Waktu melambat, segala pergerakan di sekitar sini seolah berjalan dalam slow motion, berhenti di satu waktu. Menyisakan dua anak manusia yang kini memandang satu sama lain, dengan pikiran yang berbeda. Satu diliputi rasa penasaran sedang yang lain diliputi keresahan.
Theodore tak ingin berada di sini. Dia ingin melarikan diri secepatnya, kabur seperti angin sambil membawa kekasihnya. Tetapi semua itu hanyalah fantasi liar yang terbentuk dalam kepalanya, karena pada kenyataan, tubuhnya sudah duduk di atas sebuah kursi. Berada sebelah ayahnya, dan persis di depan gadis berambut hitam pekat, yang seharusnya dia bawa lari beberapa menit lalu.
"Kenapa lama sekali?" tanya si pria paruh baya, sedikit menyenggol lengan Theodore.
"Tisunya habis, jadi aku pergi ke bilik sebelah untuk mendapatkan tisu—" sahut Theodore tanpa melepaskan pandangan dari Rachel. Sebelum beralih ke arah wanita lebih tua di sebelah gadis itu. "Meskipun aku harus berjalan terseok karena belum membersihkan 'itu'"
"Ted! Apa yang kau katakan?!"
Suara ayahnya meninggi pada kata pertama, lalu berbisik di kalimat akhir. Tak lupa memberi tatapan tajam sebagai ancaman agar Theodore tak mengatakan hal menjijikan macam ini di saat mereka baru mulai makan malam. Theodore tak menjawab. Dia memang sengaja melakukan hal itu. Namun, perasaan aneh menggerogotinya kemudian.
"Untunglah kau tidak mengalami hal yang lebih parah~" Si wanita paruh baya menyahut.
'Aku sedang mengalami hal yang lebih parah.' Theodore ingin menyeletuk begitu, namun ada sesuatu aneh yang menahannya. Atmosfer di ruangan ini terasa sedikit er- lebih hangat dan nyaman. Sama seperti berada di dalam rumah, bersama dengan keluarga lengkap. Theo tertegun pada pikirannya sendiri yang mudah berubah jauh, tak terkendali. Rasanya lebih parah daripada terombang-ambing sampan di tengah-tengah lautan, yang mana kenyataannya dia sama sekali belum pernah mencoba.
"Kalau aku, dulu pernah sampai terkunci di dalam toilet karena kecerobohanku sendiri. Padahal sudah ada papan penanda bahwa toilet itu sedang dalam keadaan rusak, tetapi saking buru-burunya aku sampai tak melihat dan malah masuk seenaknya. Lalu, butuh setidaknya tiga orang untuk membantuku keluar. Mereka harus menjebol pintu untuk mengeluarkan seorang wanita bodoh~"
"Hahahaha... sungguh? Itu sangat parah. Tapi, ku rasa semua orang pasti pernah melakukan hal ceroboh. Sama sepertiku, dulu aku..."
Theo mengernyitkan dahi ketika mendengar tanggapan semacam itu keluar dari mulut ayahnya. Cukup membuatnya tertegun karena selama ini dia tak pernah lagi melihat pria itu tertawa lepas seperti ini. Seolah sedang melihat orang lain. Tetapi diam-diam batinnya merasakan gejolak bahagia. Sudah sangat lama sejak dia mendengar tawa renyah serak dari ayahnya. Semakin diperhatikan, semakin tampak jelas kerutan di sisi-sisi wajah pria itu. Ayahnya sudah mulai menua, waktu sudah berlalu sangat lama semenjak kematian Sunny. Mereka sudah terlalu lama berjalan di tempat yang sama.
Melipir ke sisi lain kaca berbentuk bundar, terdapat dua wanita yang saling berhubungan darah. Theo menatap dalam diam ke arah wanita yang lebih tua. Sama seperti ayahnya, wanita itupun memiliki kerutan pada beberapa area wajahnya yang mana memiliki pahatan sama persis dengan Rachel. Kulitnya tampak putih pucat tak seperti kulit orang normal lainnya. Tanpa sadar Theodore telah mengamati terlalu lama, sampai-sampai membuat wanita yang menjadi objek pengamatannya tersadar dan balik menatapnya.
Tanpa kata, dan tersenyum begitu saja.
Theodore cepat mengalihkan pandangan pada makanan pembuka di depannya. Ini terlalu berbahaya. Bagaimana bisa sebuah senyuman mampu membuat hatinya menghangat. Padahal baru beberapa saat lalu perasaannya tercerai berai. Berantakan, seperti susunan keping puzzle yang di tendang sebelum berhasil membentuk pola teratur. Gawat bukan kepalang.
Ekspresi tidak biasa dari si pemuda tinggi rupanya diketahui oleh Rachel. Ada yang tidak beres, pikirnya. "Mr. Sean, kalau boleh tahu, sebenarnya ini perayaan untuk apa?"
Pertanyaan Rachel sontak menghentikan tawa dari kedua orang dewasa itu. Sean —ayah Theodore— menatap ke arah wanita paruh baya di depannya, seolah mengirim kode lewat tatapan mata yang kemudian mendapat anggukan kecil sebagai bentuk persetujuan.
Sean menyesap cairan berwarna merah agak kental dari cawan kaca, terdengar tarikan nafas lumayan panjang sebelum dia memberikan jawaban. "Sepertinya aku sudah terlalu banyak berbasa-basi," ujarnya sembari menatap ke arah Rachel juga Theodore. "Kami sebenarnya telah membahas ini sebelumnya, tetapi ku pikir, karena anak-anak kita cukup dewasa untuk mengerti maka kami adakan pertemuan hari ini."
Theodore bergerak gelisah dalam duduknya. Sementara Rachel hanya memasang wajah penasaran.
"Sebenarnya, kami mengajak kalian kesini untuk memberitahu bahwa kami, Aku dan Emily akan segera menikah. Dua minggu lagi."
"Menikah?" Rachel tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Iris mata hitamnya terbelalak sempurna, tetapi pernyataan tak terduga dari Pria tua itu tak lebih mengejutkan daripada melihat Theodore yang tak memberikan respon apapun. Seolah pemuda itu sudah mengetahui perihal ini.
"Mungkin ini terkesan mendadak, tapi ketahuilah bahwa sebenarnya kami sudah bertunangan setahun yang lalu. Hanya saja, kami sedang menunggu waktu yang pas untuk memberitahu kalian. Dan, inilah saatnya," jelas Sean.
Rachel melihat tangan ibunya berada dalam genggaman pria yang selama ini dia kenal sebagai orang yang memberikan pekerjaan untuknya. Jemari besar Sean mengelus punggung tangan ibunya dengan lembut, penuh kasih sayang. Sangat menjelaskan bahwa pernyataan dari pria itu sama sekali bukan candaan.
Semua ini benar-benar kenyataan, dan Theodore masih belum memberikan respon apapun. Rachel memberi tanda dengan menyenggol kaki Theo di bawah meja. Hal itu sukses membuat si pemuda berambut ikal mendongak. Tetapi hal aneh terjadi, iris mata kecoklatan yang selalu tampak cerah kini malah berpendar temaram. Tak ada cahaya di dalam sana. Seolah jiwa telah meninggalkan raga Theodore.
"Theo, terimakasih yah sudah berteman dengan Rachel." Kini giliran Emily -ibu Rachel- berbicara.
Suaranya terdengar begitu lembut, khas seorang ibu. Yang mana sudah sangat lama bagi Theodore untuk merasakan perasaan seperti ini. Batinnya bergejolak di dalam, dia tak tahu harus memberi respon bagaimana. Menggebrak meja dan mengatakan dengan lantang bahwa dia tak setuju dengan rencana pernikahan ini? Dan melukai perasaan seorang wanita tak berdaya dengan satu ginjal karena telah memberikan bagian lain kepada ibunya? Ini gila!
Tak ada perkataan yang keluar dari mulut Theodore selain hanya menganggukkan kepala.
"Aku juga sangat berterimakasih pada Rachel. Karenamu, Theodore jadi tidak kesepian di rumah. Nilai-nilainya juga semakin meningkat," tutur Sean dengan bangga. Yang mana berbanding terbalik dengan ekspresi sang anak. Remaja lelaki itu terlihat lebih pendiam dari biasanya.
Rachel tak tahu harus memberi tanggapan seperti apa. Melihat bahwa kekasihnya tak mengatakan apapun, apalagi sebuah penolakan, rasanya seperti dikhianati secara diam-diam. Sudah sejak kapan Theodore mengetahui hal ini? Kenapa dia sama sekali tak mengatakan apapun? Kira-kira begitu isi pikiran Rachel. Namun, mulutnya sama sekali tak mampu berucap.
"Theodore, kau sakit?" tanya Emily. Rupanya dia cukup tanggap mengenai gelagat si remaja lelaki. Tapi tak cukup sadar mengenai sesuatu yang berada di antara Rachel dan Theodore.