Langkah panjang pemuda itu kian cepat kala sudah melewati pintu utama. Berada dalam kegelapan malam, meninggalkan bangunan terang di belakangnya. Beserta cahaya hidupnya.
Theodore memang tak jago berkelahi seperti Jean. Tetapi dia lebih tak ahli dalam mengutarakan isi hati sesungguhnya, terlebih pada sang ayah. Perasaan canggung di antara lelaki, menurutnya begitu. Lalu hal ini semakin bertambah ruwet saat dia sudah beranjak dewasa. Theo sadar dirinya tak akan bisa menangis heboh agar permintaannya dikabulkan, dia juga tak bisa seenaknya membatalkan pernikahan seseorang.
Ini keputusan paling sulit yang pernah dia lakukan. Tetapi, melihat bagaimana respon Rachel di dalam sana, nampaknya gadis itu telah mengetahui hal ini jauh-jauh hari.
'Kapan? Kenapa tak mengatakannya?
Kalau saja dia sudah tahu sehari sebelumnya, mereka pasti tak akan berada di posisi sulit seperti ini. Theodore akan membawa kabur Rachel. Pergi jauh, kemanapun asal mereka berdua tetap bersama.
Padahal sekarang belum terlambat. Berbalik badan, berlari sekencang-kencangnya ke dalam sana, menarik tangan sang kekasih untuk dia bawa pergi. Tetapi lagi-lagi pikiran rasional telah menahannya di tempat ini.
Atau mungkin karena alasan lain? Terlalu penakut.
Dia sangat mencintai Rachel. Tapi di sisi lain, salah satu impiannya adalah melihat ayahnya bahagia. Dan baru kali ini dia melihat ayahnya tersenyum sehangat itu, tertawa begitu renyah, hal yang sangat jarang pria itu tunjukkan.
Sebagai seorang anak, inilah yang selalu dia harapkan.
Takdir terlalu jahat untuk memasukkan keterlibatannya pada situasi ini.
Situasi dimana tak ada pilihan selain memilih salah satu dan mengorbankan lainnya.
Angin musim semi bertiup. Manis namun menyakitkan. Beberapa serangga berterbangan di atas kepalanya. Berdengung, seolah mengolok-olok kegagalannya.
Bagi kebanyakan orang musim semi memiliki kesan ceria. Banyak kebahagiaan yang hadir bersamaan dengan datangnya musim ini. Pergantian dari musim dingin menuju panas. Dimana bunga-bunga bermekarang dan serangga berada pada musim kawin mereka.
Hal tersebut tak berlaku lagi bagi Theodore.
Malam saat ini terasa lebih gelap dan dingin. Cahaya dari lampu jalan di atasnya tak cukup untuk memberikan penerangan. Dia merasa terbelenggu di dalam kegelapan. Sendirian.
Theodore menatap layar ponsel yang sudah retak. Dia mencoba menekan tombol daya beberapa kali, tetapi tak ada hasil. Ponselnya benar-benar rusak, dari luar maupun dalam. Tak jauh berbeda dengan keadaannya sekarang. Rasanya seperti tujuan hidupmu diambil paksa, tanpa kau bisa melakukan apapun untuk menahannya.
Kelopak mata itu menutup, berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Ini begitu tiba-tiba, seperti sebuah gempa yang datang tanpa peringatan. Theodore tak siap, tak akan pernah siap sebenarnya.
Orang yang sangat dia cintai akan menjadi saudara tirinya.
.
.
.
.
.
"Yo! Kau bisa lihat ada berapa banyak musuh yang ku kalahkan."
Seorang pemuda dengan headphone bertengger di kepalanya terlihat berbicara dengan seseorang secara virtual. Tangan kanannya sibuk mengetuk tombol pada mouse, sementara jemari kirinya bergerak dengan kecepatan diatas rata-rata menekan tombol A, S, W dan D demi menghindar dari serangan musuh.
"Yeah! Rasakan itu! Aku akan hancurkan pantatmu!"
'Ting.. Tong..'
"Berani sekali kau melempar granat padaku huh!"
Si pemuda dengan cepat bersembunyi sembari mengobati lukanya dengan med-kit yang dia miliki. Puluhan tembakan menghujani tempat persembunyiannya, datang dari segala arah. Ini membuat seorang pro sepertinya cukup kewalahan.
"Hey! Di mana kau anak sialan?! Bantu aku cepat!" Dia memaki keras pada seseorang yang bisa ditebak adalah patnernya saat ini. Tembakan masih tertuju ke arahnya, lalu tak berapa lama terdengar suara tembakan lain, menembus pertahanan lawan. "Kau cukup lamban, tetapi sebagai Sniper, kau lumayan juga.."
'Tiiing... Tooong!!.. Tiiiing!! Tooong!'
Jean -si pemain game- memutar kepalanya ke arah pintu ketika merasa mendengar suara bel. Dia segera menurunkan volume untuk mendengar lebih sesama. Tetapi, hanya ada keheningan setelahnya. Lalu, sesaat sebelum Jean kembali pada permainan, suara bel terdengar lagi. Kini semakin gencar.
'Tiing! Tooong!! Tiiing! Tooong!! Tiiing!!.. Toong..!!'
"Astaga! Yang benar saja!" Sumpah serapah keluar begitu mulus dari mulutnya. Lalu secara spontan melepaskan headphone dengan tidak sabaran. Ketahuilah hal yang paling Jean benci selain kalah berkelahi adalah diganggu ketika bermain game. Apalagi saat ini rumahnya sedang kosong, yang mana dia harus menyusuri selasar lantai atas kemudian menuruni tangga ke lantai dasar dan harus berjalan melewati ruang tengah dan ruang tamu untuk membukakan pintu bagi siapapun sialan itu. "Awas saja kalau hanya anak-anak tetangga yang iseng, akan ku patahkan leher mereka lalu menggantung di tiang listrik di perempatan jalan." Jean tak main-main dengan ucapannya.
Jean bisa saja melihat pada layar di sebelah pintu untuk memastikan siapa gerangan di luar sana. Tetapi emosinya sudah terlanjur meletup-letup, dia ingin segera membuka daun pintu dan menangkap siapapun pengacau malam indahnya.
"Halo.."
Jean langsung membatalkan segala niat kriminalnya saat mendapati sosok yang dia anggap pengganggu tadi.
Berdiri di depannya, pemuda berambut ikal agak kecoklatan. Pakaiannya cukup rapi, sangat kontras dengan wajah sayunya dan begitu lelah. Seperti seorang pesakitan yang sudah sekarat. Senyuman yang tersungging di wajah pemuda itu bahkan sama sekali tak memiliki rasa. Seperti pahatan dari sebuah topeng. Tak ada jiwa di dalam sana.
"Bung?! Apa yang terjadi?!"
"Biarkan aku masuk dulu.."