Chereads / Ain't About Us / Chapter 19 - Si Pengacau

Chapter 19 - Si Pengacau

Semburat cahaya kuning terang merangsak masuk menembus gorden berwarna putih polos. Menggantikan kegelapan yang telah berkuasa semalaman. Hal itu juga mempengaruhi bagaimana temperatur udara saat ini. Yang semula terasa dingin menjadi lebih hangat. Kicau burung mulai terdengar saling sahut-menyahut di luar sana. Definisi dari pagi yang cerah.

Seseorang di balik selimut tampaknya merasakan dampak dari hari yang cerah. Dia bergerak tak nyaman sembari menendang-nendang kain yang menutupi dirinya sampai jatuh ke lantai. Bisa dibilang, udara yang perlahan menghangat telah membuatnya merasa kepanasan. Maka, meskipun masih dalam keadaan tidur, tubuhnya tetap merespon dengan menjauhkan benda apapun yang membuatnya tak nyaman. Dalam artian, selimut tak bersalah itu.

"Nghh.."

Theodore melenguh dalam tidurnya. Dengan tubuh masih bergerak ke kanan dan kiri, berusaha menemukan titik ternyaman supaya bisa kembali ke dalam alam bawah sadar. Namun perhitungannya salah. Dia melupakan satu hal, yang mana saat ini tubuhnya tidak sedang berada di atas ranjang King Size empuk nan nyaman. Tetapi hanya sebuah sofa.

BUUGH!

Naas, tubuhnya jatuh secara tidak elit dan membentur lantai cukup keras di bawahnya.

"Akh!" Pekikan lantang menjadi pertanda bahwa kesadarannya telah terkumpul sepenuhnya. Walaupun dengan cara paksaan. Kelopak mata itu sukses terbuka, tanpa gerakan perlahan apalagi mengerjap dengan dramatisir. Ketika punggung serta pantatnya menghujam lantai dingin, di situlah kesadarannya benar-benar kembali. "Sialan benar!" Hebatnya dia bahkan mampu mengumpat. Tidak peduli walaupun dia mengawali hari dengan sebuah umpatan.

Theodore meringis kala mengelus tulang punggungnya. Kalau hal ini terjadi lagi, tak perlu menunggu sampai usianya menjadi tua, barangkali dia akan mengalami pengroposan tulang sedari dini.

"Seingatku semalam ada karpet di sini," gumam Theodore memandang ke arah lantai di bawahnya. Diingat berkali-kali pun hasilnya tetap sama, dalam ingatannya terpatri dengan jelas sebuah karpet bulu lumayan tebal menutupi hampir seluruh lantai di kamar ini.

"Tadinya memang ada." Theodore segera memutar kepala ke arah belakang, tepatnya ke asal suara barusan. Di ambang pintu berdiri seorang pemuda hanya memakai kaos tanpa lengan juga celana boxer di atas lutut. "Sebelum kau menodainya dengan muntahan sialanmu. Dasar brengsek!"

Jean tiba-tiba berlari lalu menerjang Theodore yang masih dalam mode memproses. Tanpa ada kesiapan, pemuda berambut coklat kembali terjerembab dengan punggung menimpa lantai lebih dulu. Rasa sakit yang tadinya mulai memudar kembali menjalar, ditambah beban lain berada di atas tubuhnya. Sebenarnya kalau hanya masalah itu saja tak terlalu menjadi masalah. Namun-

"HOY! SINGKIRKAN KETIAKMU DARI MUKAKU!"

Aroma masam menyengat, menusuk lubang hidungnya, seperti batang kaktus yang sengaja di sodokkan ke dalam hidung. Benar-benar senjata alami untuk membuat lawan tumbang.

"HOHOHO! Tidak semudah itu kawan!" Jean sepertinya memang sengaja melakukan hal tersebut. Terlihat dari bagaimana pemuda itu benar-benar mendekap wajah Theo dengan ketiaknya. "Ini pembalasan karena kau telah membuatku bangun pagi untuk membersihkan noda muntahan sialanmu itu! Rasakan keringat manis penuh penderitaanku ini!"

"PUIHH! PUIIHH!"

"MATI KAU!"

.

.

.

.

Setelah pertengkaran tidak berguna —karena tak ada diantara mereka yang unggul satu sama lain— dan kini Theodore mendapati dirinya setengah tenggelam di dalam bathtube kamar mandi bawah rumah Jean. Sembari mengingat apa saja yang terjadi semalam sampai dia bisa muntah di atas karpet. Ingatannya cukup samar-samar, hampir seperti mimpi, membuat Theodore tak cukup mempercayai kinerja otaknya.

'Tambahkan bir juga.'

Benar. Setelah itu beberapa botol bir tersedia di hadapannya. Theodore mengingat bahwa dia lebih banyak menenggak bir ketimbang melahap ayam yang telah dipesan bebarengan. Satu kaleng? Atau mungkin dua? Theodore butuh waktu agak lama sampai dia mampu mengingat lebih jelas berapa kaleng bir yang telah dia habiskan tepatnya.

Tiga, empat... Oh, Tidak. Tujuh?!

"Oh, ya ampun.."

Theo memijit pangkal hidungnya ketika menyadari hal apa yang telah terjadi padanya. Berkat meminum tujuh kaleng bir, bisa dipastikan itulah yang membuat kesadarannya total hilang. Semalam, ketika otaknya tak bisa mengontrol diri, alam bawah sadarnya bergerak diluar kemauan. Mengacaukan keadaan, membuatnya malu ketika sadar.

"Pantas saja dia marah besar."

Padahal setiap dia minum alkohol tak pernah sekalipun berakhir dengan teler seperti semalam. Bahkan kesadarannya tak pernah benar-benar hilang. Semalam terasa sangat berbeda, ada suatu dorongan yang membuatnya hilang akal dan menjadi tak terkendali. Tujuh kaleng bir sukses besar dalam hal merubahnya menjadi orang dungu.

Tetapi, setelah malam yang melelahkan —meskipun Theodore tak ingat benar— sesak dalam dadanya perlahan mulai hilang. Menguap bersamaan rasa lelahnya. Terlebih lagi berendam dengan air hangat di pagi hari cukup membuat pikirannya menjadi lebih rileks.

"Mungkinkah hal 'itu' juga mimpi?" tanyanya pada udara kosong di sekitarnya. Tidak ada jawaban tentu saja. Pertanyaan itu hanya membumbung tinggi tanpa bisa mendapatkan jawaban.

'Knock! Knock! Knock!'

Theodore berjingkat ketika mendengar ketukan —ralat— gedoran pada pintu kamar mandi. Pelakunya sudah pasti si kampret itu.

"Oy! Kau mandi atau tenggelam?!" Teriakan Jean menggelegar setelahnya.

"Kalau kau kebelet gunakan saja kamar mandi berhargamu itu sial!" sahut Theodore tak kalah keras. Dia masih tersinggung karena tak diperbolehkan mandi di lantai atas, tepatnya kamar mandi yang ada di dalam kamar Jean.

"Ya sudah, aku akan bilang pada Kak Rachel kalau kau tenggelam. Bye!"

Kedua bola mata Theodore terbelalak, pupil mata kecoklatan miliknya membesar dua kali lipat. Tanpa berpikir dua kali dia segera keluar dari dalam bathtube, berlari sekencang-kencangnya ke arah pintu, meraih kenop dan memutarnya tidak sabaran.

"KAK RACHEL ADA DI SINI?!"

"AAKK!! PAKAI HANDUK DULU SIALAN! KAU MERUSAK MATA INDAHKU!" Teriak Jean sembari membanting pintu kamar mandi sepersekian detik setelah melihat wujud pemuda yang ada di dalam sana.

Saking terburu-buru, Theodore sampai lupa kalau dia belum mengenakan kain apapun untuk menutupi tubuhnya.

.

.

.

.

.

"Maaf Kak Rachel, sepertinya kau harus menunggu lumayan lama," ujar Jean sekembalinya dari acara 'mari merusak waktu mandi seorang Theodore'. Pemuda tinggi itu tak lagi memakai kaos singlet saja seperti sebelumnya. Sebagai bentuk kesopanan ketika menerima tamu, Jean mengenakan sweater abu-abu yang beberapa jahitan terlihat keluar secara tak rapi seperti belum di setrika. Bisa dipastikan dia hanya memilih acak pakaian apapun yang dia lihat di mesin pengering.

"Tidak apa-apa," Rachel tersenyum kecil, tetapi dengan luar biasa membuat wajahnya bertambah manis. Seolah seseorang baru saja menaburkan berton-ton gula di wajah gadis itu. "Terima kasih karena sudah menghubungiku semalam."

Jean mengangguk singkat.

"Aku merasa kasihan melihat ekspresi menyedihkannya semalam. Aku juga tak tahu apa yang bisa menghiburnya.." tutur Jean dengan wajah iba. Kedua alisnya melengkung ke bawah, menggambarkan perasaan sedih.

Tetapi kalau diperhatikan lebih seksama, akan terlihat bagaimana sudut bibir pemuda itu berkedut-kedut. Jean tengah bersusah payah menahan senyum.

Alasan Jean memberitahu Rachel sebenarnya jelas bukan karena dia kasihan pada Theodore. Lebih tepatnya dia ingin mengusir pemuda itu cepat-cepat dari rumahnya.

Theodore mungkin akan menggantung temannya satu ini kalau saja dia mendengar bentuk pengkhianatan yang dilakukan Jean terhadapanya.