Perjalanan menuju ruang tamu terasa lebih lama dari biasanya, padahal hanya butuh beberapa detik saja dengan melewati selasar yang tak terlalu jauh hingga berada sisi depan rumah Jean. Waktu mungkin sengaja berjalan lambat, membuat setiap langkah menjadi lebih berat, membuat jantung berpacu lebih cepat seperti piston kendaraan bermotor.
Atau karena Theodore sengaja mengulur waktu sendiri dengan berputar-putar di dalam ruang dapur. Padahal niat awalnya hanya sekedar mengambil air dingin demi membasahi kerongkongan juga mendinginkan suhu tubuhnya yang memanas. Pengaruh rasa gugup yang diakibatkan oleh jantung berdebar kencang.
'Apa yang harus dikatakan? Alasan apa?'
Dan berakhir memikirkan skenario apa saja agar dirinya tak terlihat menyedihkan di depan kekasih-atau mantan kekasih.
"Bung! Aku menyuruhmu cepat-cepat keluar bukan untuk melihatmu seperti orang linglung di sini," celetuk Jean. Hendak mengeluarkan camilan sebagai teman menunggu gadis yang sedang berada di ruang tengah.
Tetapi melihat gelagat pemuda lain di dapur, membuat Jean semakin tak habis pikir. Mungkin ini karena terlalu lama berada di dalam air, tanpa sengaja cairan berbusa masuk ke dalam lubang telinga hingga membuat salah satu bagian penting dari isi kepala Theo menjadi tidak bekerja dengan benar. Atau karena saking terburu-buru mengambil handuk, tanpa sengaja Theodore menginjak sabun —atau apapun benda licin lain— lalu terjatuh dengan kepala membentur tepi Bathtub.
"Iya iya.. Kau duluan saja, nanti aku menyusul," tutur Theodore masih berjalan mondar mandir sambil sesekali meneguk air dalam gelas yang ada di tangan kiri.
Melihat itu Jean semakin bingung. Dia tahu betul kalau Theo bukanlah seorang kidal. Apa yang membuat si pemuda tinggi itu seperti hilang arah? Ditambah raut wajahnya terkesan memprihatinkan. Seperti korban bencana alam yang telah kehilangan seluruh harta benda.
Jean meletakan setoples cookies di atas meja pantry, kedua tangan menopang tubuhnya yang kini condong menghadap ke arah Theodore. Sepasang mata itu menyipit, hendak menganalisis penyebab kegelisahan yang menimpa pemuda itu. "Kau sedang bertengkar dengan Kak Rachel?"
Pertanyaan barusan sontak membuat Theodore berhenti berjalan. Raut wajahnya mencerminkan kepanikan, gambaran seseorang yang tertangkap basah telah mencuri seporsi hot dog di sebuah Food Truck pinggir jalan. "Mana mungkin begitu! Jangan menyimpulkan sendiri!" kilah Theodore dengan suara lantang.
Maksud hati ingin membangun kepercayaan lewat suara kerasnya, tetapi justru sikap semacam itu persis seperti maling yang sedang berkilah. Terkesan berbelit-belit, mengulur waktu, pembohong amatiran.
"Dengar, semalam kau tiba-tiba menginap ke sini dengan tampang berantakan. Minum banyak bir dan muntah sembarangan. Lalu sekarang kau terlihat tidak tenang setelah tahu kalau Kak Rachel ada di luar," jelas Jean. Tangannya menyilang di depan dada, juga jangan lupakan tatapan meremehkan yang cukup membuat pemuda lainnya tak bisa berkata-kata. "Bukankah itu cukup jelas? Kau bertengkar dengan pacarmu dan kabur kesini. Kekanakan sekali~"
"Sebaiknya kau berhenti di sana, jangan mengurusi urusanku."
Theodore membatasi diri dan bukannya mengelak. Bukti jelas bahwa apa yang di ucapkan Jean sepenuhnya benar, tetapi pemuda berambut coklat di sana keras kepala tak mau mengakui.
"Bagaimana aku tidak ikut campur? Kau kabur ke rumahku, membuat si jomblo ini menjadi pelarian, keparat!" geram Jean.
"Ya sudah..." Theodore meletakan kembali gelas yang sudah kosong. "Aku pergi kalau begitu."
Sebelum Theodore berlalu keluar dari pintu belakang, sebelum jejak kakinya tertinggal, sebelum dia melewati tubuh pemuda lainnya, Jean menarik lengan Theodore dalam sekali sentak. Mendorong ke arah dinding, memojokkannya.
"Lepaskan! Kau tak ingin aku berada di sini kan? Ya sudah, biarkan aku pergi bangsat!" Theodore menyalak. Sekuat tenaga mencoba melepaskan diri dari kungkungan Jean. Tetapi segala usahanya terbilang sia-sia. Karena semakin dia memberontak, semakin kencang pula Jean menahan tubuhnya. Dia terperangkap, bagai tikus di hadapan kucing.
"Berhenti bersikap kekanakan dan temui kekasihmu di depan." Pupil mata Jean menajam, seperti kucing jantan yang sedang mempertahankan daerah kekuasaan. Menusuk tepat ke mata menembus titik pertahanan Theodore. "Sebelum kau menyesal.."
.
.
.
.
"Hay Kak~"
Rachel mengernyitkan alis tepat setelah mendongakkan wajah —tak lagi menatap lantai marmer dingin sembari menggesek-gesek telapak kaki— secara reflek menyerbu ke arah si pemuda tinggi itu, bahkan sebelum Theodore menempatkan pantatnya di atas sofa.
"Kau tidak apa-apa? Apa yang membuat kulitmu merah seperti ini? Kau makan apa kemarin? Kau tidak makan sembarangan kan? Apakah sakit?"
DIbrondong banyak pertanyaan dalam sekali waktu membuat Theodore kelimmpungan. Dia sama sekali tak memiliki persiapan, apalagi jarak Rachel terlampau dekat dengannya. Harum citrus semakin menguar kuat, meluluhkan hatinya, melemaskan pertahanan. "Apa maksudmu Kak?" Theodore menjauhkan tubuhnya, menjaga agar aroma Citrus tak semakin jauh merusak batinnya. Kalau terlalu lama mencium aroma itu, Theodore tidak yakin dia bisa kembali kuat.
"Ini," ujar Rachel. Menggenggam pergelangan tangan si pemuda tinggi, lalu ibu jarinya mengelus dengan lembut permukaan kulit yang berwarna lebih merah ketimbang yang lain. "Kau tidak melukai dirimu karena masalah kemarin kan?"
Thedore terkesiap begitu mendengar pertanyaan dari si gadis berambut hitam. Perlahan melepaskan genggaman tangan Rachel, menjauhkan diri lebih dulu. "Well, yeah.. Aku tidak apa-apa," ujarnya setelah menduduki salah satu sofa single. Jawaban tadi memiliki arti ganda, benar-benar tidak apa-apa atau hanya tak ingin membahas permasalahan lebih rinci. Tak ingin mengingat kembali.
Barangkali ini memang kelebihan seorang yang usianya lebih dewasa. Rachel tahu apa yang sedang Theo sembunyikan, terlihat dari sikap pemuda itu yang malah duduk sendirian dan bukannya berada di sebelahnya. Rachel tak memaksa, tak juga membrondong dengan pertanyaan-pertanyaan lagi. Dia memilih untuk mundur, duduk di tempatnya semula, cukup jauh dari Theodore.
Suasana di ruang tamu seketika menjadi hening. Atmosfer tiba-tiba berubah menegang, sesuatu yang bisa kau temukan ketika berada di dalam ruang persidangan atau ruang operasi organ vital. Dimana semua bisa menjadi lebih buruk kalau salah mengambil langkah.
Kedua orang di sana tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Menyusun segala kalimat untuk dapat mengutarakan perasaan sebenarnya tanpa menimbulkan kesalahpahaman. Tetapi, sekarang sangat sulit untuk bersikap biasa saja setelah semua terjadi di depan mata mereka. Tidak ada yang bisa mereka lakukan, kecuali memakai cara paling buruk. Dan tentu saja itu bukan pilihan mereka berdua.
"Kak—"
"Theo—"
Lalu suasana kembali hening serta canggung setelah keduanya saling melempar kata. Satu kata, secara bersamaan.
Theodore berdehem sekali. Menetralkan pita suara agar tak terdengar menyedihkan. "Kakak sudah makan?" Lalu merutuki mulut bodohnya karena mengeluarkan kalimat tidak penting untuk sekarang.
'Ayo kabur sekarang!'
'Kita bisa menikah diam-diam.'
'Aku akan bekerja apa saja untuk membiayai hidup kita berdua.'
'Aku mencintaimu Rachel.'
Begitu banyak yang bisa Theodore katakan sebenarnya. Namun rasa gugup ini sukses merusak suasana, membuat pikirannya tak fokus selain berusaha menetralkan debaran di dalam dada.