Sepasang kaki jenjang ditutupi oleh sepatu pantofel tanpa hak juga tanpa hiasan apapun, berwarna putih dengan beberapa bagian kecil kontras karena kusam. Terlihat gelisah di bawah meja, bergerak ke kanan dan kiri, sesekali mengetuk-ngetuk lantai menggunakan ujungnya yang tumpul.
Percakapan antara orang dewasa di sebelahnya sama sekali tak dia gubris, lebih tepat bahwa isi pikirannya mulai acak dan tak seimbang. Seperti sebuah televisi yang kabel bagian belakangnya di pasang secara tak beraturan tak memenuhi standar. Menjadi tak berfungsi dengan baik.
Ada yang aneh dari percakapan antara ibunya dengan pria ini. Rachel berusaha berpikiran positif meskipun batinnya terus menerka-nerka, menghasilkan praduga paling masuk akal namun enggan dia terima.
'Semoga ini salah.'
Begitulah yang terus menerus Rachel serukan dalam hati di balik senyuman lembut yang dia tujukan pada kedua orang dewasa disebelahnya. Dia hanya gadis biasa, bukan seorang aktris atau paling banter anggota klub teater, menutupi perasaan sebenarnya sangat sulit untuk dilakukan. Terbukti dari seberapa kerasnya dia untuk tertawa ketika menanggapi candaan si pria dewasa, responnya terlihat sangat kaku terkesan dipaksakan.
"Ada apa Nak?" tanya pria itu sembari menatapnya lembut, khawatir sudah pasti. "Apa kau ingin makanan pembuka lebih dulu?"
"Tidak perlu Tuan," sahut si gadis, telapak tangannya bergerak ke kanan dan kiri memberi gestur penolakan secara jelas. Sedikitnya, Rachel merasa tak enak atas respon paling peka yang ditunjukan pria di depannya. Barangkali semua pikiran rancu hanya sekedar halusinasi semata, tak benar-benar menjadi kenyataan. Semata-mata terbentuk dari fantasi gilanya.
"Maaf yah, aku harus membuat kalian menunggu. Ku pikir dia akan cepat menyusul," tutur si pria dewasa, rasa bersalah terlihat dengan jelas di wajahnya. Tetapi masih mempertahankan tatapan lembut, yang entah kenapa malah membuat Rachel merasa tak nyaman. Karena, Demi Tuhan, Rachel bersumpah mendengar gumamam samar di akhir kalimat, tipis nyaris tanpa suara kalau tak diperhatikan lebih seksama.
'Jangan-jangan dia kabur dari pintu belakang?'
Kabur?
Siapa yang kabur?
'Dia?'
Lantas mengapa mesti kabur?
Begitu banyak pertanyaan membeludak dalam batin namun tak bisa terucapkan begitu saja. Statusnya sebagai gadis biasa ditambah mungkin saja pertanyaannya akan membuat dia kehilangan pekerjaan. Diam menjadi pilihan paling baik.
Setidaknya untuk saat ini.
Sebelum Rachel tahu apa yang tengah terjadi saat ini.
.
.
.
.
.
.
'Bugh!'
'BUGGH!'
Salah satu pintu bilik toilet pria bergetar. Bersamaan dengan suara keras yang berasal dari dalam sana.
"Argghh!"
Sebuah geraman sarat akan keputus-asaan bergema, memantul pada setiap dinding-dinding putih dingin. Tempat ini kosong, sama seperti hati dan isi kepalanya. Dia tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Bukti paling jelas tampak pada daun pintu bercat putih, sudah lecet akibat benturan tapak sepatu kulit yang ditendangkan secara brutal beberapa saat lalu. Juga tetesan darah yang mengucur dari punggung tangan pemuda itu. Meskipun sudah terluka, tetapi rasa sakit tak mampu menutupi lubang besar yang menganga dalam hatinya.
Dia menempelkan ponselnya pada telinga, hal yang sudah dia lakukan sedari tadi. Tetapi panggilan tersebut hanya mendapatkan bunyi statis atau paling banter suara operator wanita.
"Ayolah, sekali saja angkat.. tolong angkat..."
Harapan satu-satunya mulai mengabur seringin pandangannya perlahan menjadi buram. Embun telah menggenang di pelupuk mata, penuh dan menetes tanpa seizinnya. Sinyalnya masih bagus walau kini berada di dalam toilet, meskipun begitu, tak ada tanda-tanda panggilannya akan tersambung. Malahan kini putus total.
'BRUAAK!'
Benda persegi tipis menjadi pelampiasan akhir. Dilemparkan sangat kuat pada permukaan daun pintu —semakin bertambah cacat— lalu memantul ke arah dinding sebelahnya sebelum berakhir tergeletak di atas permukaan ubin kotak-kotak dingin. Tampak layarnya berkedip beberapa kali sebelum mati total. Tak mengherankan kalau melihat bagaimana kondisi ponsel itu saat ini. Layarnya retak dengan beberapa bagian lain tercerai berai. Lebih mirip seperti efek jatuh dari ketinggian berpuluh-puluh lantai daripada sekedar sebuah lemparan.
Usahanya seakan dikhianati oleh kuasa semesta. Tuhan seolah tak merestui hubungan mereka dengan tak memberikan keajaiban kecil yang selalu diagung-agungkan para pengikutnya.
Kalau berpikir ini adalah karma dari perbuatan buruknya dulu, Theodore jelas tidak setuju. Selama ini, dia tak pernah menjadi anak nakal yang sering memberontak. Bahkan, apapun yang dikatakan sang ayah akan dia lakukan tanpa bertanya dua kali. Sikap penurutnya semakin menjadi ketika sang ibu telah tiada. Melihat bagaimana sang ayah yang begitu sedih dan terpukul membuat Theodore tak sampai hati kalau harus menambah beban ayahnya. Pria tua itu sudah melakukan usaha paling baik demi merawat serta mendidiknya seorang diri. Dan, itu tak mudah.
Bahkan sampai sekarang, dimana dia bisa saja menolak mentah-mentah pernikahan ayahnya dengan si wanita pilihan, tetapi Theodore tak melakukannya. Dia, tak mampu kalau melihat ekspresi sendu kembali tercetak di wajah ayahnya. Mengingatkan pada saat dimana kehilangan istrinya, ibu Theodore, Sunny.
Theodore mengambil kembali ponsel yang telah mati total, mengantongi bangkai ponsel ke dalam saku celana depan. Dia membiarkan bagian-bagian benda elektronik yang tertinggal dan berserakan di ubin putih.
Membuka daun pintu lalu berjalan lunglai keluar dari tempat yang menjadi saksi bisu atas pelampiasan segala macam emosi. Tumpah ruah seperti aliran air dari keran yang terbuka. Theo berdiri mematung di depan kaca wastafel, suara gemericik air seolah mengolok-olok atas kegagalannya mempertahankan hubungan. Dunia ini sangat kejam, sialnya dia baru menyadari sekarang secara jelas dan mutlak bahwa tak ada hal yang dapat diperoleh bebarengan. Satu harus dipertahankan dan yang lainnya terpaksa terbuang. Mestinya Theodore berani memilih, tetapi dia terlalu pengecut untuk mengungkapkan secara gamblang.
Tadinya sempat terpikir untuk membawa kabur Rachel dari tempat ini, berlari tanpa berbalik juga tanpa persiapan yang matang. Barangkali inilah alasan kenapa Tuhan menggagalkan rencananya.
Cermin luas di hadapannya memantulkan bayangan wajahnya, sanyu dan menyedihkan, dengan beberapa jejak air mata di pipi serta mata dan hidung memerah sembab. Siapapun yang melihatnya pasti berasumsi kalau pemuda tinggi ini habis menangis. Ketika masa kecil, menangis terasa lebih mudah bahkan mampu membuat keinginannya tercapai. Tetapi memasuki masa pubertas macam sekarang, menangis hanya akan memperlihatkan sisi lemah dari dalam diri dan berakhir kegagalan absolut.
Theodore segera menyeka wajahnya dengan air yang sedari tadi mengalir. Dingin, namun tak cukup untuk mendinginkan kepala dan hatinya. Di dalam sana masih terasa panas.
Dia meninggalkan ruang toilet pria dengan langkah berat. Rasanya seperti menuju ruang eksekusi mati. Debaran jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya ketika sudah memasuki ruang makan, dimana terlihat ramai namun masih tertata.
Di ujung sana, iris kecoklatannya langsung berfokus pada salah satu meja. Di tempati oleh dua orang dewasa, laki-laki dan perempuan, serta seorang gadis berambut hitam yang juga balik menatapnya.