Ini kenapa sih otaknya terus-terusan memikirkan Raja. Bukan apa-apa, hanya saja Ratu terus memperandaikan tentang kehidupan Raja setelah masuk kuliah. Kurang kasih sayang dan kesepian.
"Kenapa murung?" tanya Astrid, takut demam lagi tangannya mengecek suhu badan Ratu.
Fiuh, betapa leganya. Kening Ratu tak panas seperti beberapa hari yang lalu memang sempat demam bahkan pingsan saat mata kuliah berlangsung.
"Menurutmu, kenapa seseorang itu bisa punya dua sisi sih? Kadang nyebelin, kadang juga patut dikasihani."
Melihat sorot mata Ratu yang tanpa berkedip, Astrid tahu ini masalah serius. Karena temannya yang punya lesung di dekat bibir itu jarang sekali curhat kecuali benar-benar berat.
Mendongak ke arah jendela, seolah mencari contekan yang bisa Astrid baca. Dari barisan temannya, bagi Ratu hanya Astrid yang bisa diajak bicara dari hati ke hati, lumayan pakai otak.
"Sebenarnya semua orang itu selalu memakai topeng sih, ga ada orang yang kelihatan bahagia banget dan ga ada orang yang kelihatan sedih banget. Klise, misal nih ditanya kenapa kuliah? Ya pengen aja, biar kalau udah lulus gampang nyari kerja, padahal sekarang kerja yang dipentingin tuh pengalaman sama skill, banyak pengusaha yang gajinya puluhan juta padahal lulusan SMP bahkan SD."
Ah, realitanya memang begitu. Bagi Ratu, ia kuliah karena memang ingin mengisi masa mudanya agar tak nganggur-nganggur amat. Lucunya, meskipun mengambil jurusan sastra, cita-citanya adalah menjadi chef, seperti chef Renata misalnya.
"Anyway, kenapa topik lu berat banget sih? Gak lagi nonton drakor tema rumah tangga kan?"
Yang dimaksudkan Astrid adalah sinema ikan terbang. Bosan setiap hari menonton dengan jalan cerita yang sama beda saja aktornya. Astrid tak bisa pindah chanel setiap menonton TV karena ibunya adalah penguasa di rumah.
Mereka tertawa bersama, menjeda gelak tawa karena dosen sudah masuk ruangan.
***
Hari ini terasa sepi, Laura tidak berangkat karena sakit. Rencananya mereka akan menjenguk teman satu gengnya setelah kuliah berakhir.
"Ternyata tuh anak bisa sakit juga. Hahaha."
"Emangnya Laura Firaun apa gak bisa sakit. Kalian duluan aja ke rumahnya, gue mau ke perpus. Ada buku yang harus dikembalikan hari ini," Ratu berlalu, mencangklongkan tas ranselnya.
Melangkah keluar dan turun tangga, menoleh sebentar ke arah kerumunan orang yang hendak pulang.
Baguslah, perpustakaan pasti sepi. Sudah lama ia merindukan bau-bau buku berdebu yang terjejer di rak. Sudah lama juga tak menyapa penjaga perpustakaan yang selalu menyambutnya setiap kali datang.
"Ah, Neng Ratu. Ya ampun, kok agak kurusan?"
Menggaruk rambutnya yang tak gatal, ternyata Bu Ayu peka juga dengan penampilannya. Efek sembuh dari demam adalah selalu turun beberapa kilo, untungnya Ratu bukan pemilih makanan.
"Hehe, baru sembuh dari sakit, Bu. Ini mau mengembalikan buku, tapi boleh pinjam yang lain kan? Ada novel-novel baru gak?"
Menggeleng, ini adalah perpustakaan bukan toko buku, Ratu. Ia lupa fakta itu karena rindu membaca novel romance.
Tapi baiklah, lagian Ratu pun punya minat baca yang tinggi. Ia berlalu sambil melewati rak-rak tinggi, pandangannya teralihkan pada segerombolan gadis, senior di jurusan yang sama dengan Raja.
Bodo amat, Ratu berlalu dan mencari tempat duduk sambil membuka lembar demi lembar tentang berbagai ulasan tentang tanaman.
"Heh, lu yang namanya Ratu ya?" tanya seseorang dengan sinis.
Lebih parahnya lagi adalah gadis itu menggebrak meja, apakah tak lihat ada plang pengumuman jangan berbicara keras saat di perpustakaan? Buta huruf kali ya?
"Iya, kenapa?" tantang Ratu. Mungkin bagi beberapa orang, gadis mungil yang memiliki postur tinggi itu hanya bisa bersikap manis. Padahal Ratu tak buta arah soal gerakan membela diri, semakin ditindas semakin pula Ratu melawan dengan cara berkelas.
Melihat sosok berani dari gadis yang dibencinya, Sita ingin sekali merobek mulut Ratu sekarang juga. Emosinya meledak karena setiap hari Raja selalu mengabaikannya tapi malah menyempatkan waktu untuk mendatangi Ratu.
Maju, mendekatkan wajahnya dan mencoba menilai seberapa cantik adik seniornya.
"Lu apanya Raja?"
Eh, ternyata urusan mereka hanya seputar Raja saja. Ingin sekali muntah karena nama cowok itu disebut. Mengangkat bahu, pura-pura tak peduli.
"Gak apa-apanya tuh, hanya teman satu SMA. Ada masalah?"
"Kayaknya dia nyari gara-gara sama lu deh, Sit," bisik Gena.
Ya, Ratu ingin sekali tertawa. Kenapa harus bisik-bisik, Ratu saja masih mendengar jelas ucapan teman si gadis yang melabraknya ke perpustakaan. Kurang kerjaan banget ya?
"Gue tekanin sekali lagi, lu siapanya Raja? Heh?"
Karena memang tak punya ikatan apa pun, hanya mantan yang kebetulan diperhatikan, Ratu menutup buku yang ingin ia pinjam hari ini. Menapakkan kedua tangannya di atas meja, ikut menantang gadis bernama Sita.
Ia tahu, kalau kata Laura ada kakak kelas yang emang selalu berusaha mengambil hati Raja, katanya sih namanya Sita. Gadis tengil yang sering berganti warna rambut.
"Gue juga tekanin sekali lagi, Raja bukan siapa-siapa gue. Bisa beri jalan?"
Ia tak ingin telat ke rumah Laura, apalagi Ratu yakin teman-temannya sudah menunggunya. Baru saja melangkah, Sita dengan sengaja menjaga kaki Ratu.
Beruntung tangannya masih bisa menahan topangan badan, menekan kuat rak-rak yang sudah membantunya agar tak jatuh ke lantai. Sialan, nyari ribut kok sama junior.
Tapi bodo amat, ia tak peduli geng nenek lampir menertawakannya. Malas melanjutkan sesi yang murahan seperti itu.
"Neng, mereka siapa sih? Perasaan gak pernah lihat ke sini deh, kayaknya mau nyari ribut sama Neng Ratu," bisik Bu Ayu.
Mengangkat bahu, Ratu pun tak kenal-kenal amat dengan Sita dan gengnya. Juga tak berminat mencari tahu.
Ia sudah menandatangani buku, mengisi daftar hadir dan memberi stempel. Pamit pada bu Ayu, bahkan membuang muka saat Sita dan gengnya melewatinya.
Baru saja keluar, betapa terkejutnya saat ada sosok Raja di dekatnya. Hadeh, biang masalah kenapa datang di waktu yang gak tepat sih?
"Aku cari ke mana-mana, tahunya di sini. Tadi aku ke rumah kamu, tante bilang kamu belum pulang. Makanya aku khawatir, terus kata Astrid kamu ke perpus, makanya aku balik lagi ke kampus."
Bahkan Raja tak menyadari keberadaan Sita, gadis itu mengepalkan tangan geram. Menatap Ratu dengan tatapan membunuh.
Hanya saja, seperti itu tak akan membuat Ratu takut.
"Maaf, ponselku juga mode silent. Ah iya, kenapa lu repot-repot balik lagi?" heran Ratu. Ia sudah berjalan kembali, tak menghiraukan Sita yang sejak tadi ingin merecokinya.
Menoleh lagi, menatap Raja dan menunjuk Sita secara bersamaan. "Tuh, fansmu. Dia tanya kita ada hubungan apa, selesaiin dulu deh. Gue mau pulang, bye!"
Ratu bahkan tak peduli Raja tetap mengejarnya. Tak peduli juga setelah ini Sita akan melakukan apa kepadanya.