Chereads / Ain't About Us / Chapter 14 - Pertemuan Kedua Belah Pihak

Chapter 14 - Pertemuan Kedua Belah Pihak

Theo menghabiskan waktu dengan mengurung diri di dalam kamar. Memikirkan pilihan mana yang paling terbaik. Tetapi hati dan pikiran rasionalnya sedang tak bisa bekerja sama. Mereka cenderung bertolak belakang. Masing-masing memiliki pilihannya sendiri yang jauh berbeda.

Theodore tengah mengalami konflik batin paling puncak selama masa hidupnya. Dia mendadak linglung, tak tahu tujuan kedepannya, pikirannya kosong melompong. Seketika merasakan sekitarnya adalah ruang hampa. Menghisap eksistensinya di dunia ini, seakan-akan dirinya tak lebih dari debu atau molekul atom terkecil.

Kondisi batin yang tak beraturan membuat perdebatan cukup intens di dalam dirinya. Dia cenderung merubah keputusan secepat balikan tangan. Kadang memilih setuju, tetapi satu detik kemudian langsung menyangkal dan rasa bersalah pada ibunya kian bertambah.

Ini lebih susah daripada memilih harus ikut bersama siapa ketika seseorang berada di tengah-tengah kasus kedua orangtuanya. Tentu juga karena Theodore tak pernah mendapati keluarganya berada dalam perceraian. Perpisahan ini terjadi secara sepihak dan tanpa izin siapapun.

Theo berusaha menenangkan pikiran dan perasaannya yang cukup berantakan.

Hirup nafas panjang, menahannya sekitar 5 detik, lalu menghembuskannya perlahan.

Dia terus melakukan itu selama beberapa kali sampai keadaannya mulai membaik dan dia bisa berpikir dengan kepala dingin.

Ini bukan hanya tentang dia, bukan hanya tentang kesetiaan pada ibunya. Tetapi mengenai tanggung jawab yang harus dilakukan demi membalas kebaikan hati.

Theo tahu bagaimana menderitanya seseorang yang hanya memiliki satu ginjal demi bertahan hidup. Sangat menyakitkan. Barangkali inilah saat yang tepat dimana dia bisa menyelamatkan hidup seseorang.

Kini, tepat di depan cermin persegi panjang menggantung di dinding, Theo berdiri dengan pakaian rapi seperti permintaan ayahnya. Kemeja berwarna biru muda dan celana kain abu-abu yang sangat pas membalut kaki panjang atletisnya.

Theo berusaha memperbaiki senyumannya yang tampak menyedihkan. Dia tak boleh merusak suasana bahagia ini. Siapapun wanita itu nantinya, dia harus bersikap ramah dan sopan.

"Theodore.. kau sudah siap?"

Suara berat dari ayahnya terdengar di luar kamar.

Theo memastikan kembali penampilannya, menghela nafas lumayan berat sebelum beranjak ke arah pintu kamar.

"Aku.. sudah siap Pa."

.

.

.

.

.

.

Langit sore hari sudah sepenuhnya berwarna jingga, matahari tampak perlahan tenggelam di balik bangunan lain yang lebih tinggi. Di dalam gang bahkan terlihat lebih gelap. Jalan kecil bertekstur tak rata dengan beberapa lubang yang dibiarkan begitu saja, beberapa tong sampah berukuran sedang diletakan di sisi kanan maupun kiri, membuat udara di sini lebih lembab sekaligus busuk di saat yang bersamaan.

Meski begitu, makhluk hidup secerdas manusia akan mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, tubuhnya secara jenius berevolusi sangat cepat demi bisa bertahan hidup di situasi dan kondisi macam apapun.

Terbukti dari seorang gadis berambut hitam yang terlihat tak terganggu sama sekali dengan bau di sekelilingnya. Aroma busuk seperti sampah basah ataupun air pembungan berwarna hitam seolah menjadi hal biasa, tak ada indikasi dirinya akan muntah ataupun pingsan karena bau tajam tersebut.

Dia kemudian masuk ke sebuah gedung agak tua dengan beberapa dinding mengelupas, tetapi beruntungnya gedung tersebut tampak lebih hidup di tengah-tengah gang gelap ini. Cahaya kuning dari lampu di bagian depan berpendar hampir meredup, menerangi hanya sebagian are depan, tapi cukup untuk mengusir kecemasan bagi siapapun yang merasa terlalu takut berjalan di gang gelap ini. Terkecuali untuk Rachel.

Gadis itu sama sekali tak merasakan ketakutan apapun di dunia ini. Bukan karena dia memiliki kekuatan luar biasa seperti superman atau hulk, tetapi lebih pada sudah sejauh apa dia berjuang demi hidupnya dan keluarganya. Tak ada yang lebih menakutkan daripada tidak memiliki uang sama sekali, tak bisa makan, tak punya tempat tinggal.

Pemikiran itu telah diturunkan oleh sang ibu. Yang mana wanita paruh baya itu telah merelakan sebagian organ tubuhnya demi mendapatkan uang untuk biaya sekolah Rachel dan biaya hidup mereka. Menjadi orang tua tunggal ditambah seorang wanita, membuat ibu Rachele cukup kesulitan. Segala pekerjaan sering dia lakukan ketika masih sehat, namun setelah salah satu organnya diambil, kecil kemungkinan untuk bisa bertahan melakukan banyak pekerjaan yang memakan tenaga lebih.

Selama itu mereka hanya hidup dari uang hasil donor.

Baru setelah Rachel beranjak dewasa, segala kebutuhan hidup dapat terbantu dari hasil part time yang gadis itu lakukan sepulang kuliah maupun ketika hari-hari libur. Tak cukup banyak memang, namun karena itu dapur mereka tetap bisa aktif, penghangat ruangan tetap bisa menyala, musim dingin maupun musim panas dapat mereka lewati dengan berteduh di dalam ruangan minimalis ini, tak jadi gelandangan yang luntang-lantung di jalanan.

"Aku pulang.."

Rutinitas seperti biasa yang selalu Rachel lakukan, memberi salam sembari meletakan sepatu di ranjang sebelah kiri dari pintu masuk. Biasanya tak ada jawaban karena ibunya bekerja pada salah satu minimarket kecil di ujung jalan. Wanita itu sudah dilarang keras oleh Rachel untuk tetap berdiam diri dirumah saja, tetapi selalu dibantah. Katanya, selagi mampu berjalan dan bernafas, pekerjaan apapun bisa dia lakukan.

Konyol sekali bukan.

Dedikasinya membahagiakan anak terlampau tak masuk akal. Tak ada yang bisa Rachel lakukan selain terus memantau kesehatan ibunya.

Tetapi sekarang berbeda.

Lampu-lampu yang biasanya masih padam sudah menyala di seluruh ruangan.

Rachel bertanya-tanya dalam hati. Pikiran negatifnya memproyeksi hal-hal buruk seperti, bagaimana jika ibunya pingsan di dalam pekerjaan? Kadangkala hal itu terjadi, apalagi kalau ibunya telat meminum obat yang sudah disediakan.

"Ibu," panggil Rachel sembari melangkah masuk. Selasar rumah terasa lebih hangat dari biasanya. Tak ada debu di lantai menandakan seseorang telah membersikannya sebelum dia datang. Ibunya, baik-baik saja kan?

"Ibu—"

"Sayang~ sudah pulang?"

Sosok wanita paruh baya keluar dari balik pintu kamar. Tersenyum lembut ke arah Rachel. Tetapi, bukan itu hal paling mengherankan. Wajah ibunya tampak lebih cantik berkali-kali lipat berkat polesan make up, bibir yang selalu pucat kini merah merona, belum lagi pakaian yang membalut tubuhnya terlihat lebih rapi dan anggun di saat bersamaan. Satu lagi, ibunya jarang sekali memakai wewangian apapun, katanya tak ada hal penting yang mengharuskannya menghabiskan benda lumayan mahal tersebut, lalu kini aroma lavender segar menguar dari tubuh wanita tersebut.

"Ibu, mau kemana?" tanya Rachel. Wajahnya tampak terkejut dan penasaran.

Wanita itu tak langsung menjawab, dia tersenyum sangat manis yang menambah kadar keanggunan dalam dirinya. "Kau juga bersiap-siap lah, pakai pakaian yang paling bagus."

"Bu, kita mau kemana?" Rachel terlihat tak sabaran. Tentu saja, ini sangat aneh dan tak biasa. Siapapun pasti akan melakukan hal sama seperti dirinya. Dia tak akan berhenti bertanya sebelum ibunya menjawab.

"Nanti akan Ibu jelaskan ketika sudah sampai di tempatnya."

Meski jawaban itu tak cukup memuaskan rasa penasarannya, Rachel tetap menuruti perintah sang ibu. Melihat bagaimana wajah yang selama ini terlihat lesu dan sendu kini berubah menjadi ceria dengan senyum lebar mengembang, tak ada yang lebih membahagiakan selain perubahan paling signifikan yang sangat positif terhadap ibunya.

Rachel akan sangat berterimakasih pada apapun dan siapapun yang telah membuat ibunya sebahagia ini.

.

.

.

.

.

Pupil mata gadis itu membesar dua kali lipat ketika mendapati dirinya sudah berada di sebuah restoran bintang lima yang sangat-sangat mewah. Lantainya terbuat dari batu indah -Rachel tak cukup paham dengan bahan bangunan- lukisan-lukisan bergaya romawi kuno terpajang di beberapa sudut ruangan. Patung-patung pahatan juga berjejer di sepanjang lorong menuju ruang utama. Tempat paling luas dengan banyaknya meja dan kursi tersusun rapi, lampu gantung berbahan kristal menambah eksentrik ruangan ini. Dan, jangan lupakan alunan musik yang menemani acara makan malam luar biasa. Kebanyakan para pengunjung berpakaian sangat rapi dan formal, para orang-orang penting.

Ini membuat Rachel semakin bertanya-tanya, kenapa ibunya datang ke sini? Ini bukan tempat untuk mereka, orang-orang kelas bawah.

"Ibu.. Kalau mau makan enak, aku bisa belikan ayam goreng atau pizza kok. Tapi kalau di tempat ini—"

"Tenanglah sayang," sahut wanita itu sembari menggenggam tangan anak gadisnya.

Hal itu cukup membantu menenangkan Rachel, meski rasa penasaran masih menyelimuti pikirannya.

"Hay~"

Sebuah suara berat terdengar menyapa mereka. Rachel mendongak dan mendapati wajah yang tak asing baginya.

"Sudah lama menunggu? Maaf yah tadi ada sedikit kendala.." Pria itu tersenyum ke arah ibu Rachel.

"Tidak masalah kok—"

"Tentu saja masalah, aku sudah membuat wanita secantik dirimu menunggu lama. Harusnya kau memesan makanan dulu sembari menunggu ku~"

Rachel mengernyit bingung. Dia tak salah dengar kan? Pria paruh baya itu terlihat sangat mempedulikan ibunya. Ini, sangat tidak wajar.

"Bu..." Rachel berbisik samar sembari menyenggol siku ibunya. Berusaha mengirim sinyal lewat tatapan mata. Dan tentu saja tak tersampaikan dengan mudahnya.

"Ah iya, kau pasti sudah sering bertemu dengan Om ini kan Rachel?"

"Halo Rachel~"

Rachel hanya mengangguk singkat, dia tak tahu harus merespon bagaimana kalau disapa dengan santai begitu.

"Jadi, maksud Ibu datang ke sini adalah—"

"Biar aku saja yang menjelaskan~" Pria itu menyela. "Tapi, tunggu satu orang lagi yah, dia sedang berada di toilet sekarang."

Rachel tahu dengan jelas siapa orang yang dimaksud pria paruh baya ini. Entah kenapa, bukannya tenang, firasatnya justru menjadi buruk.