Mungkin Sita memamg tak bisa mengelak, tapi sungguh, hari ini ia tak punya tenaga untuk membantah tuduhan Raja mengenai kejadian tadi pagi di kampus.
"Raja, please, gue tahu kalau dia adalah orang yang punya ruang di hati lu. Tapi gue sedang gak baik-baik aja, gue lagi sekarat. Gue harus pergi."
Tak perlu menunggu anggukan Raja, Sita langsung keluar dari rumah mewah yang menjadi idaman setiap gadis yang menyukai Raja. Cinta memang begitu, terkadang harta adalah pemicu utamanya.
Baiklah, Raja bisa merasakan aura Sita yang tak seperti biasanya. Mungkin seperti biasa, gadis itu sedang dirundung masalah.
Dulu sekali, sebelum ia melihat Ratu dari dekat, Raja memang sempat jadi sandaran bagi Sita. Gadis yang patah arah setelah kehilangan ibunya, tapi sayangnya gadis itu terlalu bergantung padanya makanya Raja menjauh. Tak mau jadi tempat yang hanya dibutuhkan saat keadaan genting saja. Emangnya rexona yang selalu setia setiap saat?
Kepergiaan Sita membuat Aurora kembali ke ruang tamu, menyilang tangan di pinggang seolah meminta penjelasan. "Jadi dia mantan abang yang ke berapa?"
Ini lagi, bocil satu nambah mumet aja. "Bukan mantan, udah kamu masuk kamar aja, belajar atau apalah."
"Lupa ya, besok weekend. Aku harus bobok cantik, lagian ibu sama ayah kayaknya mau pulang besok malam. Aku mau begadang sama ibu, rindu!"
Mungkin mereka berbeda dalam mengungkapkan rindu. Bagi Raja sendiri, diam adalah jawaban. Ia memang kesal setengah mati dengan orang tuanya yang lepas tangan, hanya memberinya biaya dan fasilitas. Bukan waktu seperti keinginannya.
"Gimana kalau kamu temani aku beli bunga," ajaknya dadakan.
Tunggu, mau baperi anak siapa lagi nih abangnya? "Buat siapa? Jangan bilang buat cewek tadi, no! Gak mau! Dia aja kayak anak broken home yang gak bisa melihat betapa indahnya dunia, Abang!"
Tepat sekali, penampilan Sita memang sering mengundang banyak perhatian. Di balik sampul yang keren, terdapat hati yang mlempem. Ya, begitulah karakter gadis itu di mata dunia.
"Buat Ratu. Dia kan dirawat, dulu sekali saat aku masih pacaran sama dia, pernah nyeritain tentang kamu. Spesies menyebalkan yang kebetulan adalah adikku."
Jijik banget pakai aku-kamu. Aurora memang terlampaui lepas kendali saat guyonan dengan Raja. Ya, hanya cowok itu yang ia punya di dunia karena dua tahun terakhir ini orang tuanya hanya menghubungkan dunia kerja, kerja, dan kerja saja.
"Oke, tapi jangan pagi banget karena gue pasti sedang hibernasi."
Berjalan sok cantik meninggalkan Raja sambil membawa minuman yang sempat disuguhkan, lumayan belum tersentuh sama sekali.
Heran, Raja hanya membatin kenapa adiknya bisa segila itu kadang-kadang. Efek terlalu lama jomblo kali ya?
***
Sudah lebih dari 10 kali pintu kamar Aurora diketuk Raja. Sudah jam 8, ia tahu kalau semalam adiknya memang maraton drakor seperti biasanya. Tapi kan semalam mereka udah janjian bakalan menengok Ratu di rumah sakit? Pikun kali ya Aurora?
Baiklah, ini yang terakhir kali. Kalau gagal, dengan sangat terpaksa Raja akan mendobrak karena adiknya pelor sekali.
1, 2, 3. Ia sudah pasang badan, bersiap akan mendobrak dengan kekuatannya. Tapi naasnya, Aurora sudah bangun lalu membuka pintu dan membuat Raja kebablasan hampir menabrak meja rias adiknya. Dasar adik durhaka!
"Kenapa sih, kayak Toa tukang sayur keliling deh! Gatel tahu gak kuping gue denger suara rombeng lu!"
"Mandi, nanti kita cari makan di luar. Bosan makan roti kan? Gue ajak ke makanan jalanan, biar lu tahu gimana kerasnya dunia ini, Dek!"
Dih, sok pahlawan banget sih? Memang, Aurora jarang sekali makan di warung pinggir jalan. Bukan merasa beda level, hanya saja ia tak punya waktu untuk sekedar mampir karena langsung cap-cus pulang setelah supirnya menjemputnya.
Ia pun kembali mendorong tubuh Raja, meminta 20 menit untuk dirinya bersiap. Lagi pula kehebatan Aurora selain membaca sikap orang adalah mandi cepat.
Tapi ternyata lebih lama dari bayangannya, ia sudah selesai mandi, mengeringkan rambut dan berganti pakaian. Stel sederhana meskipun merek ternama.
"Bang, ngapain nenteng rantang?"
Heran, belum pernah melihat abangnya mencari bekakas makan. Jangankan ke dapur, tahu perbandingan jahe dan lengkuas aja udah termasuk keren.
"Tadi gue udah minta bibi buat siapin makan untuk Ratu. Ya nggak mungkin juga kan dia makan pinggir jalan dari kita, apalagi gue tahu dia emang malas sama makanan rumah sakit dari temannya. So, yaudah nyuruh bibi masak aja."
Raja mulai memasukkan satu persatu makanan sesuai permintaannya. Nasi, ada ayam goreng yang memakai minyak sehat. Capcay brokoli, telur dadar, brekedel tahu. Ya, makanan sederhana dengan cita rasa menggugah selera.
Baiklah, untuk mengambil hati para gadis abangnya adalah juara. Pantas aja banyak yang nangis bombay kalau dianggurin. Dasar, buaya asli aja setia sama pasangannya.
Mereka sudah naik mobil mewah, entahlah, mungkin ini hanyalah salah satu koleksi orang tuanya karena setiap selesai bisnis di luar kota, mereka pasti menyuruh Raja memilih mobil dan langsung membelinya.
Bosan rasanya hanya selalu dimanjakan oleh benda mati. Tak bisa diajak bicara, tak bisa mengerti dari hati ke hati.
20 menit keliling komplek perumahan, Raja langsung menepikan mobilnya. Memesan dua porsi pecel lele yang memang legendaris, ia tahu makanan seperti ini adalah dari teman-teman gesreknya.
Kata mereka, lebih baik nambah di warung jalanan daripada makan dan bayar mahal di restoran. Karena apa, karena tetmasuk membantu barisan kelas bawah.
"Kelihatan enak deh, makan sekarang ya?"
Aurora sudah menyendok nasi dan pecel yang menyatu dengan sambal, ditambah lele yang enak juga ternyata. Melihat beberapa orang makan dengan tangan, ia pun mengikutinya.
"Wah lu doyan apa kelaperan sih, bisa tandas tanpa sisa begitu."
Melihat piring abangnya masih separuh, Aurora ikut beragung. Apalagi tadi sebelum pergi memang tak sempat mencomot sandwich ataupun roti selai seperti kebiasaannya.
"Eits, pesen lagi daripada ngerebut punya gue."
"Kalau pesen lagi, perut gue bakalan meledak, dodol. Satu suapan doang, aelah!"
Baiklah, untung sayang adek!
Usai makan dan membayar, Raja kembali mengajak adiknya ke toko bunga. Memilih bunga paling masuk akal untuk orang yang sedang sakit.
"Mungkin tulip putih. Karena filosofinya keren sih, meskipun tipis tapi kokoh."
Boleh juga penafsiran Aurora, sekelas Raja yang buta soal kata-kata pujangga hanya menurut saja. Membeli sebut kecil bunga tulip putih untuk Ratu Pertiwi, gadis yang tengah ia sukai lagi, seperti dulu sebelum kata selesai di antara mereka.
Setelah sampai di rumah sakit, Raja malu-malu dan ragu untuk mau masuk. Takut akan ada Laura di sana. Ia tak ingin kembali pusing memikirkan ancaman teman-teman Ratu. Niatnya hanya ingin berkunjung saja.
"Nak Raja," sambut Anggita.
Ratu menoleh, ikut tersenyum dan menyipit penuh penasaran. Baru kali ini berhadapan langsung dengan gadis yang lebih kecil darinya versi Raja.