Hal semacam ini mungkin dapat dijumpai dalam drama ataupun film roman picisan kebanyakan. Juga pada novel percintaan di abad 15 yang kerap kali menampilkan akhir cerita tragis. Terkesan mustahil terjadi di abad 21 seperti sekarang.
Tetapi, perlu diketahui bahwa dunia itu bulat. Berputar terus menerus, kembali ke titi yang sama setiap saat, mengulang sejarah lagi. Apa yang terjadi di masa lalu besar kemungkinan untuk kembali terjadi di masa depan, masa sekarang.
Cukup sulit memahami situasi dimana dia melihat dengan mata kepalanya sendiri keberadaan gadis berambut hitam ketika melangkah memasuki aula makan setelah menenangkan diri di toilet. Awalnya Theodore berniat berdamai dengan dirinya prihal pernikahan sang ayah. Siapapun wanita yang akan menjadi ibu tiri nya nanti harus dia terima dengan senang hati. Lagipula, dia sudah dewasa, sudah seharusnya memaklumi percintaan orang dewasa.
Manusia adalah makhluk sosial, hal itu sangat menjelaskan bahwa tak ada seorang pun yang bisa bertahan hidup sendirian. Apalagi kalau harus menjadi orang tua tunggal seperti yang selama ini Sean lakukan. Pria tua itu juga butuh perhatian dari seseorang bukan? Theo sangat paham.
Namun, dia sama sekali tak paham kenapa harus ibu dari kekasihnya? Kenapa harus orangtua Rachel yang menjadi ibu tirinya kelak?
Waktu itu, Theodores sudah tidak bisa berpikir jernih dan pada akhirnya kembali masuk ke dalam salah satu bilik demi menyusun rencana lain.
Yang mana tak pernah terlaksana hingga dia berakhir di sebuah kamar bersama dengan seorang pemuda berambut gelombang hitam.
Sudah sekitar setengah jam tak ada diantara mereka yang memulai percakapan lebih dulu.
Theodore masih dalam posisi awal, duduk seperti batu, tak bergerak apalagi bicara. Sementara pemuda lain yang berada satu ruangan, hanya sesekali melirik tanpa keberanian bertanya. Situasi diantara mereka sedingin es di kutub selatan. Jean paling merasakan hal itu karena kulit lengannya telah tampak berbintil-bintil dengan bulu-bulu halus berdiri tegak. Padahal AC sudah di matikan, jendela juga terutup rapat. Namun udara dingin menusuk kulit masih saja dia rasakan.
"Bung, bicaralah. Kau membuat kamarku berubah menjadi ruangan pendingin kalau seperti ini terus."
"Aku akan menginap di sini," sahut Theodore sembari merebahkan dirinya di atas sofa. Lengan kirinya terangkat ke arah wajah, menutupi bagian mata, membantu kelopak matanya terpejam. Nafas teratur terdengar setelahnya. Pertanda pemuda itu telah tidur, atau hanya pura-pura.
"Hey, siapa yang mengijinkanmu tidur di sini?" Jean melemparkan bantal ke arah Theodore yang tepat mengenai bagian wajahnya. Bermaksud mengganggu pemuda itu agar terusik lalu pulang sendiri.
Theodore sepertinya cukup terusik. Dia bangun dari posisi tidurnya. Tetapi bukannya langsung pergi, dia justru mencondongkan tubuh ke arah bawah untuk mengambil bantal yang tadi dilemparkan ke arahnya dan jatuh ke lantai. Meraihnya untuk di gunakan sebagai alas kepala. "Terimakasih." Lalu dengan santai membalikkan tubuh memunggungi pemuda di seberangnya.
Jean mendesis agak kencang agar terdengar sampai ke tempat Theodore. Meskipun begitu, dia juga merasa sedikit iba dengan keadaan temannya. Mereka memang tak selalu akur, tapi bukan berarti hubungan keduanya tidak berjalan mulus. Seperti persahabatan antar lelaki, tak ada hal manis di antara mereka namun ikatan batin yang mereka miliki sudah persis seperti saudara kandung (walau keduanya tak mau mengakui sama sekali).
"Ya ya terserah kau saja, tapi jangan berani-berani tidur di kasurku."
"Aku lebih baik tidur di lantai kalau harus tidur denganmu."
"Si sialan ini—" Jean berusaha menahan umpatan yang akan keluar. Dia segera memasang kembali headphone menutupi kedua telinganya. Lalu dengan sengaja mengencangkan volume sampai ke titik dimana suara dari luar tak terdengar. Jean bersumpah tak akan menggubris kalau Theodore mengajaknya bicara, atau apapun yang dilakukan pemuda itu nantinya.
"Apa yang akan kau lakukan saat liburan musim panas nanti?"
Tidak ada tanggapan dari pemuda di depan layar. Jean benar-benar taat pada sumpahnya. Atau memang suara Theodore sama sekali tak sampai ke telinga si maniak game.
BUGHH!
"HEY!" Satu lemparan sepatu sukses mengenai lengan Jean. Membuat pemuda itu mau tak mau mengalihkan pandangan dari layar monitor ke arah si pemuda menyebalkan. "Apa masalahmu Bung?!"
"Aku tanya, apa yang akan kau lakukan saat liburan musim panas nanti?" Theodore mengulangi pertanyaannya. Entah apakah itu bisa disebut sebuah pertanyaan karena tak ada raut penasaran di wajah pemuda itu. Hanya datar, bahkan tatapannya nyaris kosong.
Jean memberikan tatapan tajam sembari mengelus lengannya —yang menjadi korban lemparan sepatu tadi— lalu wajahnya mengkerut. Manik matanya turun kemudian naik kembali, berubah-ubah seiring dengan pikirannya mencoba mencari jawaban. Sedikit mendramatisir sebenarnya, karena Jean sendiri sudah memiliki sebuah kepastian akan pertanyaan yang diajukan padanya.
"Hawai mungkin."
"Aku ikut kalau begitu."
"HEH?!"
"Akan ku ajak kak Rachel juga."
"Yang benar saja!" Jean mendelik tidak sabaran. Dia sudah tak peduli karakternya kini sekarat karena ditembaki oleh lawan dari berbagai sudut. "Kau sengaja mau pamer kemesraan di hadapanku huh?"
Theodore terkekeh yang mana terdengar sangat menyebalkan di telinga Jean. "Makanya, kau juga cari pacar sana~"
"Berisik! Pengkhianat sepertimu tak pantas mengguruiku!" Jean kembali pada kesibukannya. Berusaha agar tak teralihkan oleh apapun yang dikatakan Theo. Meski berkata begitu, tetapi dia selalu saja tak tahan kalau tidak menanggapi ucapan temannya.
Perihal berkelahi bisa dibilang dirinya lebih unggul daripada Theodore, tetapi kalau untuk membuat kesal si ikal coklat itu yang paling bisa. Bagaimanapun caranya, Theodore selalu berhasil membuat Jean kehilangan kata-kata. Yang mana Jean akan mengalihkan dengan alasan tak sinkron lainnya. Sekalipun itu tak ada hubungannya dengan permasalahan mereka.
Theodore tak lagi melanjutkan aksinya untuk membuat kesal Jean. Dia kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mengalihkan pandangan dari sosok pemuda lain -yang kini sibuk mengumpat karena timnya kalah dua ronde- pada langit-langit kamar di atasnya. Ada beberapa stiker menempel di sana. Benda berbentuk mirip bintang dan bulan itu akan menyala saat ruangan sekitarnya menjadi gelap. Theodore tersenyum kecil mendapati sisi kekanakan Jean di balik sifatnya yang berandalan.
Pilihannya untuk datang ke sini memang tepat. Setidaknya bertemu Jean dapat membuat pikirannya sedikit teralihkan. Meski tak mampu merubah suasana hati yang sudah terlanjur menggelap.
"Hah, kalau saja aku dan kak Rachel bisa pergi tanpa terbebani seperti itu.."
"Kau bicara apa?" Jean sedikit membuka headphone sebelah kiri agar bisa mendengar lebih jelas suara Theo.
"Urus saja game mu itu."
"Sudah kalah."
"Oh, berarti itu karma," celetuk Theodore dengan wajah tanpa dosa yang mana semakin membuat Jean naik pitam.
"Anak ini—" Lagi-lagi Jean menahan segala makian yang akan keluar. Dia tahu kalau Theodore sedang tidak baik-baik saja. Tetapi egonya terlalu tinggi untuk sekedar bertanya. "Kau mau ayam goreng?" Jean sudah siap dengan ponsel di tangannya. Perlu beberapa detik saja untuk memesan sebuah makanan. Anggaplah ini sebagai bentuk usahanya untuk menghibur seorang kawan yang sedang bersedih. Tanpa banyak kata namun langsung menunjukkan aksi nyata.
"Tambahkan bir juga."
"Si kampret ini."
Tetapi Jean lupa kalau Theodore akan semakin menyebalkan ketika sedang bad mood.