Chereads / Ain't About Us / Chapter 21 - Akhir Dari Segalanya

Chapter 21 - Akhir Dari Segalanya

"Kau sudah makan?"

"Sudah makan—" Rachel menggantung kalimatnya. "Kau sungguh tidak apa-apa?"

"Sungguh," Theodore menyentuh pergelangan tangannya. "Ini bukanlah apa—"

"Bukan itu." Rachel memotong ucapan pemuda di seberangnya dengan suara lumayan tinggi. Menyiratkan segala perasaan, kecemasan, keragu-raguan, pikiran campur aduk yang sulit dikatakan tanpa menimbulkan respon berlebihan. Kekhawatiran paling puncak sehingga kau kesulitan melontarkan kata-kata. "Yang semalam, kau pulang tiba-tiba—"

"Jangan," Theodore menutupi kedua mata dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya meremas lutut. Melampiaskan segala emosi yang keluar, emosi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata semata. "...Jangan pergi." Suaranya terdengar gemetar.

"Aku tidak akan pergi, aku janji, kita akan bersama.." Rachel membiarkan ucapannya menggantung agak lama. "Kita memang akan bersama bukan?"

Kalimat itu terdengar memiliki akhir bahagia. Sepasang kekasih bersama-sama memulai hidup baru. Tetapi tidak akan terlihat seindah itu jika mengetahui maksud sebenarnya. Mereka memang akan bersama, tentu saja itu akan terjadi. Ayah Theodore akan menikahi Ibu Rachel. Mereka akan bersama, sebagai saudara tiri.

"Apa sudah berakhir?" Theodore mendongak, wajahnya terlihat kuyu meskipun dia baru saja mandi. Manik cokelat yang dulu terang, kini meredup seiring harapannya telah pupus.

"Mereka sudah bersama lebih lama daripada yang kita duga."

"Memangnya kita tidak lama? Sudah berapa tahun, dua tahun kan?"

Pertanyaan Theodore tak mendapat jawaban memuaskan selain helaan nafas.

Lalu keheningan kembali mengisi di antara mereka. Merubah atmosfer menjadi lebih canggung dari sebelumnya. Membuat jarak semakin nyata.

Menjadi orang yang lebih dewasa memiliki peranan penting dalam hal apapun. Di masyarakat, di keluarga, bahkan pada hubungan semacam ini. Rachel bukan lagi seorang gadis remaja dengan mimpi-mimpi indah layaknya film Disney. Akhir bahagia itu sangat relatif, tergantung dilihat dari sudut pandang mana. Mereka tak bisa sekonyong-konyong mengatakan hubungan mereka di hadapan dua orangtua yang berencana menempuh keseriusan hubungan. Sekalipun mereka nekat mengatakan, tak ada jaminan dia dan Theodore akan bersama dalam waktu lama.

Hubungan mereka tak lebih dari gelora mengggebu remaja biasa. Kekaguman sementara yang terlihat begitu indah dan sempurna. Sangat mudah mengatakan cinta daripada membuktikannya. Apalagi Theodore, pemuda itu masih memiliki pikiran layaknya remaja laki-laki kebanyakan. Suka bermain, suka kebebasan dan rebel. Rachel tak perlu berpikir dua kali untuk memutuskan hubungan mereka. Ini tak ada bedanya dengan cinta monyet yang kebanyakan tak berlangsung lama.

"Mr. Anderson datang ke tempatku, berbincang dengan Ibu dan memintaku untuk menjadi guru les mu," tutur Rachel masih menunduk, seolah sengaja tak ingin menatap manik kecoklatan di seberangnya. "Dia menawarkanku uang sangat banyak. Untuk Ibu, untuk biaya kuliahku."

"Kau menjual hubunganku untuk uang itu?! Kau pasti bercanda!" Theodore tersenyum miring, meremehkan jawaban dari gadis yang dia cintai. Tidak, Rachel lah yang meremehkan hubungan mereka. Menganggap ini tidak cukup berharga sebanding uang yang diberikan ayahnya.

"Bukan seperti itu," Rachel mendongak sekali sebelum kembali menunduk. Memainkan ibu jari. "Saat itu kita bahkan belum bertemu. Kita tidak saling mencintai saat semua itu terjadi. Malahan, karena Mr. Anderson memberikanku pekerjaan membuat kita saling bertemu."

Decit sofa terdengar nyaring saat pemuda di atasnya bersandar dalam hentakan keras, hingga membuat kaki kursi bergeser beberapa inci dari tempat semula. Theodore menengadah, menatap langit-langit rumah Jean yang berwarna putih. Kosong. Seperti pikirannya saat ini. Segalanya menghilang, apa yang telah dia rencanakan, bagaimana akhir bahagai bersama Rachel. Semuanya semata-mata hanya berada dalam isi kepalanya saja, tak akan bisa tercapai. Tidak akan menjadi kenyataan.

Theodore dapat merasakan kedua matanya memanas. Pandangannya mengabur seiring embun mulai memenuhi kantong mata. Dia mengangkat lengan untuk menutupi kedua mata, tidak ingin menunduk atau berkedip. Karena sudah pasti bulir air akan menetes dari pelupuk mata, mengalir melewati kedua pipi. Membuat pertahannya semakin runtuh.

"Kita bisa pergi, berdua saja.." Kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu tak lebih dari harapan semata. Angan-angan semu.

"Kau tahu kalau itu tidak mudah." Rachel masih berpegang teguh sebagai pihak yang lebih tua. Meskipun itu bisa terjadi, tetapi ada harga mahal yang harus mereka bayar. Dan sekali lagi, mereka belum tentu bersama dalam waktu yang lama.

"Lalu bagaimana? Apa kau tidak masalah dengan pernikahan mereka?" tanya Theodore dengan suara selirih angin, nyaris berbisik.

"Sudah sangat lama aku tak melihat Ibu sebahagia itu." Rachel mendongak. Ada berbagai emosi terpancar di kedua bola matanya. Membaur menjadi satu. "Aku ingin melihat senyum itu terus di wajah Ibu."

Dua pasang mata itu saling beradu pandang. Begitu banyak kalimat yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata, namun jelas terpancar lewat sorot mata. Tetapi semuanya sudah cukup terlambat. Kedua orang di sana sama-sama mengerti apa yang akan terjadi pada mereka. Tidak ada pembenaran jika salah satu mengajak kabur dan yang lainnya mengiyakan. Mereka akan saling menyakiti, menyalahkan satu sama lain pada momen tertentu, kehilangan segala yang telah dikorbankan.

Lalu bagaimana?

Kalah jadi abu, menang jadi arang. Tidak ada pilihan terbaik selain itu.

Dan, sialnya Theodore tak bisa meyakinkan gadis di hadapannya ketika dia sendiri pun diselimuti oleh keragu-raguan.

Apakah rencananya adalah yang terbaik? Atau melupakan semua rencana masa depan bersama Rachel dan kembali pada kenyataan?

"Aku tak mengerti... Benar-benar tak mengerti..." Theodore akhirnya kalah. Dia tak bisa membendung lonjakan di pangkal tenggorokan. Membuatnya tercekat, sangat sesak.

"Kita tidak boleh egois. Kita harus membiarkan mereka bahagia." Rachel menegakkan tubuhnya di atas sofa. Merubah ekspresi dari sendu menjadi tenang. Seakan percakapan mereka hanyalah obrolan ringan di sore hari ditemani oleh biskuit cokelat dan teh hangat. Seakan semuanya tidak bermakna penting.

"Mereka? Lalu kita? Kau tak memikirkan kebahagiaan kita?" Wajah Theodore memerah padam, namun tak ada penekanan di dalam kalimatnya. Dia tak pernah bisa membentak Rachel. Tak bisa memaksa gadis itu untuk mengikuti keinginannya untuk kabur.

"Bukankah kita akan bahagia ketika melihat mereka bahagia? Kau juga merasakan yang sama bukan? Saat melihat senyum Mr. Anderson?"

"Kalau begitu pergilah," kata Theodore sembari menyeka lelehan air mata di wajahnya. "Pergilah untuk beberapa waktu. Pergilah sebelum aku bertindak nekat karena terlalu lama melihat wajahmu."

"Theo.. Jangan begini.." Rachel berdiri, hendak mendekat ke arah lelaki yang lebih muda darinya. Tepat sebelum Theodore mengangkat tangan, menghentikan pergerakan gadis itu.

"Pergi Kak Rachel, setidaknya aku harus menenangkan diri." Theodore menutupi seluruh wajahnya dengan dua telapak tangan. Suaranya agak teredam. Barangkali dia melakukannya agar suaranya tak terdengar lebih menyedihkan. "Dan, jangan berbalik atau memanggil namaku. Atau aku bisa lepas kendali."

Rachel menuruti ucapan Theodore. Dia bungkam saat berbalik, saat melangkah pergi. Hanya sekali menoleh ke belakang dan mendapati Theodore tengah menjambak rambut kecoklatan tanpa bersuara. Hal itu hampir saja membuat Rachel mengingkari ucapannya, ingin berbalik dan memeluk tubuh pria itu, sebelum dia berhasil mengontrol diri. Kenyataan tak selalu berjalan mulus.

Kebahagiaan hanya sebagian mengisi pola kehidupan, sisi lain ada kepahitan yang memang harus ditelan. Mau tidak mau. Begitulah hidup berjalan.