Gelap, hanya itu yang melingkupi pandangan Theodore sejak matanya terpejam. Sepeninggal Rachel dari kediaman Jean, rasanya seluruh dunia langsung runtuh, menimpa tubuhnya yang saat ini tengah rapuh. Batinnya bertanya-tanya, apakah ini mimpi? Andaikan demikian, ini pasti mimpi paling buruk yang pernah dia rasakan.
Rasa sakitnya teramat nyata. Seperti ada tombak panas yang menghujam langsung ke dada kiri. Menembus tubuh, membelahnya menjadi dua. Kini jiwanya telah hilang, hidupnya telah sirna. Sudah kedua kali wanita-wanita tersayangnya direnggut paksa dari kehidupannya.
Mengapa demikian? Apakah Tuhan sebegitu benci terhadapnya sehingga melimpahkan cobaan yang teramat besar?
Apakah Tuhan mengira jika Theodore cukup kuat untuk menanggung semua perkara ini?
Tidak adil bukan?
"Yo Man, kemana pacarmu itu?" tanya Jean setibanya di ruang tamu sambil membawa nampan berisi dua gelas sirup merah.
"Pulang," jawab Theodore tak bernafsu. Tubuhnya sangat lemas, hingga dia berpikir dengan mengatakan sepatah kata saja dapat membuat nyawanya melayang.
Jean menatap kebingungan ke arah Theodore lalu mengalihkan pandangan ke pintu depan yang bercelah kecil. "Kalian sungguh bertengkar?" tanyanya lagi sembari meletakan nampan di atas meja.
"Bukan urusanmu."
"Ck! Tentu saja itu urusanku!" Jean berkacak pinggang lalu menggeleng kecil ke arah Theodore. "Kalian bertengkar di rumahku, bisa gawat kalau terjadi hal yang tidak diinginkan-"
"Tapi tak terjadi apapun kan? Kau bisa bernafas lega kalau begitu."
Jean menatap lekat-lekat ke arah Theodore yang masih terduduk mengenaskan di atas sofa. Melihat kondisi sahabatnya yang jauh dari kata baik-baik saja seketika meluruhkan kekesalan Jean. Bagaimana pun dia tahu jika Theodore teramat mencintai Rachel. Setiap hari lelaki itu selalu bercerita tentang kekasih wanitanya, dari A sampai Z tanpa henti. Bahkan Jean merasa sangat bosan jika Theodore mulai membahas Rachel. Mengenai kecantikannya, mengenai suaranya yang lembut, senyumnya yang manis. Rachel memang memiliki semua itu. Jean tak akan menyangkal. Malahan karena itu dia menjadi kesal pada Theodore karena berhasil mendapatkan kekasih menawan seperti Rachel. Dan tak masuk akal apabila hubungan mereka yang teramat lengket tiba-tiba kandas begitu saja.
Terkecuali jika Rachel lah yang memutuskan untuk-
"Oh tidak.." Jean reflek menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Rachel memutuskan hubungannya denganmu?"
Theodore langsung terlonjak dari posisi bersandar, melayangkan tatapan tajam ke arah Jean yang masih betah memasang wajah khawatir. "Bodoh, jangan seenaknya menyimpulkan sendiri."
Jean mendengus, ekspresi cemasnya berubah menjadi kesal. "Dasar tak tahu terima kasih, sudah ku khawatirkan tapi tanggapanmu begini?" Jean menggeleng tak percaya. "Pantas saja Rachel tak ingin bersama denganmu lagi."
"Tutup mulutmu."
"Aku tak akan tutup mulut sebelum kau mengatakan yang sebenarnya." Jean masih bersikukuh mencari tahu letak masalah yang dialami sahabatnya.
Bukan karena dia tipikal orang yang selalu mengurusi orang lain. Hanya saja Jean sudah terlalu tahu bagaimana sifat Theodore, baik maupun buruk. Sahabatnya ini kerap kali memedam masalahnya sendiri. Jika ada permasalahan yang menimpa, Theo kerap kali mengurung diri atau mungkin menjauh dari keramaian. Walau ada baiknya juga karena Theodore hanya melampiaskan dengan bermain game saja, bukannya malah menenggak obat-obatan terlarang.
Tidak, Jean tak akan membiarka itu terjadi.
"Kau bisa menceritakan perlahan, aku tak akan memotong atau pun berkomentar sebelum ceritamu selesai."
Theodore menghela napas. Terlalu lelah menanggapi keras kepala Jean, atau barangkali menyesalkan masalah yang tengah dia hadapi sekarang. Mungkin dua-duanya.
"Kau tidak akan paham."
"Tentu saja aku tak akan paham jika kau tak mengatakannya!" Jean tak habis pikir mengapa Theodore masih bersikukuh untuk memendam semuanya sendiri. Melihat bagaimana nelangsanya pria itu, pasti bukan masalah yang remeh. "Jangan biarkan aku menebak-nebak."
"Coba saja." Theodore mengangkat dagunya, menantang.
"Baiklah, kalau kau menantang kemampuanku menebak," Jean mendudukan diri pada sofa lain. Saking sibuknya memikirkan masalah Theodore, dia sampai melupakan untuk duduk terlebih dahulu. "Kau menghamili Rachel lalu memintanya untuk mengaborsi?"
"KEPARAT!" Theodore sontak menggebrak meja di hadapannya, yang notabene adalah meja dari kaca.
"OY! Jangan semabrangan memukul! Itu bisa pecah!" seru Jean dengan panik. Bisa-bisa dia akan digiling oleh Ibunya jika meja kaca itu pecah.
"Nah, akan ku buat pecah juga kepalamu itu!" Sorot mata Theodore memancarkan ambisi kuat.
"Kau tidak perlu marah begitu dong, kau kan menyuruhku untuk menebaknya," tukas Jean. Namun diam-diam dia merasa takut juga dengan sosok Theodore saat ini. Terbukti dari tubuhnya yang meringkuk di atas sofa sambil memeluk lututnya.
"Haish!" Theodore memijat pelipis dengan tangan kanannya. Tampak sangat putus asa terhadap lelaki di hadapannya juga pada pilihan yang hendak dia lakukan. Theodore tahu benar jika Jean termasuk orang yang keras kepala. Membiarkan pertanyaannya tanpa jawaban akan membuat Jean semakin bersikukuh menerka-nerka, lebih parahnya dia bisa bertanya langsung kepada Rachel. Tidak, itu tak boleh terjadi. "Kalau aku mengatakannya, kau janji tak akan bertanya lagi kan?"
"Iya aku janji."
"Tidak juga kepada Rachel?"
Jean mengangguk. Walau sebenarnya sedikit curiga karena tingkah Theodore yang cukup misterius hari ini. Ada yang tak beres. Kendati demikian, Jean lebih memilih bungkam.
"Aku.." Theodore menggigit bibir bawahnya lalu menjilatnya sebelum bersuara. "Aku sudah tak menyukai gadis itu lagi. "
"Kan benar- APA?!"
Jean sontak membulatkan kedua mata. Benar-benar tak menyangka pengakuan itu akan keluar langsung dari mulut Theodore sendiri. Padahal jelas-jelas pemuda itu lah yang terlalu menunjukkan perasaan cintanya terhadap Rachel. Bagaimana bisa orang yang begitu mencinta kini tiba-tiba berubah haluan menjadi tak lagi mencinta? Jean yakin seratus persen ada yang tak beres dengan kepala Theodore.
"Apa kau sedang sakit Ted?" tanya Jean sambil menempelkan telapak tangannya ke dahi Theodore. "Tidak panas kok."
"Ck!" Theodore langsung menepis tangan Jean. "Aku tidak sakit."
"Tidak, kau benar-benar sakit." Jean bersikukuh. "Kalau kau tidak sakit, mana mungkin kau mengatakan hal yang tidak masuk akal."
"Apa menurutmu ucapanku sangat tidak masuk akal?"
"Tentu saja tak masuk akal!" Jean menaikan intonasi nya. "Seorang yang bucin sepertimu mana mungkin tak lagi menyukai Rachel."
"Bagaimana jika itu memang benar?" Theodore menaikan dagunya, seolah dengan itu dapat meyakinkan Jean.
"Tidak, aku tidak akan mudah mempercayainya." Jean menyilangkan tangan di depan dada sembari menyandarkan punggung ke belakang. "Kalau memang benar, aku harus memukulmu dengan keras lalu menjadikan Rachel kekasihku. Ingatkah kau jika aku pernah berkata begitu?"
"Ya sudah kalau kau menginginkannya, pacari saja gadis itu."
Jean tak pernah merasa seterkejut ini ketika mendengar Theodore begitu santai menyerahkan kepemilikan akan Rachel kepadanya. "Kita harus ke rumah sakit sekarang!"
"Sudah ku bilang aku tidak sakit."
"Tidak, bukan rumah sakit yang itu-" Tatapan Jean tampak serius. Seolah-olah baru saja melihat hal mengerikan sepanjang hidupnya. "Kita harus ke rumah sakit jiwa! Ada yang salah dengan kepalamu Bung!"