"Kamu udah baikan?" tanya Raja.
Anggita keluar, paham kalau anaknya ingin ngobrol berdua dengan teman prianya. Baru sekarang Anggita melihat Ratu memperbolehkan seseorang menjenguknya. Ratu adalah tipe orang yang tak suka bikin repot yang lainnya.
"Baiklah, makasih karena.. aku tahu kamu yang membawaku ke sini. Maaf ya soal Laura, dia emang gitu orangnya, suka ngegas kalo ngomong."
Eh, sejak kapan Ratu pakai aku-kamu saat bicara? Nggak lagi ngigau kan?
"Tak apa. Aku layak mendapatkannya, gadis tadi adalah.."
"Adik kamu, aku tahu. Siapapun orangnya pasti bakalan menebaknya, Raja. Kamu nggak perlu konfirmasi soal itu." potong Ratu.
"Hanya takut kamu cemburu."
Duh, lebay banget. Masuk kategori jadian aja belum udah berhak jealous sama cewek lain, Ratu gak seposesif itu.
Karena sudah makan, Raja menolak menerima makanan yang dibawa ibunya Ratu. Ia memberikan bunga tulip, ide cerdik dari adiknya.
Memang sih, tidak semua orang suka dengan bunga. Tapi siapa tahu, pemberiannya bisa menyalurkan energi positif, tak ada orang yang baik-baik saja setelah dikunci di toilet.
Perbuatan Sita memang sudah di luar batas. Memaafkannya sih bisa, tapi menganggap perempuan itu masih manusia, hati Raja patut dipertanyakan.
"Karena aku, kamu ada di sini, Ratu. Aku bersalah, dan rasanya aku bingung harus melakukan apa. Yang dikatakan Laura benar, semakin kamu dekat denganku banyak sekali batu yang mencegah kita untuk terus berjalan. Tapi aku juga gak bisa jauh dari kamu," terang Raja frustasi.
Tatapan mereka bertemu. Bagi Ratu sendiri, akhir-akhir ini ia memang selalu berurusan dengan Sita. Tapi ia memang tak berniat pdkt dengan Raja, bahkan terlalu kejauhan untuk balikan.
Nyatanya, perasaannya tak bisa bohong. Ratu masih menyimpan perasaan padanya. Harus ngaku sekarang? No! Malu dong cewek ngaku duluan.
"It's okey, yang penting aku baik-baik aja kan sekarang? Gak perlu merasa khawatir begitu, aku bisa mengatasi kekhawatiranku sendiri. Makasih juga bunganya, tapi ngomong-ngomong kenapa Tulip?"
Garuk-garuk kepala. Tak punya waktu scroll Google karena tak punya pemikiran apa-apa di otaknya. Tolong, berpikirlah wahai otak, jangan membuat Raja nampak payah di depan Ratu.
"Raja? Atau kamu iseng beli bunga Tulip?" tanya Ratu lagi.
Menggigit bibir bawah, benar-benar buntu. "Lupa sih, itu saran dari Aurora tanda ucapan kenalan darinya. Kalau nggak salah sih maknanya kokoh, kayak semen tiga roda."
Ratu tertawa, candaan receh Raja memang hampir membuatnya menarik paksa sudut bibirnya. Tapi tubuhnya yang masih lemas menolak untuk melakukannya.
"Terima kasih sekali lagi. Biasanya orang-orang pasti bawa mawar, bosan. Adik kamu kreatif juga."
Syukur deh, meskipun yang dipuji adalah Aurora, Raja lega bukan main. Itu tandanya, Ratu tak terlalu membencinya. Tak menganggapnya sebagai penganggu karena menyebabkan semua ini terjadi.
Rindu dengan kehadiran Ratu, Raja ingin sekali memeluk gadis itu. Baginya, hidup di dunia ini hanya diisi oleh gadis yang bisa merubah hidupnya.
Aurora dan Ratu adalah dua orang paling berjasa di hidupnya. "Kamu di sini berapa hari?"
"Mungkin besok sudah pulang. Aku.. juga tahu kamu yang membiayai administrasi, nanti kalau udah sampai rumah uangnya.."
Raja menutup mulut Ratu dengan jari telunjuknya. Ikhlas lahir bathin membantu Ratu, kejadian ini tak akan terjadi kalau Raja menjaga jarak dengan Ratu. Sayangnya, untuk jauh semenit saja rasanya sungguh sulit sekali.
Mereka sama-sama diam. Bahkan, dengan bodohnya, Ratu malah merapikan rambut Ratu, jarak mereka begitu dekat. Lama-lama, rasanya Ratu berada di dunia sihir.
Kalau bukan karena suara pintu yang terbuka, ia yakin jantungnya akan meloncat keluar. Kenapa sih, bisa segugup ini hanya karena Raja menyentuhnya?
"Nih, rumah sakit ini makanan di kantinnya enak. Aku laper lagi, Kak," aku Aurora memberikan kue-kue ringan yang ia beli di kantin rumah sakit dengan tante Anggita.
Memang sih, adik bawelnya ini memiliki porsi makan seperti beruang. Minimal harus tiga porsi setiap makan. "Iya, nanti aku makan. Udah kenyang, dasar perut galon!"
Mereka lucu sekali, batin Ratu. Anggita saja mengakui kalau kedekatan Raja dan adiknya memang indah untuk dilihat. Terlihat dingin di luar tapi hangat di dalam.
***
Tak bisa meredam kemarahannya, Sita melarikan diri dari rumah. Kehilangan kasih sayang seorang ayah dan sekarang, Raja menyalahkannya. Hidup memang keras, lembek dikit pasti tumbang!
Ia sudah menghabiskan hampir sebungkus rokok, pelarian pertama saat merasa galau.
"Dicariin di mana, ternyata di sini. Apa sih bagusnya ngerokok, gue yang cowok aja jarang make," gerutu Faris-teman Raja, salah seorang pria yang memang dekat dengan keduanya.
Baginya, Sita sebenarnya baik. Lingkungan, keadaan, Teman-teman mainnya yang salah. Ya, Sita hanya terpengaruh oleh ajaran buruk orang sekitarnya.
"Lu gak make ini, lu makenya kondóm kan? Dasar gila!" cibir Sita.
Faris memang pria selangkangan. Tapi sampai sekarang selalu setia menemani semua galaunya Sita, bodohnya gadis itu tak tahu kalau Faris menyimpan rasa terhadapnya.
Dari SMA, mereka sudah dekat. Bahkan orang tua mereka sama-sama saling kenal, bisnis, kerja sama. Lebih parahnya lagi, Sita tahu bahwa Faris adalah pria pilihan ayahnya untuk menikah.
Menolak pun percuma, lebih baik begitu. Daripada menikah dengan orang yang tak dikenal?
"Kalau boleh tahu, sebenci apa sih lu sama Ratu? Ya bukannya ikut campur, tapi Sita, lu nggak perlu nge-iyain semua suruhan teman-teman lu. Sekarang akibatnya apa? Lu diskors, dibenci semua orang termasuk Raja."
Benar sih, Sita juga mengakui kesalahannya. Ia bukan gadis yang jahat, hanya ingin cintanya terbalaskan.
"Lu juga benci gak sama gue? Kalau iya, silakan. Di dunia ini, masih ada kok yang bisa gue ajak bicara, ini.." tunjuknya pada sebatang rokok yang ia hisap di mulutnya. Mengepulkan asap tepat di depan wajah Faris.
Miris memang, sejak kehilangan ibu kandungnya, Sita jadi berubah menjadi gadis yang tak tahu aturan. Seenaknya, hanya satu kelebihan gadis itu, musik.
Musik adalah sarana pendekatan pertama antara Faris dan Sita, juga Raja. Memang sih, Raja bisa apa saja. Gitar, drum, piano, bahkan mungkin biola. Sedangkan Faris hanya bisa main gitar ala kadarnya.
"Mau gue antar ke suatu tempat? Setidaknya, di sana lu bisa teriak-teriak gak jelas, hati lu bisa lebih lega. Please, sekali-lagi, coba deh lihat dunia ini dari sisi yang lain. Lihat gue, gue juga hancur kali. Orang tua gue memang gak cerai, tapi mereka menikah bukan karena dasar cinta. Nyakitin tahu, karena gue ada di dunia bukan karena perasaan cinta, hanya dipaksa untuk lahir dan ada."
Sama-sama memiliki kisah tragis. Sita hanya tertawa, merapatkan jaketnya. "Oke, tapi lu gak bakalan nidurin gue kan? Meskipun gak masalah sih, toh setelah lulus kita nikah."
Gila! Faris tidak akan memanfaatkan kegalauan Sita demi kejantanannya. Ia tak selemah itu.
"Santai. Lu aman sama gue malam ini, jadi pergi nggak?"
Sita pun mengikuti Faris, naik di motornya dan memeluk pria itu erat.