Benar kata Laura, posisi Raja sekarang memang tak baik untuk Ratu. Terlebih, keposesifan Sita membuatnya malah menyakiti Ratu secara tak sengaja. Tapi, ia baru saja mencintai Ratu lebih dari perkiraannya. Gak mungkin kan langsung nyerah begitu aja?
"Kami gak nyuruh kamu pergi dari Ratu, enggak sama sekali. Kami cuma mau kamu selesaikan masalahmu dengan senior gila itu. Ya, demi Ratu, Raja," pinta Astrid.
Dulu, gadis itu memang tak menyukai Raja karena sikap sok gantengnya. Tapi melihat Ratu yang sering curhat membicarakan Raja, tentunya ia yakin temannya yang tengah berbaring di rumah sakit pasti punya feeling.
"Kalau gitu aku pulang dulu. Salamin Ratu ya kalau dia udah sadar."
Pelan-pelan Raja pun meninggalkan area rumah sakit, tersenyum sedikit mengingat kejadian di mobil tadi di mana ia mencium Ratu. Lebih tepatnya memberinya napas buatan.
Hah, kenapa ia malah bersyukur mendapatkan rezeki nomplok?
***
Brak!
Pintu kamar yang susah payah dikunci pun akhirnya terdobrak juga. Sita tetap saja tak peduli dengan kepulangan sang ayah, malas bertemu dengan ibu tirinya.
"Gak punya kuping kamu, Hah! Ayah panggil-panggil dari tadi gak dijawab! Kenapa sih, Sita!"
Kenapa dia bilang? Sita terkekeh geli, sudah lebih dari dua bulan rumahnya sepi. Ya, hanya ada dirinya dan pembantu saja. Satpam depan rumah saja sering ketiduran di pos penjaga.
Malas karena harus ber haha hihi dengan wanita yang memang mendekati ayahnya, bahkan mungkin saja sebentar lagi akan mendekatinya. Sita memang sudah kehilangan sosok ayah sejak ibunya meninggal, tak punya siapa-siapa yang bisa diajak bicara karena ayahnya sudah sibuk dengan bunga yang baru.
"Aku malas ke bawah ayah, bisa tinggalkan aku sendiri? Urus saja istrimu."
Kembali menyumpali telinganya dengan earphone, bodo amat! Sudah bosan, amat-amat bosan dengan teriakan Galih-ayahnya, yang selalu meneriakinya hanya untuk bertegur sapa dengan ibu tiri.
Kebetulan, beberapa kali dulu sebelum ibunya meninggal, Sita tak sengaja melihat ayahnya jalan berdua. Padahal masih berstatus suami orang.
Rasa sakit hatinya membuatnya memiliki perangai yang buruk, mendarah daging sampai sekarang. Padahal dulunya Sita adalah anak yang ceria.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat keras di pipinya, bahkan earphonenya terlepas begitu saja. "Kenapa ayah nampar aku?"
"Karena kamu nakal, Sita. Kamu jadi anak yang susah diatur, apakah sekarang kamu mau jadi anak yang pembangkang? Mau ayah stop fasilitasmu sekarang? Bukankah kamu gak bisa hidup tanpa uang ayah?"
Kalau bukan ayahnya, Sita sudah pasti membalas tamparan yang ia terima. Dulu saja saat masih ada ibu kandungnya, Sita tak pernah diseperti inikan. Heran, apakah pengaruh bunga segar selalu menjadi ancaman.
Malas mendengarkan ancaman sang ayah, Sita langsung menyambar jaket dan juga keluar dari rumah. Tak tahu mau ke mana, satu-satu orang yang bisa meredam emosinya adalah Raja.
Tapi kejahilannya mengunci adik kelas di toilet pasti sudah tersebar ke mana-mana, mungkin saja sekarang cowok idamannya sudah muak bertemu dengannya. Bahkan seluruh kampus pasti langsung menjaga jarak dengan gadis yang jahat.
Ia sudah meninggalkan area rumah, membuka jendela mobil dan merokok. Entahlah, sudah lama tak sebat. Hanya kadang-kadang saat rindu ibunya.
Akhirnya ia malah berakhir di depan rumah Raja. Tak turun ataupun memparkir, hanya berhenti saja. Ia kembali menaikkan kaca mobil, takut akan ketahuan.
"Cari siapa, Neng?" ucap pak satpam.
"Gak ada, cuma capek aja nyetir, Pak. Numpang sebentar ya," bohongnya.
Ia bahkan memakai kacamata saat melihat Raja dan adiknya keluar sebentar, menerima makanan dari kurir makanan. Pasti hidupnya tak sepi-sepi amat.
Sita tahu kalau hidup Raja hampir sama dengannya. Kehilangan kasih sayang orang tua, tapi setidaknya mereka masih punya formasi yang lengkap. Terlebih Raja tak kesepian punya adik, tak sesepi dirinya.
"Ngapain kamu di sini?"
Deg!
Sita langsung membuang muka, tapi percuma. Raja sudah melihatnya. "Hmm, hanya jalan-jalan."
"Keluar."
"Hah?"
"Gue bilang keluar sekarang, masuk ke rumah gue atau gue aja yang masuk ke mobil lu dan kita cari tempat untuk bicara."
Mampus! Pasti Raja akan membahas masalah yang dialami Ratu. Ia bahkan belum mempersiapkan alasan untuk menghindar.
Karena Raja masih stay menunggunya, akhirnya Sita keluar dari mobil. Berjalan dengan takut-takut masuk ke rumah mewah yang lebih luas dari rumahnya.
Ia duduk di ruang tamu, sempat berpapasan dengan Aurora. Hanya tersenyum, bukan waktu yang tepat untuk berkenalan sekarang.
"Den, mau minum apa?" tanya bibi menyela.
"Terserah, Bi. Gak usah dibuatin juga gak apa-apa. "
Hawa dingin menyerang tubuh Sita. Ia tahu betul bagaimana Raja saat marah dan bahkan emosi. Tak ada yang bisa mengendalikannya sampai sekarang.
"Gue udah bilang kan, jangan cari gara-gara sama Ratu. Urusannya sama gue, kenapa sih lu pansos banget jadi cewek?"
Untuk sekarang, Sita memang tak punya tenaga membela diri. Masih sakit hati setelah ditampar ayah sendiri, belum lagi harus melihat ayahnya mencintai orang lain. Sita butuh dihibur, butuh ketenangan.
"Ja, jangan sekarang ya. Gue lagi gak ada minat buat bahas hal beginian, otak gue.."
"Itu masalah lu, tahu gak sih, gue udah tekanin kalau kita cuma temen, Ta. Gak lebih, just friend. You and me, and i love Ratu until now!"
Dari arah dapur, Aurora yang memang sengaja menguping langsung menghalangi jalan bibi, menawarkan diri agar dirinya saja yang menyuguhkan minum. Ya, untuk sekarang ia sangat penasaran dengan sosok gadis yang penampilannya jauh dari kata rapi.
"Lu buta tahu gak, Ratu jelas-jelas jaga jarak sama lu. Dia udah gak cinta, udah gak ada perasaan apa-apa kan? Ini, di depan mata lu udah ada cewek yang mati-matian minta diajak pacaran. Lu bego atau gimana sih?"
Bodo amat! Ratu tak seburuk itu, hanya butuh waktu untuk memberinya ruang maaf. Toh selama ini usahanya mendekati Ratu selalu diberi kesempatan. Ya meskipun awalnya selalu mendapat penolakan sih.
Obrolan mereka terjadi karena Aurora datang dan menyuruh Sita minum, melirik dari atas dan bawah. Apakah begini cewek yang menyukai kakaknya? Entahlah, bagi Aurora penampilan Sita memang mendekati gadis liar.
"Kamu adiknya Raja ya? Kenalin, aku Sita, teman dekatnya kakak kamu." Sita mengulurkan tangan, merubah ekspresi lebih baik dari sebelumnya.
"Aurora."
"Sedekat apa kalian?" keponya. Raja hanya membuang muka, menyuruh adiknya kembali ke kamarnya. Masih banyak yang harus ia bereskan malam ini juga.
"Bukan teman dekat, teman satu kampus aja. Udah, sana balik kamar."
Tak ingin ambil pusing, Aurora pun meninggalkan dua anak manusia yang sepertinya akan melanjutkan sesi perdebatan.
Baginya, Raja bukan cowok yang suka membentak. Galak sih iya, tapi tidak sampai berteriak, ia tahu kalau gadis bernama Sita memang sedang bermasalah dengan kakaknya.