Sebuah bantal melayang tepat ke wajah Jean. Pemuda itu terlalu sibuk mencanangkan idenya hingga lupa bahwa dia pun harus melindungi diri dari amukan Theodore.
"Yak! Kurang ajar sekali kau!" pekik Jean tak terima.
"Kau lah yang kurang ajar," tukas Theodore. "Bisa-bisanya menyangka aku sudah gila, kau dan pemikiran gila mu yang harusnya mendapat perawatan intensif."
"Hey! Aku mengatakan ini untuk kebaikanmu tahu!" Jean berusaha membela diri, yang mana hanya menemui kesia-siaan belaka.
Sebagaimana Theodore memutar kedua bola matanya sebagai respon acuh tak acuh terhadap sahabatnya. "Daripada kau berteriak-teriak tidak jelas, lebih baik temani aku mencari udara segar."
Mendengar ajakan menggiurkan itu, Jean langsung menegakkan tubuhnya. Bahkan ekspresinya berubah dari kesal menjadi tertarik. "Ke mana?"
Bukan Theodore namanya jika tak bisa mengendalikan suasana. Pasalnya dia tahu jika Jean tak akan mungkin menolak ajakan nya, bagaimana pun juga mereka adalah sahabat yang telah menghabiskan banyak waktu bersama untuk saling mengenal satu sama lain.
"Mobilmu ada di rumah kan?" tanya Theodore. Dengan polosnya Jean mengangguk. "Bagus, biar aku yang menyetir, kau tinggal duduk manis di kursi penumpang."
.
.
.
.
.
Penyesalan memang selalu datang terakhir, hanya saja Jean tak menyangka akan datang secepat ini. Bagaimana tidak? Bayangkan kau merelakan mobilmu dikendarai seenaknya. Dalam artian, benar-benar melenceng jauh dari aturan lalu lintas yang tertera.
"Sialan! Pelankan mobil ini cepat!"
"Aku memintamu duduk dengan tenang, bukannya malah berisik seperti ini."
Mengabaikan protesan Jean, Theodore tetap melajukan Porsche hitam dengan kecepatan hampir penuh. Yang mana adalah tindakan nekat jika dilakukan di jalanan umum penuh dengan kendaraan lain yang tak sedikit.
"Kau sudah gila?" Jean menyalak tak santai. "Kalau ingin mati lakukan saja sendiri! Jangan bawa-bawa mobilku untuk kau rusak juga!"
"Oh, baiklah," jawab Theodore sangat santai. "Aku akan membuka pintu ini lalu melompat keluar, maka mobilmu tak akan ikutan rusak juga."
Theodore hampir saja melepaskan kemudi jika saja Jean tak menahan pundaknya dengan sekuat tenaga. Bahkan otot-otot tampak mencuat di balik kulit lengan serta sekitaran leher. Menjelaskan seberapa kuat usahanya untuk menghentikan aksi gila Theodore.
"Keparat! Tak akan ku biarkan kau mati sebelum aku membunuhmu!"
Theodore malah tertawa dengan wajah tak berdosa. Seolah apa yang dilakukannya bukan lah hal menegangkan yang dapat membuat nyawa melayang. Dia menganggap ini seperti video game. Memacu adrenalin untuk mendapatkan kesenangan. "Hahaha~ Santai lah sedikit Bung~" Dia lantas mengemudi kembali dengan sedikit menurunkan kecepatan.
Sementara Jean yang masih was-was hanya bisa berdoa. Meminta keselamatan dan panjang umur selama di dalam mobil bersama Theodore. "Setidaknya katakan padaku ke mana kah tujuan mu?"
"Tidak mau, kau pasti akan memberitahukan pada Rachel," tuduh Theodore tanpa memalingkan wajah dari jalanan di depan sana.
"Tidak kok.." Jean diam-diam menyembunyikan lagi ponselnya, tidak jadi menghubungi gadis itu karena takut jika Theodore akan kembali memacu melawan maut. "Tapi sebagai pemilik mobil ini, aku berhak tahu bukan?"
"Mobil ini milik Ayahmu, bukan milikmu."
Pernyataan itu langsung membungkam Jean. Dia tak bisa menyangkal fakta valid yang dilayangkan Theodore. Bagaimana pun dia masih belum membuat bangga ayahnya sehingga wacana memiliki mobil sendiri harus diundur lagi.
"Ck! Intinya sama saja, aku memiliki hak atas kendaraan ini!"
"Well, ku katakan ini karena aku menghargai paman Jason," kata Theodore. "Tujuan kita ada di dekat pertigaan depan sana."
"What the heck Man!" pekik Jean tak terima. "Itu bukan jawaban yang benar!"
"Cerewet sekali sih kau, seperti gadis yang datang bulan saja." Theodore bersiul-siul pelan selagi mengendarai Porsche membelah jalanan yang lumayan padat.
Sementara itu Jean hanya bisa berpasrah diri sembari menyandarkan punggungnya di kursi penumpang. Dia lantas memijit pelipisnya yang terasa berdenyut akibat terlalu kalut menghadapi tindakan gila Theodore. "AKu tak menyalahkan Rachel jika dia tak mau kembali bersama orang gila seperti mu-"
CKIIIT!—
Mobil dengan kecepatan tinggi itu berhenti mendadak, membuat Jean harus merelakan dahinya mencium dashboard di depannya tanpa terelakan. Sedangkan Theodore tampak sangat normal, seakan kejadian tadi bukanlah hal besar yang patut diperbincangkan.
"Ouch!" pekik Jean sambil mengelus dahinya yang terlihat mulai memerah. "Keparat kau!"
"Terima kasih kembali~" Theodore tersenyum sumringah sebelum mematikan mesin dan keluar dari Porsche tersebut.
Dengan masih mengerang kesakitan, Jean mau tak mau mengikuti langkah Theodore yang telah lebih dulu pergi ke salah satu gedung di sisi jalan.
Bangunan itu berdiri menjulang, tinggi besar dan kokoh. Bentuk kemewahan kota metropolitan yang kerap kali dijumpai di sekitar sini. Hanya saja gedung ini seolah menutup diri dari lingkungan luar dengan banyaknya jendela-jendela berwarna hitam dan sepinya pengunjung di luar gedung. Jean sempat berpikir jika Theodore hendak bunuh diri di suatu tempat terbengkalai yang tak diketahui oleh orang-orang. Namun pikiran itu langsung dihapuskannya karena dia menyadari tempat apakah ini. Salah satu distrik terkenal dengan dunia malamnya yang sangat gemerlap. Saat ini masih siang, wajar jika Jean tak cukup menyadari tempat ini sebelumnya.
"Ted!" panggil Jean.
Theodore berhenti melangkah dan berbalik menatap temannya. "Apa? Kau masih saja berisik meskipun sudah keluar dari mobil."
Cemoohan itu serta merta membuat Jean merengut. Hanya saja rasa kesalnya dikalahkan oleh rasa penasaran yang membumbung tinggi di dalam dada. "Kita tak bisa masuk ke sini tanpa kartu member, kau tahu itu kan?"
Dengan santainya Theodore mengeluarkan selembar kartu dari dompetnya. Kartu berwarna emas dengan tinta mengkilap. Orang awam pun pasti menyadari bahwa kartu tersebut bukanlah kartu biasa.
"Nah, sekarang berhenti lah meracau."
Demi apapun, Jean tak pernah masuk ke club semewah ini sebelumnya. Tempatnya biasa nongkrong hanya sekedar bar biasa. Bukan Club yang rawan orang-orang penting seperti ini. Bahkan tak aneh jika di dalam sana adalah markas mafia kejam yang menguasai hampir seluruh kawasan atau tempat jual beli obat-obatan terlarang. Dan kini seorang Theodore yang terkenal sangat pendiam juga termasuk murid yang rajin memiliki kartu sakral.
"Bagaimana kau mendapatkan itu?!" Jean tak bisa menahan tumpukan pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Bisa-bisa tengkoraknya akan meledak jika isinya tak segera dikeluarkan satu persatu.
"Nanti saja ku ceritakan..." Theodore kembali memasukan kartu tersebut. "Sebaiknya kita masuk ke dalam."
"Tapi kau hanya memiliki satu kartu—" Ucapan Jean terhenti begitu dia menyadari satu hal. "Sialan! Kau hendak masuk sendirian dan meninggalkanku di luar, huh?"
Wajah Theodore yang semula biasa saja perlahan-lahan berubah. Garis bibirnya tertarik membentuk seringaian. Sorot matanya yang datar berubah menjadi tatapan meremehkan.
"Upsiee~ Aku lupa kau bukan anggota di Club ini," katanya dengan nada sing a song yang terdengar menyebalkan di telinga Jean.