Matahari sudah beranjak turun dari titik paling puncak. Cahaya kemilaunya perlahan meredup, meninggalkan kekuningan bercampur jingga. Sore hari ini bisa dibilang secerah saat pagi. Semilir angin bertiup menerbangkan dedaunan, beberapa diantaranya terbang lalu jatuh ke tanah, mengotori pelataran sekolah.
"Kejam sekali, masa kau meninggalkanku di depan gerbang saat kondisiku seperti ini?" raung Jean. Bibirnya melengkung kebawah menambah kadar memilukan yang terpatri di wajahnya.
"Jangan cengeng, kau bukan anak kecil." Theodore memasang helm fullface tanpa melihat bagaimana Jean menatapnya dengan menyedihkan. "Lagipula aku tak meninggalkanmu tanpa pertanggung jawaban, sebentar lagi akan ada taksi dan kau bisa pulang dengan selamat. Lihat, masalah sudah teratasi."
"Bagaimana kau bisa membiarkan sahabatmu ini pulang sendirian? Bagaimana jika aku diculik? Organ dalamku diambil dan aku ditinggalkan di tengah hutan?" Jean mulai menyuarakan protes yang terdengar tak masuk akal dan terkesan berlebihan. Ayolah, siapa orang tolol yang akan menculik pemuda dengan tinggi di atas rata-rata? Para perampok dalam film Home Alone bahkan akan langsung takut jika melihat perawakan tubuh Jean.
Theodore memasukan batang kunci lalu memutarnya hingga lampu depan sepeda motornya menyala dengan terang. Deru mesin kendaraan terdengar ketika stang gas diputar, meredam suara Jean yang masih tetap memproklamirkan dirinya sebagai pihak paling menderita di dunia.
"Kau tahu kalau itu tak akan terjadi." Theodore menoleh ke arah Jean, ekspresi wajahnya sama sekali tak terlihat di balik helm berwarna merah-hitam. "Sudah yah, aku bisa terlambat untuk menjemput Bidadariku~"
Setelahnya mesin berpacu membuat roda-roda itu melaju meninggalkan gerbang sekolah. Meninggalkan sesosok tubuh tak berdaya yang tengah menyandar dengan satu kaki terangkat karena tak bisa
"Menyebalkan sekali. Kenapa orang-orang akan bertindak bodoh ketika sudah memiliki pasangan."
Sayangnya, keadaan tak berpihak pada betapa malangnya status Jean sekarang. Karena, di hadapannya saat ini, beberapa pasang kekasih tampak berjalan keluar dari gerbang sekolah dengan saling bergandengan satu sama lain. Bahkan ada pula yang memojokkan diri di sudut kecil dan bermesraan.
Hidup itu tak adil. Jean menyadari hal itu saat ini. Dia memaki, merutuki kemalangan yang tiada henti.
.
.
.
.
.
Angin berhembus semakin cepat ketika laju sepeda motor itu bergerak membelah jalanan yang cukup padat. Meskipun begitu, tak membuat si pengendara memelankan kecepatan. Sepeda motor Sport bergerak dengan lincah menghindari halang rintang di sekitarnya, seperti pembalap MotoGP yang sudah profesional. Kecepatan di atas rata-rata tak membuat si pengendara hilang kendali, seakan-akan menjelma menjadi Ghost Rider.
Sangat berbeda ketika dia tak sedang sendirian seperti sekarang. Saat seorang gadis berada di kursi belakang, kecepatannya akan menurun drastis sekali. Bahkan lebih pelan daripada siput. Tentu saja ada alasan selain menjaga keselamatan gadis yang dia cintai, lebih tepatnya agar bisa menikmati waktu bersama dengan cukup lama.
Gerbang tinggi langsung menyabutnya, menunjukkan perbedaan paling besar dari tingkatan sekolah menengah atas ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa sosok mahasiswa tampak berseliweran di area sekitaran kampus. Gerbang bukanlah penghalang yang membatasi area kampus dengan dunia luar. Seperti inilah kehidupan para mahasiswa, bebas dan penuh kreatifitas tanpa ada satu hal pun yang membatasi gerak.
Theodore mematung dengan penuh takjub. Di sinilah kekasihnya menempuh pendidikan. Membayangkan betapa cantiknya Rachelle ketika sedang memperhatikan pelajaran, tatapan lembut yang berubah menjadi serius namun tak merubah bagaimana kecantikan itu tersusun begitu indah.
Kadang kala —ralat— seringkali Theodore membayangkan betapa menyenangkan jika dirinya berusia sepantaran dengan Rachelle. Semuanya akan sangat mudah bagi mereka. Theo bisa selalu berada di dekat gadisnya itu karena mereka berada di satu sekolah yang sama. Menghabiskan banyak waktu. Merasakan kasih sayang satu sama lain.
"Halo!"
"ASTAGA!" Theodore terperanjat, hampir saja jatuh dari sepeda motor ketika sebuah tangan tiba-tiba menepuk punggungnya. Untunglah kakinya yang panjang secara reflek mampu menopang bobot sepeda motor. "Hampir saja jantungku melompat keluar, jangan muncul tiba-tiba lagi.."
"Hehehehe... maaf deh~"
Theo sama sekali tak bisa marah. Benar-benar tak bisa kalau sudah berhadapan dengan senyum lembut nan indah yang tersungging di wajah Rachelle. Itu adalah kelemahan mutlak baginya.
"Sudah makan?" tanya Theo sembari mengelus surai hitam si gadis.
Rachelle menggeleng. Hanya sekedar gelengan kecil namun ternyata mampu melelehkan hati Theodore.
"Ka—kalau begitu, mau makan yang manis-manis dulu?"
"Mau~"
Theodore tersenyum canggung, entah apa yang membuatnya bisa segugup ini jika berhadapan dengan sosok Rachelle. Istilah membunuh tanpa menyentuh ternyata sungguh ada, karena sekarang rasanya jiwa Theo sudah melayang bersamaan debaran jantungnya yang berpacu dengan cepat.
Seperti sebuah rutinitas, memasangkan helem adalah salah satu hal favorite bagi Theo setiap kali akan pergi bersama Rachelle. Ini adalah saat dimana dia bisa mencium aroma harum dari surai lembut gadis itu, juga bisa memandang wajah manis yang tak pernah membuatnya bosan.
"Eng... Jadi kapan kita akan pergi?"
"EH?"
Theo tersadar dari lamunannya —untuk kesekian kali— seluruh wajahnya ditutupi oleh rona merah muda. Lihat, sekarang dia sudah seperti orang bodoh. Sungguh memalukan.
"Na—naiklah.."
Jatuh cinta terkadang sangat menyenangkan, tapi lebih sering akan membuatmu tampak bodoh karena tak bisa mengendalikan respon tubuh yang disebabkan terlalu banyak hormon Oksitosin memenuhi seluruh area di dalam tubuh. Lalu, menghambat kinerja otak, menjadikannya tumpul.
'Greep!'
Theodore hampir saja memutar gas ketika merasakan lengan lembut merengkuh perutnya dari belakang. Setiap sentuhan yang diberikan gadis berambut hitam, meskipun hanya sekecil sentuhan, sudah cukup untuk membuatnya lupa bernafas. Terdengar berlebihan memang, tapi inilah yang Theo rasakan.
"Pegangan yah, dan jangan lepaskan."
"Tentu saja~"
Dari balik kaca spion sebelah kanan, Theo dapat melihat dengan jelas senyuman indah yang terpatri sempurna di wajah Rachelle. Mau tak mau membuat Theodore ikut tersenyum juga.
Apa hal yang paling menyenangkan di dunia ini?
Makan makanan enak?
Bersantai sampai lupa waktu?
Bermain game?
Punya banyak uang?
Bagi Theodore sangat simpel.
Melihat senyum indah milik Rachelle. Terlebih lagi jika dirinya adalah penyebab senyum itu tersungging.
Rachelle adalah kebahagiaan yang datang secara tiba-tiba. Seperti bintang jatuh yang katanya mampu mengabulkan setiap permohonan dari orang yang melihatnya. Kehadiran Rachelle telah melengkapi hidup Theo. Membuatnya tak membutuhkan apapun lagi di dunia ini.
Usia mereka memang terbilang lumayan jauh. Perbandingan umur selalu membuatnya merasa seperti seorang adik daripada kekasih gadis itu. Hal itu cukup mengganggu pada awalnya. Terlebih lagi saat dimana dia mengenakan seragam SMA sedangkan Rachelle menenteng buku-buku perkuliahan tingkat akhir.
Tetapi, seiring berjalannya waktu, Theo tak terlalu memusingkan hal semacam itu. Apapun yang orang lain katakan tak akan pernah dia pedulikan. Toh, selama Rachelle tak masalah, tak ada lagi hal yang bisa memisahkan mereka.
Tentu saja itu pemikiran awalnya.
Andaikan saja waktu bisa diputar. Theodore mungkin bisa membuat semuanya membaik sebelum masalah itu datang.