Langit mulai berubah jingga saat sepeda motor itu berhenti di area tempat parkir sebuah Cafe. Jaraknya tak terlalu jauh dari gedung Universitas Rachelle. Pemilihan yang tepat berdasarkan alasan jelas, karena tak ingin kekasihnya merasa kelaparan lebih lama.
Tak ada banyak orang di dalam sini. Membuat peluang mendapatkan tempat duduk strategis lebih besar. Dan, Theo tak perlu membuat kekasihnya menunggu karena terhalang oleh antrian panjang.
"Pilih tempat duduk yang kau suka, aku akan pesankan makanannya," ujar pemuda itu mendorong pelan punggung Rachelle untuk pergi.
"Eh, kita memesan berdua saja—"
"Kau nanti akan lelah kalau berdiri, jadi lebih baik duduk saja yah.." Theodore memastikan kembali sambil mengelus lembut surai hitam si gadis.
Rachelle tak bisa mengelak lagi. Selain karena ucapan Theo ada benarnya, dia merasa wajahnya mulai memanas dan buru-buru pergi dari hadapan pemuda itu. Dia akan semakin malu jika Theodore mendapati dirinya tengah salah tingkah dengan wajah semerah kepiting rebus.
Tetapi semuanya sudah cukup terlambat. Karena meskipun Rachelle sudah berbalik dan hanya tampak punggungnya saja, mata Theo cukup tajam untuk mengenali perubahan warna pada daun telinga kekasihnya yang berubah menjadi merah. Astaga, gadis itu sedang bersemu ternyata. Lalu kabur saking malunya. Kalau saja ini bukan tempat umum, Theo pasti sudah langsung mendekap Rachelle dan meremas-remas pipinya dengan gemas.
Dia tersenyum dalam diam, lalu memulai perannya sebagai kekasih paling pengertian yang memesankan makanan untuk sang kekasih. Diam-diam mencuri pandang ke arah dimana gadis itu duduk. Saat ini, Rachelle tampak menikmati pemandangan di luar dinding kaca. Langit mulai menggelap, tergantikan lampu-lampu jalan yang menyala. Pergantian yang cukup indah. Apalagi, pantulan cahaya dari luar berpadu dengan langit jingga keabu-abuan menjadi latar belakang sosok gadis bak bidadari tersebut. Kini, dimatanya, Rachelle sudah persisi seperti lukisan-lukisan khas abad pertengahan karya Leonarno Da Vinci misalnya, atau malahan lebih indah dari itu. Theo seakan sedang melihat malaikat tanpa sayap, matanya tak bisa berpaling barang sedetikpun dari gadis di sana.
"Silakan pesanan Anda."
Barulah ketika pelayan wanita itu memanggil, perhatian Theodore kembali seperti sedia kala. Dia tersenyum canggung sembari menerima nampan berisi makanan yang tadi telah dipesannya. "Eh.. iya, iya.. Terima kasih~"
Ini bukanlah pertama kali dirinya tampak seperti autis. Hanya memandang ke arah Rachelle sambil tersenyum kecil. Dunia seakan-akan kosong, hanya ada gadis itu di dalam kepalanya. Seakan, semua hal disekitarnya tak benar-benar nyata.
"Maaf yah lama~" ujar Theo sesaat setelah meletakan nampan berisi makanan di atas meja.
"Kenapa harus minta maaf sih? Aku yang harusnya berkata begitu karena selalu merepotkanmu."
"Merepotkan bagaimana? Sama sekali tidak kok."
Rachelle menatap penuh makna, alisnya tampak berkedut-kedut. Dia lalu mengeluarkan dompet dari dalam tasnya. "Biarkan aku yang membayar."
"Huh? Tidak perlu, aku sudah membayarnya tadi—"
"Maka aku akan mengganti uangmu," kata Rachelle bersikeras.
"Hey, sayang.." Theo memegang lengan Rachelle dengan sayang. "Tak perlu mengembalikannya, tidak apa-apa kok."
"Tapi, kau sudah banyak mengeluarkan waktu dan uangmu saat bersamaku," sahut gadis itu, suaranya begitu lirih hampir tak terdengar kalau saja suasana sedang tak se-sepi sekarang.
Masih dengan senyum lembut, jemari besar pemuda itu mengelus lengan baju Rachelle. "Kau bisa membayarnya lain kali, saat kita kencan lagi~"
Mendengar itu, bukannya senang karena masalah sudah terselesaikan, Rachelle justru merengut dengan bibir mengerucut lucu. "Kau sudah mengatakan itu berulang kali. Entah kapan kau membiarkanku membayar saat kita sedang makan begini. Kau pasti akan menghalangi, berkata kalau aku bisa membayarnya lain kali. Tapi kapan?"
Ekspresi marah yang ditunjukkan gadis itu tak cukup membuat Theo takut, malahan dia semakin terpesona melihatnya. Karena, asal tahu saja, mau semarah dan sekesal apapun Rachelle akan tetap terlihat menggemaskan dimatanya.
Theo lantas mencondongkan tubuhnya ke depan, hingga menyisakan jarak beberapa senti saja dari wajah gadis di hadapannya. Hal tersebut tentu saja langsung membuat Rachelle membeku, terdiam tak berkutik. Seakan otot-otot wajahnya membeku dan tak bisa digerakkan sama sekali. Hanya terpaku menatap bola mata hitam kecoklatan, tenggelam dalam kehangatan yang begitu nyaman.
"Bagaimana kalau dibayar dengan hal lain saja?" tanya Theodore dengan suara rendah yang entah kenapa terasa menggelitik di telinga si gadis.
Rachelle bukan orang bodoh yang akan menanyakan maksud ucapan pemuda itu, dia tahu, sangat tahu satu juta persen. Maka, sebelum jarak mereka semakin menipis dan menghilang, dia sekonyong-konyongnya mendorong bahu Theodore. Cukup keras hingga membuat pemuda itu jatuh di kursi dengan bunyi berderak lumayan kencang.
"Gila!" serunya sembari menundukkan kepala. "Ini tempat umum!"
"Hahahaha... Aku hanya bercanda saja sayang~" sahut Theo, tangannya terulur mengacak surai hitam kekasihnya dengan sayang.
Sementara Rachel mendengus sebal namun tak menepis tangan yang berada di pucuk kepalanya. Karena, kalau boleh jujur, dia juga menikmati setiap kali tangan besar itu menyentuh kepalanya. Terasa sangat nyaman, seperti berada di tengah-tengah gumpalan permen kapas.
"Tapi," Theo menjeda ucapannya. Menatap Rachel sambil tersenyum penuh arti. "Berarti boleh kalau sedang berdua saja yah?"
'Blush!'
Wajah gadis itu sudah berubah sepenuhnya menjadi merah, lebih merah dari biasanya, tampak jelas seperti stroberi yang baru matang.
"K—Kau mesum!"
"Hahahahahahaha~"
Obrolan selanjutnya diisi oleh canda tawa dengan Theodore tak henti-hentinya mengatakan ucapan-ucapan manis yang tentu saja membuat pipi Rachel merona malu karenanya. Seperti pasanngan kekasih pada umumnya, pemandangan semacam ini tampak sangat wajar. Belum lagi keduanya tampak sangat serasi. Si pemuda yang tampan dan gadisnya cantik luar biasa.
Bagi Theodore, tak ada yang lebih cantik daripada gadis di depannya. Dia tak pernah menyangka pertemuan mereka yang cukup mendadak dan terkesan biasa-biasa saja malahan mampu membuat hatinya jatuh terlalu dalam pada pesona Rachel.
"Kenapa kau tak makan?" tanya Rachel, sadar kalau Theo sama sekali belum menyentuh kue di depannya.
"Melihatmu makan saja membuatku sudah kenyang~" sahut Theodore sembari mengusap sudut bibir Rachele, mengelap sisa kream yang tertinggal di sana.
"Uh, apa aku terlihat sangat rakus saat makan yah?"
"Eh, bukan begitu kok~" sergah Theo cepat sebelum menimbulkan kesalahpahaman yang tak perlu. "Aku hanya suka melihatmu makan, menggemaskan.."
"Menggemaskan bagaimana? Jangan konyol deh."
"Aku serius tahu~"
"Ya ya ya..." Rachele menanggapi tanpa minat, meskipun terlihat cukup jelas kalau dia sedang menyembunyikan senyuman di wajahnya. Sudut bibirnya tampak berkedut-kedut kecil. "Sekarang kau juga makan."
"Suapi aku~"
Permintaan Theo tentunya tak langsung di tanggapi serius oleh Rachel. Namun, menyadari kalau pemuda itu masih menatapnya penuh harap, tak ada yang bisa Rachel lakukan lagi selain memenuhi permintaan kekasihnya.
"Bu—buka mulutmu~" ujar gadis itu sembari menyodorkan sesendok penuh kue red velvet.
"Hehehe... Aaaam~"
"Dasar kekanakan~"
"Aku juga mencintaimu~"